DHARMADUTA VIHARA SUKHAVATI PRAJNA
(BUKU KE-5)
PENULIS : DESI
PROFIL PENULIS
Sang penulis, bernama asli Deazy Precylia Kilala. Berdarah Manado dan
Lahir di Jakarta pada tahun 1975 dalam keluarga besar sederhana. Saat ini
menetap di Tangerang-Banten, telah berkeluarga dan memiliki 2 orang anak.
Semasa kecil hingga dewasa, penulis
adalah seorang yang tidak percaya diri dan penyendiri. Tapi berkat bimbingan
para Buddha-Bodhisattva, penulis bisa merubah diri dengan baik dan terus
termotivasi untuk melatih diri dengan bershadana, menulis buku mengenai Dharma
Buddha dan perjalanan hidup serta spiritualnya.
Mendapatkan kontak batin pertama
kali dengan Dewi Seribu Tangan Seribu Mata yang menjadi Guru Sejatinya pada
tahun 2008 dan diberikan nama Buddha Dharma “Sukhavati Prajna“ dari Buddha
Sakyamuni.
Bersama dengan suami mendirikan dan
memimpin Vihara Sukhavati Prajna Tangerang atas bimbingan Mahadewi Yao Che Cin
Mu. Berjodoh dengan ajaran Mahaguru, mengangkat Guru di Vihara Bodhi Dharma
Jakarta dan di bimbing Beliau secara roh pada tahun yang sama. Saat ini telah
menulis 4 buku Dharma yaitu; Mendapatkan Kontak Batin Dengan para Dewa
(Bimbingan Mahadewi Yaochi); Kelahiran Sang Juru S’lamat Buddha Penyelamat
Dunia (Amanat Buddha Sakyamuni); Filsafat dan Ajaran Buddha (Bimbingan
Bodhidharma/Tat Mo Co Su); Perjalanan Astral ke Alam Binatang (Amanat Kaisar
Langit) dan mendapatkan amanat dari Mahadewi Yao Che Cin Mu untuk menulis buku
mengenai Dharmaduta Vihara Sukhavati Prajna.
Daftar Isi Buku
Profil Penulis - I
Daftar Isi - III
Pendahuluan - 1
Syukuran Vihara Sukhavati Prajna - 6
Buddha-Bodhisattva menerima apapun
perlakuan manusia - 11
Berjodoh secara tubuh dan roh dengan
Mahaguru - 18
Pembabaran Sutra Raja Agung
Avalokitesvara Bodhisattva - 38
Hu Buddha Chi Kung - 44
Wakil Buddha-Bodhisattva dan
Dharmapala untuk Vihara - 47
Makna Waisak dan terpilihnya calon
Dharmaduta – 51
Mengadakan retreat pertama kali - 56
Satu persatu calon Dharmaduta
mengucapkan sumpah Bodhi - 59
Menjalankan Dharma ada suka dan
dukanya - 62
Tahapan Annutharayoga Tantra dan
perlindungan para Dharmapala - 68
Ujian mara tahap ke-3 - 76
Bersama Mahastamaprapta Bodhisattva
mengunjungi Alam Sukhavati - 86
Pertobatan Bhagavati Usnissa Vijaya
- 94
Memberikan yang terbaik adalah
kebahagiaan - 97
Pelimpahan Jasa dan Penyeberangan
Roh - 100
Menjalani pengasingan dan Memahami
Sunyata (Dzogchen & Mahamudra) - 104
Pengangkatan Dharmaduta Vihara
Sukhavati Prajna - 116
KONG HAI SHAN - 119
KARUPA SAMDIBYA - 127
AISINALI - 133
MAHA DHARANI - 137
GAUTAMI SHENGMU - 141
WARNA SUKMA KAPPA - 149
WEN ZHU - 155
VIMMALA VIDYA GARBHA - 160
MAHYURI - 193
VAJRA DIPAMKARA RAJA - 198
SIWA DANURI - 217
ALOKA SUKHAVATI - 219
XIN YIN - 223
GATHA SUKALI - 225
ABIWINURI - 230
TAO SIEN CUEN - 233
Nasihat untuk para Dharmaduta - 236
Penutup - 242
PENDAHULUAN
Suatu hari Mahadewi Yao Chi datang dalam meditasiku, Beliau mengatakan
agar aku tidak menutup diri dan harus mencoba menjalankan Amanat menulis buku
ini. Amanat yang diberikan kepadaku mengenai Dharmaduta pilihan
Buddha-Bodhisattva untuk Vihara Sukhavati Prajna sudah harus dibuat.
Sesungguhnya tidak mudah untuk
menjalankan amanat ini, aku merasa amanat ini lebih sulit untuk kujalani
dibandingkan amanat-amanat menulis buku sebelumnya. Aku berpikir dalam hati,
bagaimana mungkin bisa memilih mereka untuk menjadi Dharmaduta jika mereka
semua masih dipusingkan dengan bermacam masalah pribadi. Bagaimana mungkin
mereka bisa mengikuti jalan Bodhisattva menjadi Dharmaduta menolong orang lain
keluar dari masalah, sedangkan mereka saja masih sulit keluar dari masalah mereka
sendiri.
Mahadewi Yao Chi berkata bahwa
Buddha-Bodhisattva tidak menunggu sampai mereka tidak mempunyai masalah, dengan
dipilihnya mereka menjadi Dharmaduta maka dengan sendirinya ada tanggung jawab
Dharma dan akan membuat mereka belajar introspeksi dan merubah diri.
Walaupun Mahadewi Yao Chi sudah
berkata demikian dan beberapa Buddha-Bodhisattva serta Dharmapala sudah memilih
wakilNya, aku tetap saja sulit untuk memulai menulis buku ini. Ada pertentangan
dalam diriku terhadap keinginan Buddha-Bodhisattva dengan tingkah laku dan
perbuatan orang-orang pilihanNya. Banyak cobaan dan ujian yang harus aku terima
dan juga harus mereka terima. Mereka masing-masing, bahkan diriku tidak
mengetahui dan merasakan ujian-ujian seperti apa yang akan datang itu. Aku
tahu, disaat aku dan mereka berusaha membina diri dan menjalani hidup dengan
benar, maka Mara berusaha masuk untuk menggagalkan pembinaan diri kami semua.
Selama beberapa waktu kami semua
mengalami gonjang ganjing dalam kebersamaan, satu persatu sifat jelek dan
keburukan masing-masing orang terbuka, satu persatu mengalami kegagalan dalam
pembinaan diri dan tidak bisa menguasai ego, amarah, keakuan, dendam dan
iri-hati dalam diri. Kami yang pada awalnya begitu akrab dan penuh
kekeluargaan, mendadak saja saling salah paham, mudah tersinggung, saling
membenci dan saling menjelekkan satu sama lain. Mara benar-benar telah
memporak-porandakan kebersamaan kami dalam membina diri. Dan aku harus
mengalami hujatan dan hinaan dari orang-orang yang sebelumnya begitu dekat
denganku.
Kejadian ini sungguh amat membuat
aku sedih, aku sempat terguncang dengan semua sikap dan dan perbuatan mereka.
Kata-kata kasar dan penghinaan keluar dari mulut mereka, dan mereka telah
melupakan kebersamaan dan keakraban yang sebelumnya telah terjalin. Aku sungguh
tidak pernah menduga akan terjadi hal ini, sungguh tidak menduga akan
dikhianati oleh orang yang paling dekat denganku selama ini.
Dari sekian banyak orang pilihan
Buddha-Bodhisattva untuk menjadi calon Dharmaduta Vihara, hanya tinggal
beberapa orang saja yang bisa bertahan dan tetap teguh bersamaku membina diri
dan menjalankan Dharma. Sebagian besar termakan hasutan dan tidak bisa
menguasai ujian yang datang pada mereka. Aku hampir saja tidak bisa melewati
ujian yang datang padaku saat itu, dari sekian banyak ujian yang kulewati sejak
aku mulai menjalankan Bhavana, ujian inilah yang paling terberat dan yang
paling membuat aku amat terpukul dari semuanya.
Saat mendapat amanat menulis buku
berjudul Dharmaduta Sukhavati Tantra, aku tidak memahaminya, tidak mengerti apa
yang akan ku tulis, bahkan tidak tahu makna judul tersebut.
Hatiku bertanya-tanya, apakah
Dharmaduta yang dimaksud adalah para Biksu? atau hanya Pembabar Dharma biasa?
Menulis buku ini seakan aku
diarahkan untuk melihat sendiri, menilai sendiri dan memahami sendiri serta
menyimpulkan sendiri setiap hal yang terjadi, baik yang aku alami maupun yang
mereka alami. Aku hanya diberi petunjuk siapa saja orang pilihan yang akan
menjadi calon Dharmaduta Vihara. Buddha-Bodhisattva memilih mereka berdasarkan
karma jodoh yang kuat dan mereka masing-masing telah mulai membina diri. Tapi
aku diminta untuk tidak langsung memberitahukan mereka mengenai petunjuk ini.
Aku diminta untuk mengamati dan melihat sikap, tingkah laku serta perbuatan
mereka terlebih duhulu, karena Buddha-Bodhisattva tahu bahwa akan ada perubahan
yang terjadi.
Sepertinya tugas ini terlalu berat
dan sangat sulit untuk kurealisasikan. Karena kekhawatiranku itu membuat
penulisan buku ini tertunda cukup lama, karena aku tidak juga memulainya. Aku
selalu saja menunda-nunda dan berharap bisa ada perubahan amanat.
Tapi semakin aku berusaha untuk
tidak menghiraukan amanat ini, segala hal yang berhubungan dengan judul buku
ini terus muncul, membuat aku semakin lama semakin memahami makna amanat
penulisan buku ini.
Akhirnya setelah tertunda begitu
lama dan mencoba untuk tidak menjalaninya, hari ini aku mulai menulis dan
meyakinkan diriku bahwa aku bisa mewujudkan amanat Buddha-Bodhisattva. Apapun
penilaian orang, aku tidak memikirkannya lagi dan berusaha untuk tetap maju.
Perkembangan dan terusnya Vihara Sukhavati Prajna membabarkan Dharma bergantung
pada tekad, keteguhan dan keyakinanku. Aku berusaha untuk memantapkan hati dan
percaya bahwa apa yang kulakukan adalah kebenaran. Walaupun jalanku menuju
jalan kebenaran (Tao) banyak halangan dan rintangan, walaupun ada yang datang
atau yang pergi dalam jalan dharmaku, aku akan tetap maju terus dan tak
tergoyahkan.
Om . Jin Mu . Siddi . Hum.
SYUKURAN VIHARA SUKHAVATI PRAJNA
Pada pertengahan bulan Maret, kami mengadakan syukuran Vihara yang
sebelumnya masih berbentuk Cetya sekaligus memperingati hari ulang tahun Guru
Sejatiku Avalokitesvara seribu tangan seribu mata. Akhirnya harapan
Buddha-Bodhisattva kepadaku untuk membuat Vihara telah terwujud dalam waktu
yang sangat singkat. Aku amat bersyukur karena bisa mendapatkan banyak bantuan
dan kemudahan dari Buddha-Bodhisattva dan beberapa orang yang telah mendukung
sejak awal vihara terbentuk.
Sebulan sebelum acara diselenggarakan
Guru Sejatiku memilih aku dan 4 orang umat untuk bisa mengisi acara syukuran
Vihara, 4 orang itu adalah Wen Zhu, Gatha Sukali, Gautami Shengmu dan Vajra
Dipamkara Raja. Sebelumnya kami
mengundang salah satu sanggar tari untuk membawakan tarian seribu tangan
sebagai persembahan kepada Guru Sejatiku. Sedangkan kami berlima dibimbing oleh
Guru Sejatiku untuk menyanyi, menari lagu-lagu Dharma dan Tai Chi. Awalnya kami
tidak tahu apa yang harus kami lakukan, tapi Guru Sejatiku mengajari kami
setiap hari, bayangkan Guru Sejatiku mengajari kami satu persatu, gerakan
tarian kami masing-masing berbeda. Kami berlima seakan sedang dituntun untuk
mempersiapkan diri mengisi acara syukuran Vihara. Aku dibimbing yogatari
diiringi lagu Sutra Raja Agung Avalokitesvara, Wen Zhu dibimbing menyanyi
sambil menari lagu Om Mani Padme Hum, Gatha Sukali dibimbing tarian mongol
diiringi lagu Sutra Usnissa Vijaya, Gautami Shengmu dibimbing tarian Tiongkok
diiringi lagu Maha Karuna Dharani dan Vajra Dipamkara Raja dibimbing tai chi
dengan diringi lagu Kungfu Master. Baju-baju yang kami kenakan nanti saat
pentas juga disesuaikan dengan tema tarian kami dan itupun berdasarkan petunjuk
Guru Sejatiku.
Sebulan sebelum acara syukuran
Vihara, Guru Sejatiku datang dan melatih kami satu persatu dirumah
masing-masing, kami dibantu melenturkan badan, gerakan tarian, dan dibimbing
mengendalikan diri. Setiap hari aku diarahkan untuk berlatih gerakan tari yang
agak sulit, aku harus berdiri dengan satu kaki dan diajarkan yoga. Yoga yang
diajarkan seperti yoga-yoga yang biasa dilakukan oleh orang-orang India, dengan
posisi tubuh yang susah untuk dilakukan, diajarkan untuk bisa berdiri satu kaki
dengan stabil.
Dalam beberapa hari aku masih
kesulitan untuk beryoga seperti itu, tapi semakin lama aku sudah bisa stabil
dan mempertahankan diri berdiri satu kaki bahkan tidak jatuh saat berposisi
seperti itu walaupun tubuh dan tangan bergerak-gerak. Kami semua berlatih
dengan tekun dan bersemangat sehingga Kami berlima seakan menjadi satu kesatuan
dan bersama-sama mendukung acara. Kami semua yang tidak bisa menari dan tai
chi, mendadak menjadi bisa melakukannya berkat bimbingan Guru Sejatiku.
Ketika tiba harinya, kami semua satu
persatu mempertunjukkan hasil bimbingan kepada para tamu undangan. Kami semua begitu
percaya diri dan tidak takut untuk maju, padahal kami semua sebelumnya tidak
pernah pentas menari. Ini adalah perdana kami, dan pertama kalinya
mempersembahkan nyanyian, tarian dan tai chi kepada Buddha-Bodhisattva di acara
syukuran Vihara Sukhavati Prajna. Kami berlima telah mendapatkan pengalaman
baru, pengalaman ini mengajarkan kami bahwa Buddha-Bodhisattva itu selalu
memperhatikan segala perbuatan orang-orang yang dekat berdasarkan adanya karma
jodoh dengan Mereka. Selalu berusaha memberikan yang terbaik kepada mereka,
Buddha-Bodhisattva tidak takut DharmaNya dicuri, bahkan berkenan membimbing
setiap hari agar mereka mempunyai kelebihan dan memunculkan talenta mereka
tanpa melihat status dan perbedaan mereka, baik dia orang berada ataupun tidak,
Buddha-Bodhisattva tidak melihat hal itu, tapi melihat kebersihan hati mereka,
ketulusan hati mereka dan kepolosan mereka.
Buddha-Bodhisattva lebih menyukai
orang-orang yang masih polos dalam dharma, karena dengan begitu Mereka bisa
mengisi ajaran dharma hingga terisi penuh sampai pada saatnya nanti mereka akan
menjalankan dharma dengan lebih tulus. Buddha-Bodhisattva sulit untuk
membimbing orang yang merasa sudah pintar mengenai dharma, karena orang
demikian kurang bisa menerima bimbingan Buddha-Bodhisattva dan akan selalu
menganggap pikiran, perkataan dan perbuatannya sudah benar menurut dirinya
sendiri.
Ibarat sebuah cangkir yang kosong
bisa diisi oleh air sampai penuh, sedangkan cangkir yang telah penuh tidak akan
bisa diisi air lagi karena akan luber keluar dan baru bisa diisi jika air
didalam cangkir itu dikosongkan terlebih dahulu.
Acara syukuran dan pementasan kami
berjalan dengan sempurna, kami semua sangat bahagia sekaligus terharu, acara
syukuran ini meninggalkan kesan yang tak
terlupakan untuk kami masing-masing.
Kami kembali menjalin keakraban dan
kekeluargaan satu sama lain, bisa dibilang hilang satu tumbuh seribu, begitulah
yang aku alami, walaupun sebagian orang pergi tapi semakin banyak orang baru
yang datang. Aku membiarkan semua yang datang dan pergi berdasarkan jodoh saja,
aku tidak ingin melekat terhadap kebahagiaan dan keakraban manusia, karena
segala sesuatu pasti selalu berubah/tidak kekal, tidak ada kebersamaan di dunia
ini yang bertahan selamanya, ada datang ada pergi, ada pertemuan pasti ada
perpisahan, ada kebahagiaan pasti ada kesedihan, ada lahir pasti ada mati.
Tidak ada hal di dunia ini yang bisa dipertahankan, pada waktunya semua pasti
ditinggalkan ataupun meninggalkan.
Semakin lama aku semakin mengerti
apa yang dirasakan Buddha-Bodhisattva dan Mahaguru, aku belajar untuk menjalani
kehidupan ini seperti air, hanya mengikuti alurnya dan tidak berusaha melawan
arus.
“Putihnya awan tak seputih hati
nurani,
Jernihnya air tak sejernih pikiran,
Teguhnya semua ini tak seteguh
keyakinan,
Jalan Dharma begitu berliku,
Terlihat samar dan tidak nyata,
Tapi hasil akhirnya begitu
mendunia.”
BUDDHA-BODHISATTVA MENERIMA APAPUN
PERLAKUAN MANUSIA
Ternyata apa yang dipilih Buddha-Bodhisattva belumlah tentu adalah orang
yang benar-benar sudah baik dan sempurna mengikuti jalanNYA. Berdasarkan apa
yang aku lihat dan kuamati, kebanyakan mereka masih tenggelam dengan
keduniawian mereka, ragu-ragu dan bahkan ada yang memiliki motif dan tujuan
tertentu dalam menjalankan Dharma Buddha.
Orang yang sepertinya kulihat baik,
sepertinya berdedikasi mendukungku dan Vihara, ternyata mempunyai keinginan dan
maksud tertentu. Aku mulai memahami bahwa, orang-orang yang dekat denganku,
belumlah tentu benar-benar menjaga dan mendukung sepenuh hati mereka. Tapi
sikap membaur dan perhatian mereka hanyalah untuk bisa berlindung dibawah
payung Buddha-Bodhisattva dan agar membantunya keluar dalam kesulitan dan
masalah yang sedang mereka hadapi, sehingga tidak benar-benar membina dirinya.
Selama aku membimbing dan
mengarahkan mereka, aku tidak pernah mengharapkan balasan apapun, aku tulus
mencoba membantu, disaat awal mereka datang padaku pastinya mereka sedang
bermasalah, tapi setelah mereka keluar dan terbebas dari masalah, mereka lupa bahkan
mencelaku dari belakang. Sebagian orang terpengaruh dengan perkataan orang lain
yang mungkin mempunyai motif dan tujuan yang sama sepertinya.
Aku sempat merasa sedih dan kecewa
terhadap sikap dan perbuatan mereka dan sempat mempertanyakan kepada Buddha-Bodhisattva
mengapa bisa memilih orang-orang seperti itu untuk menjadi bagian dari Vihara.
Aku bertanya kepada
Buddha-Bodhisattva, apakah pantas mereka berbuat begitu? Apakah
Buddha-Bodhisattva menerima perlakuan buruk mereka? Aku ini masih manusia, apakah
aku tidak pantas untuk sakit hati?
Berurai air mata aku menghadap
Altar, bersujud aku dihadapan Buddha-Bodhisattva. Aku memohon pengampunan jika
aku berbuat kesalahan yang kusengaja maupun yang tidak kusengaja sehingga
diperlakukan demikian.
Setelah berjodohnya aku dengan
ajaran Buddha aku baru mengerti, aku tidak mungkin berharap terlalu banyak.
Walaupun tujuanku baik, belum tentu ditanggapi dan diterima dengan baik.
Menjalani jalan Dharma ini ternyata harus mendapatkan pertentangan. Yang tidak
kumengerti, mengapa pertentangan ini datangnya dari sesama umat sendiri, bahkan
pertentangan datang dari aliran yang dekat dan berjodoh denganku.
Banyak dari mereka mengira, aku
meniru dan berdirinya Vihara Sukhavati Prajna adalah bertujuan mempengaruhi
umat lain, sehingga mereka berusaha menjelekkanku dalam jalan Dharmaku.
Seperti apakah Dharma Buddha yang
sebenarnya?
Apakah umat Buddha harus saling
memproteksi diri?
Apakah perlu menjelek-jelekan
seseorang untuk meyakinkan orang lain? Apakah Sang Buddha mengajarkan
umatnya untuk mencari kesalahan orang
lain?
Aku tidak pernah berniat
mempengaruhi siapapun, aku tidak pernah berusaha menghasut siapapun. Buku-buku
yang kutulis bertujuan untuk membagi Dharma pada yang lain, mengapa mereka
mengatakan aku salah?
Aku menulis buku Dharma berdasarkan
amanat dari Buddha Sakyamuni, Mahadewi Yao Chi, Bodhidharma dan Kaisar
langit. bukankah kita harus menghargai
segala ajaran yang diturunkan oleh para Buddha-Bodhisattva, jika kita
mengabaikan amanatNya, itu sama artinya tidak menghormati Buddha-Bodhisattva
dan Kaisar langit.
Apa kita tidak percaya kepada
kebesaran nama Buddha-Bodhisattva dan apa artinya kita semua rajin
bersembahyang, memuji, menyembah, bersujud dihadapan Buddha-Bodhisattva dan
Kaisar Langit. Aku mempertanyakan semua hal ini kepada Buddha-Bodhisattva.
Apakah aku harus menerima semua ini?
lalu untuk apa Buddha-Bodhisattva
mengarahkanku untuk menjalankan Dharma Buddha? Apakah untuk menerima semua
perlakuan ini? Aku begitu sedih, amat sedih. Aku mengikuti ajaran Mahaguru saja
begitu sulit. Apakah salah aku mengikuti ajaranNya? Apakah salah tuntunan yang
kuberikan pada orang yang datang padaku selama ini?
Setiap orang yang datang kepadaku,
apapun masalah mereka, aku selalu menekankan dan meminta mereka untuk membaca
Mantera dan Sutra sesuai ajaran Buddha, apakah itu salah?
Aku menuntun mereka untuk merubah
diri menjadi lebih baik, menjauhkan diri dari kebiasaan buruk apakah itu salah?
Aku membantu mereka untuk
menumbuhkan kontak batin dengan para Dewa agar kerohanian mereka semakin kuat
apakah itu salah?
Aku membimbing mereka untuk belajar
mengendalikan ego, amarah dan keakuan apakah itu salah?
Aku tidak pernah menjelekkan nama
Buddha-Bodhisattva, bahkan tidak pernah menjelekkan nama Mahaguru, mengapa
antipati padaku?
Kita semua umat Buddha, murid
Buddha, bahkan mempunyai benih Buddha dalam diri kita. Mungkin keyakinan dan
pengetahuan terhadap Dharma Buddha lebih dulu dan lebih lama dariku, tapi
mengapa tidak memahami 3 racun (loba, dosa dan moha).
Saat aku mulai bisa berkontak batin,
berjodoh dengan ajaran Buddha dan bisa berkomunikasi dengan para Dewa, Juru
S’lamat ajaran lain saja tidak bersikap antipati karena pilihanku mengikuti
ajaran Buddha, bahkan Beliau berpesan agar dalam berbuat kebajikan dan menolong
orang aku tidak boleh membeda-bedakan orang. Bagaimana mungkin umat Buddha
sendiri menaruh curiga padaku dan berusaha menutup jalan Dharma Buddhaku.
Apakah Mahaguru yang penuh welas
asih juga berpikir hal yang sama mengenai muridNya yang satu ini?
Yang ku tahu Mahaguru pencapaiannya
telah sama seperti Buddha-Bodhisattva, akupun tidak meragukan hal itu karena
secara roh Mahaguru juga bisa datang membimbing dan memberiku banyak ajaran
Dharma, sama seperti Buddha-Bodhisattva yang datang memberiku bimbingan dan
nasihat. Bersifat universal menyelamatkan semua insan tanpa terkecuali, tidak
membedakan agama, bahasa, negara dan warna kulit semua insan.
Terhadap pengalamanku secara roh
dibimbing Mahaguru pergi ke alam Nirvana dan Neraka sempat ada yang berkomentar ;
“Bisa saja yang datang membimbingku
itu bukan Mahaguru, tapi Mara atau setan yang menyamar.”
Apakah kita benar-benar bodoh dan
tidak bisa lagi membedakan mana Buddha dan mana Mara?
Bukankah Buddha-Bodhisattva memiliki
tujuan yang bertolak belakang dengan tujuan Mara/Setan terhadap seorang Pembina
diri?
Buddha-Bodhisattva selalu berusaha
menolong manusia terlepas dari penderitaan dan membantu memutuskan tumimbal
lahir, berharap manusia bisa membina diri agar bisa mencapai tingkat kesucian
dan ke-Buddha-an serta bisa terlahir ke alam yang lebih baik. Sedangkan
mara/setan berusaha menggagalkan pembinaan diri manusia untuk mencapai
ke-Buddha-an, menghasut manusia untuk berbuat kesalahan sehingga terlahir ke
alam rendah.
Bisa berkata demikian, sama artinya
tidak percaya dan yakin kalau Mahaguru memiliki kemampuan menolong dan
membimbing manusia secara roh sama seperti Buddha-Bodhisattva bisa membelah
tubuh, sehingga bisa berada dimana saja menjalankan misi penyelamatan dan
menemui manusia-manusia yang berjodoh denganNya.
Jika jalan Dharmaku salah dimata
Mahaguru, aku memohon maaf yang sebesar-besarnya kepada Mahaguru. Mahaguru
adalah panutan dan motivatorku dalam menjalankan Dharma Buddha, karena disaat
aku berjodoh dengan agama Buddha, ajaran Mahagurulah yang pertama berjodoh
denganku, dan Buddha-Bodhisattva sendiri yang menuntunku bersarana pada Beliau.
Jika aku bersalah, aku siap bersujud dihadapan Mahaguru sama seperti aku
bersujud dan menghormat kepada Buddha-Bodhisattva.
Setelah aku selesai mencurahkan
kesedihanku kepada Buddha-Bodhisattva, Guru Sejatiku Avalokitesvara Seribu
Tangan Seribu Mata datang dan berkata ;
“Desi, kau jangan bersedih. Apapun
perlakuan manusia, baik itu positif ataupun negatif, asalkan pada akhirnya bisa
merubah mereka kejalan yang benar, semua Buddha-Bodhisattva menerimanya. Karena
Buddha-Bodhisattva tiada keakuan dan kemelekatan terhadap segala sesuatu.
Segala bentuk perbuatan dan perlakuan mereka tidak akan merubah misi dan ikrar
Buddha-Bodhisattva. Seharusnya kaupun demikian. Tumbuhkanlah kewelasasihan dan
Boddhicita dalam hatimu, tetaplah teguh dan tak tergoyahkan, karena seorang
Bodhisattva akan selalu siap menderita demi kebenaran dan kebahagiaan semua
makhluk”
Mendengar perkataan Guru Sejatiku
itu, seluruh amarah, kekecewaan, penderitaan dan kesedihanku hilang lenyap.
Seperti itulah Buddha-Bodhisattva membimbing dan menasihatiku.
Apakah Guru Sejatiku, Avalokitesvara
Seribu Tangan Seribu Mata adalah Mara/Setan yang menyamar? renungkanlah!!!
“Begitu banyak yang terjadi dari
kehidupan sepi
sampai kehidupan pedih,
Semua hanyalah penderitaan dan
penderitaan,
Tak ada yang benar-benar bisa hidup
bahagia,
Tertawa dan senang diluar, sakit dan
kecewa didalam,
Apakah seperti ini Kehidupan?
Tak ada yang bisa mencegahnya
kecuali menyadari diri sendiri.”
BERJODOH SECARA TUBUH DAN ROH DENGAN
MAHAGURU
Tidak terasa setahun telah berlalu sejak Mahaguru datang ke Indonesia
dalam rangka penandatanganan buku hasil karyaNya, tahun ini Mahaguru
dijadwalkan akan datang kembali ke Indonesia untuk mengelar Ritual Akbar Api
Homa di Bogor.
Setahun yang lalu saat Mahaguru
datang untuk menandatangani buku-bukunya disebuah mall di Jakarta, aku tidak
mendapat kupon penandatangan bukuNya. Aku merasa sepertinya tidak berjodoh
secara manusia dengan Mahaguru, walaupun secara roh Mahaguru datang mengangkat
aku menjadi murid dan membimbing Dharma Buddha. Tapi di hari pertama aku tetap
datang ke mall tersebut untuk melihat dan menghormatiNya.
Sepulang aku dari mall tersebut
dalam perjalanan pulang, aku merenung dan berbicara sendiri didalam hati.
Mengapa dalam dunia roh Mahaguru bisa demikian dekat dan bisa datang
membimbing, tapi secara manusia Mahaguru sama sekali tidak merasakan
keberadaanku. Apakah bisa berkontak batin secara roh belum tentu bisa berkontak
batin secara tubuh fisik. Apakah perkataan para Buddha-Bodhisattva dan Mahaguru
sendiri secara roh, bahwa aku akan bisa bertemu dan dekat dengan Mahaguru
secara manusia itu hanyalah untuk menghiburku saja.
Sesampai aku dirumah, aku langsung
bersujud di depan Altar, aku menangis mencurahkan kesedihanku kepada
Buddha-Bodhisattva. Aku ingin memberi penghormatan dan berterima kasih kepada
Mahaguru dengan bernamaskara 3 kali dihadapanNya itu sangat sulit, bahkan untuk
mendapat tandatangan buku Mahaguru saja aku tidak mendapatkannya karena kupon
tanda tangan sudah habis. Dimanapun Mahaguru berada, banyak satgas yang
menghalau, sehingga aku hanya bisa melihat Mahaguru dari kejauhan saja. Aku
merasa sama sekali tidak berjodoh secara manusia dengan Mahaguru dan tidak akan
mempunyai kesempatan untuk bernamaskara 3x dihadapanNya untuk berterima kasih.
Saat itu Guru Sejatiku dan Buddha-Bodhisattva tidak menjawab kesedihanku itu.
Keesokan harinya, di hari ke-2
penandatanganan buku di mall yang sama. Aku kembali datang untuk menghormati
Mahaguru walaupun hanya bisa melihat Beliau dari kejauhan. Tapi tiba-tiba saja,
ada seorang pria yang ternyata murid Mahaguru juga datang menghampiriku dan
berkata ;
“Secie, mau kupon untuk bisa dapat
tanda tangan Mahaguru gak ?”
Aku kaget mendengar perkataannya.
Apakah ini suatu kebetulan? ataukah para Buddha-Bodhisattva diam-diam telah
mendengar keluhanku, sehingga mengatur semua ini dan menjawab kesedihanku
semalam?.
Mendapatkan tawaran dari orang
tersebut aku tidak langsung menerimanya, aku berkata padanya ;
“Tidak usah sesiung, anda sudah
mendapatkan kupon tandatangan jangan kasih ke saya, sesiung antri saja untuk
dapat tanda tangan secun.”
“Gak apa-apa, saya punya 2 kupon.
Satu bisa saya kasih secie.”
Ternyata orang tersebut dapat 2
kupon, dan 1 kupon dia berikan dengan tulus kepadaku sekaligus sebuah buku
untuk ditanda-tangani.
Akhirnya berkat orang tersebut dan
berkat Buddha-Bodhisattva, aku bisa mendapatkan tandatangan Mahaguru sekaligus
bisa bernamaskara 3 kali dihadapanNya, walaupun pada saat aku bernamaskara
tepat dihadapan Beliau, Mahaguru sama sekali tidak melihatku bersujud
dihadapanNya dan para petugas melarangku untuk bernamaskara, aku tetap
menjalankan niat awalku untuk bersujud dihadapan Beliau 3x. Saat itu aku sudah
bahagia karena bisa mewujudkan harapanku untuk berterima kasih dengan bersujud
3x padaNya. Aku sangat berterima kasih kepada sesiung yang memberiku kupon
tanda tangan tersebut dan berterima kasih atas bantuan Buddha-Bodhisattva telah
menjawab keluhanku serta mewujudkan harapanku tersebut.
Saat Mahaguru datang kembali tahun
ini, aku kembali mengalami yukta. Berawal dari satu bulan sebelum kedatangan
Mahaguru ke Indonesia, Dorge Pagmo (Vajravarahi) datang menemuiku dalam
meditasi. Saat Vajravarahi datang, aku tidak mengenalNya. Auranya terasa asing
kurasakan, tapi wujudnya bisa aku lihat dengan jelas, Bodhisattva itu bertubuh
perempuan muda yang sangat langsing dan indah, posisi berdiri mengangkat satu
kaki, tubuh memancarkan sinar merah, tangan kiri memegang kulit kerang berisi
air Amertha berwarna merah dan mengapit tombak Katvanga seperti yang dipegang
oleh Padmasambhava, tangan kanannya memegang pisau sabit, tapi kekuatan
energinya sangat besar. Aku bertanya dalam hati siapakah Bodhisattva itu.
Lalu Bodhisattva itu berkata ;
“Desi, Aku Vajravarahi.“
Saat Beliau mengatakan namanya,
terdengar olehku sepertinya Prajapati, tapi Vajravarahi terus mengulang
memberitahu namanya, sehingga aku bisa dengan lebih jelas dan yakin kalau
Beliau adalah Vajravarahi dan bukan Prajapati.
“Mohon petunjuk, ada apakah
Bodhisattva datang hari ini ?“
“Desi, hari ini aku datang menemuimu
untuk membimbingmu.”
“Membimbing saya? membimbing apa
Bodhisattva Vajravarahi ?”
“Membimbingmu untuk mengaktifkan
kembali api kundalini dalam dirimu, sampai tubuhmu memancarkan sinar pelangi.”
“Tubuh memancarkan sinar pelangi ?”
“Ya, jika kau bisa melatihnya dengan
baik, maka kau akan bisa memancarkan sinar pelangi itu untuk berkontak batin
dengan Mahaguru secara fisik.”
“Jadi Bodhisattva khusus datang membimbing
saya agar bisa bertemu dengan Mahaguru ?”
“Ya, aku akan datang membimbingmu
mulai hari ini disetiap jam 7 malam dan jam 7 pagi. Diwaktu-waktu itu kau harus
berlatih meditasi dan aku akan membimbingmu.”
Aku mengucapkan terima kasih pada
Bodhisattva Vajravarahi dan mengikuti petunjukNya untuk melatih meditasi di
waktu yang di jadwalkanNya.
Setiap jam 7 malam dan 7 pagi, aku duduk didepan altar, menjapa Mantera Hati
Vajravarahi 108x dan masuk dalam meditasi. Sensasi meditasi selama dibimbing
Vajravarahi amat berbeda, begitu halus dan berenergi serta prana dalam tubuh
berjalan dengan sendirinya, api kundaliniku bangkit kembali dan membuka
cakra-cakra dalam tubuhku, pada titik tertentu tubuhku memancarkan sinar putih
terang, dan semakin lama sinar putih terang yang keluar dari tubuhku, menjadi
dikelilingi oleh sinar warna-warni dibagian luarnya seperti sinar pelangi. Aku
hampir tidak percaya, aku telah bisa memancarkan sinar pelangi berkat bimbingan
Vajravarahi.
Saat Mahaguru datang tanggal 23
Maret 2012, aku tidak bisa datang mengikutinya ke Vihara Pancoran, karena
Mahadewi Yaochi telah menurunkan Shadana Puja Air untuk diselenggarakan di
Vihara Sukhavati Prajna pada hari yang sama. Tapi karena tahu kalau Mahaguru
sudah tiba di Indonesia, aku mencoba mempraktekan tubuh sinar pelangi yang
diajarkan Vajravarahi, untuk mengirim sinar/getaran kepada Mahaguru. Saat
mempraktekannya aku agak sedikit ragu, dan berpikir apakah Mahaguru akan bisa
melihat dan merasakannya.
Baru keesokan harinya aku bisa
mengikuti Mahaguru karena tidak ada kegiatan di Vihara. Aku mengikuti Mahaguru
bukan karena berambisi untuk bisa dekat denganNya. Tapi para Buddha-Bodhisattva
berpesan padaku, jika Mahaguru datang ke Jakarta, aku diharapkan untuk pergi
melihatNya, ini sebagai bentuk penghormatan dan bakti seorang murid kepada
Gurunya. Karena itu, selama Mahaguru ada di Jakarta dan berdharmadesana di
Vihara-viharaNya, aku selalu menyempatkan diri untuk datang, walaupun harus
berada diluar dan tidak masuk ke Vihara itu.
Saat Mahaguru datang ke Vihara
Kelapa Gading, aku dan beberapa umat Vihara pergi juga kesana. Saat turun dari
mobil dan berada dekat Vihara Kelapa Gading dan rombongan Mahaguru sudah sampai
disana. Tiba-tiba aku merasakan perubahan aura dalam diriku, mendadak aku merasakan
detakkan kencang dari tubuhku, aku merasa sesak dan sulit untuk bernafas. Aku
mengira terkena serangan jantung, tapi anehnya detakkan kencang itu bukan
berasal dari jantungku, melainkan berasal dari hatiku. Detakkan itu begitu kencang sampai-sampai tubuhku
bergoyang-goyang sangat kuat. Aku mencoba menenangkan hati, tapi detakkan
kencang yang asalnya dari hatiku itu tidak juga berhenti.
Tidak lama kemudian Ucchusma
Vidyaraja datang dan berkata ;
“Desi, aku Ucchusma Vidyaraja. Saat
ini para Buddha-Bodhisattva dan para Dharmapala datang mengiringimu. Mereka
juga mengiringi Mahaguru. Nanti kau pancarkanlah sinar pelangi dari tubuhmu
agar Mahaguru bisa melihatmu.”
“Ucchusma Vidyaraja, mohon maafkan
saya. Saat ini saya tidak bisa berkonsentrasi. Karena hati saya berdetak
kencang sekali rasanya sakit dan sulit untuk bernafas, apakah Ucchusma tahu apa
yang saya alami ini?”
“Desi, saat ini aura
Buddha-Bodhisattva dan Dharmapala yang mengiringimu sangat kuat, tapi saat ini
pula hatimu sedang kacau. Kau harus menenangkan hatimu agar bisa berkontak
batin.”
Ucchusma sudah memberitahukan hal
itu kepadaku, tapi aku tetap kesulitan untuk berkonsentrasi dan masuk dalam
meditasi memancarkan sinar pelangi, hatiku tidak bisa tenang dan terus berdetak
kencang. Sampai-sampai karena tidak kuat menahan gejolak dalam hati, aku segera
masuk ke dalam toilet mall tersebut dan aku menangis meraung-raung meratapi
diri di dalam toilet, hatiku demikian sakit meratapi kesedihanku, aku berteriak
dalam hati kepada Buddha-Bodhisattva, sesungguhnya apa yang kualami saat ini,
mengapa Buddha-Bodhisattva membiarkan aku mengalami hal ini.
Dan anehnya, setelah aku menangis
meraung-raung di dalam toilet, detakkan keras dihatiku langsung berhenti begitu
saja dan mulai merasa tenang. Tidak lama kemudian Guru Sejatiku muncul dan
menasihati ;
“Desi, kau tidak boleh memendam
kesedihanmu atas perbuatan buruk orang lain didalam hatimu, kau tidak boleh
menyimpan dan menampung semua masalah-masalah orang lain dalam hatimu, kau
tidak boleh mengotori hatimu dengan pikiran-pikiran yang tidak berguna. Kau
harus belajar untuk melepaskan beban dalam hatimu, belajarlah untuk
melepaskannya.”
Aku sadar, selama beberapa waktu ini
aku memang banyak memikirkan perlakuan-perlakuan buruk dari orang-orang yang
pernah dekat denganku, sehingga disaat banyak Buddha-Bodhisattva dan Dharmapala
mengiringi jalanku dan berkontak batin denganku, aku tidak siap.
Pada sabtu malam sebelum Ritual
Akbar Api Homa yang dipimpin Mahaguru digelar di Bogor, aku dihubungi oleh
saudaraku, katanya adik iparnya akan pergi dengan salah satu biksu dari medan
mengajak bertemu dengan Mahaguru disalah satu hotel di Jakarta. Aku yang
tadinya tidak ada rencana untuk keluar rumah dan sedang tidur saat itu,
dibangunkan dan diajak ke sana. Sebenarnya aku sedikit enggan untuk pergi, tapi
karena menghargai perhatian dan bantuan yang diberikan keluargaku, aku
mantapkan hati untuk pergi.
Saat kami tiba dan menunggu di lobby
hotel tersebut, rombongan Mahaguru tidak terlihat datang. Tapi pada waktu
kira-kira pukul 10 malam lewat, aku merasakan aura yang sangat kuat dan merasa
yakin kalau Mahaguru sudah datang ke hotel tersebut, tapi tidak terlihat masuk
dari lobby tempat kami semua menunggu, sampai aura kuat itu pelan-pelan
melemah. Ternyata benar, Mahaguru sudah masuk kedalam hotel tapi tidak melewati
lobby, melainkan melalui pintu parkir belakang.
Karena kami semua sudah mengetahui
kalau tidak bisa bertemu dengan Mahaguru, kami berniat untuk pulang, sebelum
pulang aku mencoba duduk bermeditasi disebuah sofa yang berada di lobby hotel
itu, aku kembali mempraktekkan apa yang diajarkan Vajravarahi yaitu memancarkan
sinar pelangi, setelah selesai bermeditasi kami beranjak pulang, tapi saat kami
hendak berjalan keluar hotel, tiba-tiba kami melihat penerus Mahaguru muncul.
Hal itu membuat kami kembali dan berfoto dengannya, setelah itu kami pulang ke
rumah.
Esok paginya, ipar keluargaku itu
telpon dan mengatakan kalau saat pagi ini dia kembali datang ke hotel untuk
bertemu dengan Mahaguru, katanya Mahaguru menanyakan kepada penerusNya, dimana
orang yang menungguNya semalam. Ipar keluargaku itu bertanya apa Mahaguru tahu
kalau aku menunggunya semalam. Aku kembali berpikir, apakah Mahaguru merasakan
panggilanku dan melihat pancaran sinar pelangi yang ku kirim kepadaNya di hotel
semalam.
Di hari minggu saat Ritual Akbar Api
Homa digelar, aku dan beberapa umat Vihara pergi bersama ke sana. Sesampai di
tempat ritual, ternyata tiket yang kami semua miliki mendapat tempat duduk di
hall, hanya bisa melihat tempat ritual melalui televisi. Tiket-tiket yang bertanda untuk berada di
dalam ruang ritual telah kami tukar pada orang-orang yang mendapatkan tiket
tenda. Orang-orang yang harusnya mendapatkan duduk di tenda, karena ditukar
dengan tiket kami mereka semua bisa duduk di dalam ruang ritual, sedangkan kami
semua malah mendapatkan tempat duduk hall, di luar ruang ritual, kejadian ini
membuat kami semua tertawa. Tapi berkat bantuan beberapa teman baik, tiket di
luar ruangan kami bisa ditukar dengan tiket di dalam ruangan ritual. Kami semua bersyukur, akhirnya bisa melihat
secara langsung Mahaguru memimpin Ritual Api Homa.
Di hari seninnya, saat Mahaguru
memberikan Abhiseka di Vihara Mangga Besar dan Vihara Bandengan, aku dan
beberapa umat juga ikut kesana. Aku melihat banyak sekali murid Mahaguru, baik
dari dalam negeri maupun luar negeri, bahkan banyak muridNya dari luar negeri
yang selalu mengikuti Mahaguru kemanapun. Dan penjagaan terhadap Mahaguru juga
begitu ketat. Menurut informasi beberapa orang, besok Mahaguru akan berangkat ke Jambi untuk
memberikan Abhiseka di Vihara disana.
Tidak lama kemudian, Guru Sejatiku
datang dan berkata padaku ;
“Desi, besok kau pergilah ke Jambi.“
“Guru, untuk apa saya ke Jambi?“
“Di sana kau akan bisa bertemu dan
dekat dengan Mahaguru.“
“Guru, mana mungkin. Pengikut
Mahaguru begitu banyak, penjagaannya juga begitu ketat, saya tidak mengetahui
daerah Jambi, bagaimana mungkin saya bisa mempunyai peluang bertemu dan dekat
dengan Mahaguru ?.”
“Desi, di Jambi kau akan mendapatkan
peluang bertemu dengan Mahaguru, percayalah kepadaKu.”
Mendengar Guru Sejatiku berkata
begitu, aku kebingungan dan tidak begitu yakin untuk pergi ke Jambi. Aku
memberitahukan hal ini kepada suamiku, suamiku mengatakan ikuti saja petunjuk
Guru Sejatiku itu. Beberapa saudara bertanya, apakah mereka diizinkan untuk
ikut denganku ke Jambi dan Guru Sejatiku mengizinkannya.
Setelah mendapatkan petunjuk itu,
aku mencoba menghubungi seseorang yang kebetulan juga akan berangkat ke Jambi,
yang semestinya dia sudah berada di bandara untuk berangkat hari ini, tapi saat
aku menghubunginya keajaiban terjadi, tiket orang tersebut yang semestinya
berangkat sore ini mendadak dibatalkan karena ada kesalahan jam penerbangan,
sehingga dia harus memesan tiket yang baru dan berangkat bersama denganku besok
paginya.
Sampai di Jambi kami menginap di
Hotel, letak hotel tersebut tepat berseberangan dengan Hotel tempat menginap
Mahaguru. Pada malam harinya kami pergi ke hotel tersebut, berpikir akan bisa
bertemu dengan Mahaguru, tapi sedikitpun tidak melihatNya. Di lobby Hotel,
disalah satu sofa tempat menunggu, aku kembali bermeditasi dan kembali mencoba
memancarkan sinar pelangi dan berkonsentrasi mengirimkan getaran pikiran kepada
Mahaguru, setelah itu kami semua kembali ke hotel untuk bersiap-siap tidur,
karena keesokan harinya kami harus bangun pagi untuk pergi ke salah satu Vihara
dimana Mahaguru memberikan Abhiseka.
Pagi hari kira-kira pukul 7, kami
sudah pergi ke hotel tempat Mahaguru menginap, ternyata disana sudah banyak
orang yang menunggu berjejer kiri dan kanan. Semua begitu setia menunggu
Mahaguru turun dari kamar hotelnya, dan saat Mahaguru turun dari kamar
hotelnya, Beliau memegang kepala kami semua satu persatu sambil keluar hotel
untuk menuju Vihara. Dan aku merasa hari itu jalan terbuka untukku, secara
kebetulan aku dan saudaraku yang lain bisa mendaftar mempersembahkan khata
kepada Mahaguru berkat orang yang pergi bersamaku ke Jambi, dan berkat kebaikan
salah satu ketua Vihara di Jambi, kami bahkan dipinjamkan mobil oleh Vihara tersebut
untuk bisa ikut pergi ke muara Jambi bersama rombongan Mahaguru yang lain.
Saat acara persembahan khata, kami
diarahkan untuk naik ke lantai 3 vihara tersebut. Ternyata disana sudah banyak
yang menunggu saat-saat memberikan penghormatan tertinggi kepada Mahaguru, ada
sekitar 70 orang termasuk kami yang akan mempersembahkan khata. Ini adalah
pertama kalinya aku ikut mempersembahkan khata kepada Mahaguru, aku mencoba
mempersiapkan kata-kata yang hendak aku ucapkan kepada Mahaguru, karena aku
hanya bisa berbahasa Indonesia tidak bisa bahasa mandarin, jadi aku mencoba
menyusun kata-kata dengan bahasa Inggris, walaupun sebenarnya aku tidak begitu
bisa berbahasa Inggris. Aku hendak berkata kepada Mahaguru demikian dalam arti
bahasa Indonesia ;
“Mahaguru, terima kasih atas
bimbinganMu kepada saya secara roh“.
(”Secun, Thank you for your teaching
of me in spiritually.”)
Aku berusaha menghafal perkataan itu
dalam bahasa Inggris, sampai tiba waktunya persembahan khata, kami semua
diminta untuk turun ke lantai 2 karena Mahaguru sudah menunggu kami semua
disana. Saat tiba giliranku menghadap Beliau, setelah khata dikalungkan
dileherku oleh Mahaguru, dihadapanNya aku mengucapkan kata-kata yang sudah
kupersiapkan tadi, tapi karena dasarnya tidak bisa berbahasa Inggris dan
sedikit gemetar, jadi saat bicara kata-kata menjadi kacau balau. Tapi Mahaguru
tersenyum dan mengangguk-anggukkan kepalaNya, menepuk-nepuk kepalaku beberapa
kali. Entah Beliau mengerti atau tidak, aku sudah tidak bisa memikirkannya dan
segera beranjak pergi meninggalkan ruangan persembahan khata dan hendak menuju
ke Altar utama Vihara tersebut dimana nantinya Mahaguru akan berdharmadesana
dan melakukan abhiseka, karena banyak umat lain yang sudah menunggu disana.
Tapi saat aku sudah berada diluar
ruangan tempat Mahaguru menerima khata, tiba-tiba aku dipanggil lagi kedalam,
katanya Mahaguru memanggilku. Dengan rasa tidak percaya, aku segera berlari
kecil kembali ke dalam ruangan persembahan khata itu, dan langsung digiring
berdiri dihadapan Mahaguru. Disaat aku kebingungan Mahaguru sudah kembali
meletakan telapak tangannya dikepalaku, kali ini Beliau memberkati aku lama
sekali, sampai-sampai aku tidak kuat menahan haru dan tidak bisa menahan
tangis.
Setelah itu aku pergi menuju ke
Altar utama Vihara, karena kami orang terakhir yang masuk ke dalam, kami
mendapat tempat duduk dibagian depan. Aku mendapat duduk dibagian sebelah kiri
dibarisan ke-3, sedang saudaraku yang lain malah mendapatkan tempat duduk
dibarisan ke-1 dan ke-2.
Disaat Mahaguru sedang
berdharmadesana, karena tidak mengerti Beliau berbicara dalam bahasa mandarin,
aku pergunakan waktu untuk kembali masuk meditasi dan mencoba memancarkan sinar
pelangi. Sesungguhnya saat itu aku tidak begitu yakin kalau usahaku itu akan
membuahkan hasil dan bisa diketahui ataupun dirasakan oleh Mahaguru, tapi
kupikir tidak ada salahnya kucoba karena tidak ada ruginya dan aku teringat
dengan pesan yang diberikan Ucchusma Vidyaraja dan Vajravarahi.
Setelah aku keluar dari meditasi dan
selesai memancarkan sinar pelangi, aku sempat melihat Mahaguru memejamkan
matanya beberapa detik disela-sela Beliau ceramah, dan saat Beliau membuka
mata, Beliau sedikit mengangguk dan tersenyum, seakan telah mengetahui sesuatu.
Tapi aku tak mau takabur, karena bisa saja tindakanNya itu karena mendapatkan
petunjuk yang lain dan bukanlah karena merasakan getaran dan melihat sinar yang
kupancarkan.
Setelah Mahaguru selesai berceramah
Dharma, saatnya abhiseka. Kami semua diminta untuk berdiri karena tempat kurang
luas untuk acara abhiseka. Pada saat itu Mahaguru sedang berfoto bersama
panitia Vihara dan umat vihara tersebut. Aku berdiri disisi kanan depan, jarak
antara aku dan Mahaguru duduk kira-kira lebih dari 6 meter, dan di sekeliling
Mahaguru banyak Vajra Acharya dan panitia yang menjaga.
Namun entah kenapa, saat aku melihat
ke Mahaguru ternyata Mahaguru juga melihatku. Tangan kanannya melambai kepadaku
dan memanggilku untuk mendekat padaNya, caranya memanggil seperti memanggil
seorang teman lama, padahal baru saat inilah aku bertemu dan dekat dengan
Beliau secara manusia. Saat itu aku tidak mengira hal ini, dan berpikir mungkin
aku salah lihat, dan mungkin saja Mahaguru melambai pada orang lain. Karena aku
takut salah menduga, aku tidak segera maju. Tapi Mahaguru kembali melihatku dan
melambaikan tanganNya memanggil. Kali ini aku benar-benar yakin kalau Mahaguru
benar-benar memanggilku untuk datang padaNya.
Aku segera menuju ketempat Beliau
duduk dengan beranjali dan berdiri disamping kananNya, karena rasa sungkan dan
rasa hormatku kepada Beliau, dan tanpa kuduga sama sekali, Mahaguru meletakkan
telapak tangan kananNya dibahu kananku saat kami difoto, sikapnya ini seperti
telah mengenalku lama sekali dan aku merasakan kami bagaikan Guru dan Murid
yang dekat, baik secara roh maupun secara manusia.
Dan dari 70 orang umat yang
mempersembahkan khata, hanya aku yang dipanggil olehNya dan berfoto berdua.
Aku begitu gugup dan tak dapat
berkata apa-apa, Guru Sejatiku berkata benar bahwa aku akan bisa bertemu dan
dekat dengan Mahaguru. Buddha-Bodhisattva dan para Dharmapala telah mengatur
pertemuan ini, sungguh ini adalah yukta, kemukjizatan terjadi lagi padaku.
Harapanku terwujud berkat pertolongan Vajravarahi, sampai-sampai mendapatkan
berkah yang lebih besar dari yang aku harapkan. Aku amat berterima kasih kepada
Buddha-Bodhisattva, kepada para Dharmapala, kepada Vajravarahi, kepada Guru
Sejatiku dan kepada orang-orang yang telah membantu dan mendukungku dalam
perjalananku ini, terlebih lagi kepada Mahaguru yang telah memberikan respon
yang baik padaku. Aku tidak akan pernah melupakan semua jasa-jasa besar ini,
dan berikrar untuk tidak mundur dan tetap teguh dalam membina diri dan
menjalankan Dharma.
Dengan adanya pertemuan ini, aku
semakin termotivasi untuk mengikuti jalan Bodhisattva, dan tidak gentar lagi
menghadapi halangan dan rintangan dari luar, karena aku percaya, ambisi tidak
akan bisa melawan kebenaran, sabar dan mengalah pasti akan mendapatkan
kebahagiaan pada akhirnya, dan Buddha-Bodhisattva tidak mungkin tidak
mengetahui mana yang benar dan mana yang salah. Begitupula Mahaguru yang telah
memiliki mata prajna, Beliau pasti tahu, tidak ada yang aku sembunyikan, tiada
ambisi dan niat jahat dalam hatiku, dan tidak ada yang aku takutkan lagi dalam
menjalankan Dharma Buddha, karena aku percaya Buddha-Bodhisattva dan Dharmapala
selalu menyertaiku.
Selama ini aku selalu berusaha
menjalankan amanat dan petunjuk dari Buddha-Bodhisattva, untuk pergi ke
berbagai tempatpun, aku selalu mendapatkan petunjuk dulu dari Mereka. Aku tidak
pernah berambisi terhadap segala sesuatu, dan tidak pernah berusaha mendahului
Buddha-Bodhisattva. Aku tidak pernah mempunyai motif-motif tertentu saat
mendekatkan diri pada Buddha-Bodhisattva, Mereka semua paling tahu diriku,
karena aku selalu mencurahkan seluruh isi hatiku kepada Mereka. Karena itu
Mereka begitu menjaga dan melindungiku, walaupun beberapa orang mencoba
mengkhianati dan menghancurkan namaku, tapi berkat Buddha-Bodhisattva
bermunculan juga orang-orang yang membersihkan namaku dan mendukungku.
Karena itulah, Buddha-Bodhisattva
selalu mengingatkan agar aku tidak perlu terpengaruh dengan semua perbuatan
positif ataupun negatif orang lain, karena mereka yang mengira memahami dan
mengerti Dharma, sesungguhnya tidak benar-benar memahami dan mengerti Dharma
itu sendiri. Karena menghasut, memfitnah dan menjelekkan orang lain adalah
bertentangan dengan jalan Dharma Buddha dan juga merupakan pelanggaran sila.
Aku bersarana pada Mahaguru secara
tubuh, jiwa dan roh, bukan karena hasutan dan bujukan orang lain, bukan juga
ikut-ikutan orang lain, apalagi demi mendapatkan surat sarana agar bisa
dipamerkan, tapi aku bersarana dari hati terdalam dan Buddha-Bodhisattva yang
menuntunku berjodoh dengan Beliau, setelah aku mendapatkan kontak batin dengan
Guru Sejatiku. Aku tidak akan begitu saja berpaling dan melupakan ajaran yang
diturunkan Mahaguru kepadaku selama ini, karena ajaran Tantra sesungguhnya
adalah Menghormati Guru, menghargai Dharma dan berlatih tekun.
Aku tidak perlu membalas perbuatan
kasar orang lain, karena Buddha-Bodhisattva juga berpesan agar aku tidak perlu
membalas perbuatan mereka dan meminta agar aku memaafkan mereka dan tetap
menjalankan Dharma dengan baik, karena jika aku membalas perbuatan dan
perkataan kasar mereka, itu artinya aku tidak mengerti Dharma dan tiada beda
dengan mereka. Jadi aku membiarkan waktu yang menjawab semuanya, dan tidak
berusaha untuk mencari tahu, tidak berusaha balik menghasut dan tidak berusaha
untuk menghubungi orang lain untuk membersihkan namaku. Karena aku yakin,
Buddha-Bodhisattva selalu menenangkan hatiku dan tidak akan membiarkan aku
hanyut dalam kesedihan yang tidak berguna.
Mahaguru, kewelas-asihanmu sama
seperti Buddha-Bodhisattva, Kau benar-benar menganggap semua setara dan tidak
membeda-bedakan. Terima kasih karena Kau berkenan membimbingku secara roh.
Walaupun aku satu-satunya muridmu yang paling dibenci dan paling tidak disukai,
dan walaupun Engkau tidak mengakui diriku sebagai muridMu, aku tidak akan
mundur dalam jalan Dharma Buddha dan akan tetap mengagungkan dan menghormatiMu
sama seperti aku mengagungkan dan menghormati Buddha-Bodhisattva.
PEMBABARAN SUTRA RAJA AGUNG AVALOKITESVARA
BODHISATTVA
Suatu hari di siang hari, saat aku sedang beristirahat sejenak di
kamarku setelah selesai melakukan penyaluran jasa kebajikan, aku dibangunkan
oleh suamiku. Dia mendengar langit bergemuruh panjang dan terus menerus, langit
juga terlihat mendung dan gelap seperti akan turun hujan, tapi gemuruh yang
terjadi hari ini lain dari biasanya. Dan melalui kamera cctv ber-infra red,
terlihat banyak sekali orbs di ruang Dharmasala Vihara, orbs-orbs itu naik ke
langit, aku berpikir apakah para Dewa yang berada di altar Vihara pergi ke
langit. Ada apakah ini?
Dan entah kenapa, akupun tidak bisa
meneruskan tidurku melihat hal tersebut karena disaat aku terbangun aura sudah
mulai muncul dan kurasakan dalam tubuhku. Aku segara turun ke ruang
Dharmasala/Altar Utama Vihara dan duduk bermeditasi, seperti biasanya cakra
mahkotaku terbuka dan tubuh dharmakayaku melesat keluar naik ke langit entah
kemana, aku melihat banyak juga Dewa-Dewa yang naik ke langit juga, sepertinya
Mereka mempunyai tujuan yang sama denganku, tapi kemana???
Aku semakin naik ke langit, rasanya
kami bukan menuju ke Istana Langit ataupun ke Alam Sukhavati, tempatnya lebih
jauh dari biasanya. Dari kejauhan aku melihat banyak sekali kumpulan berbagai
makhluk, ada Buddha-Bodhisattva, kelompok Asura, kelompok Garuda, roh leluhur
yang berasal dari Alam Sukhavati dll, ada banyak sekali sedang berkumpul
dihadapan seorang Buddha, Buddha tersebut ukurannya terlihat lebih besar dari
kumpulan itu dan tempat tersebut ternyata adalah Surga Trayatimsa.
Sesampainya aku disana, aku
mendengar Buddha tersebut sedang berbicara dan suaraNya menggema dan terdengar
bijaksana. Ternyata Beliau adalah Buddha Sakyamuni, Beliau sedang membabarkan
Sutra Raja Agung Avalokitesvara Bodhisattva, aku sedikit bingung melihat dan
mendengar hal ini, mengapa Buddha Sakyamuni membabarkan Sutra Raja Agung ini di
Surga Trayatimsa.
Dari pembabaran DharmaNya aku
mendengar bahwa Beliau menghimbau agar semua yang berkumpul saat ini
menyebarkan dan membabarkan Sutra tersebut ke segala penjuru, terlebih
dibabarkan untuk semua makhluk di 6 alam kehidupan yang masih bertumimbal
lahir, yaitu Alam Dewa, Alam Manusia, Alam Asura, Alam Binatang, Alam Setan
Kelaparan dan Alam Neraka.
Karena Sutra ini sangat besar
manfaatnya untuk segenap makhluk dan menghindari dunia dari bencana. Sutra ini
bila dibaca mulai saat ini sampai dengan 10 pekan kedepan, setelah mencapai
1.080x pembacaan, maka akan bisa mengikis karma diri sendiri dan semua makhluk
di 10 kali tumimbal lahir sebelumnya dan karma buruk di kehidupan saat ini.
Buddha Sakyamuni mengatakan bahwa
sudah ada beberapa orang yang rohnya bisa mengikutiku membabarkan dharma
mengetahui hal ini. Beliau berharap agar Sutra ini bisa disebarkan ke segala
tempat, ke semua Vihara/Cetya dan ke semua orang yang berjodoh.
Setelah datang, melihat dan
mendengar sendiri Buddha Sakyamuni membabarkan Dharma, saat keluar dari
meditasi aku segera memberikan kabar ini ke beberapa umat Vihara untuk mulai
membacanya hari ini sampai 10 pekan ke depan, dan disaat sesi meditasi yang biasanya
kami hanya membaca Sutra Raja Agung 1x akhirnya kami rubah menjadi 16x.
Buddha Sakyamuni juga mengatakan
kepadaku mengapa Beliau membabarkan Dharma ini, aku tidak bisa menulisnya di
sini, karena masih rahasia langit. Aku baru pertama kali melihat Buddha
Sakyamuni sedang membabarkan Dharma di satu alam, ternyata benar kalau sampai
saat inipun Beliau masih memutar Roda Dharma. Aku baru tersadar kalau tadi
siang saat aku sedang memimpin ritual pelimpahan jasa untuk salah satu almarhum
di hari ke-100, saat waktu meditasi Buddha Amithaba datang dan berkata, kalau
almarhum yang sedang kulimpahkan jasanya itu sedang pergi mengikuti Sang Buddha
membabarkan Dharma.
Saat mendengar Buddha Amithaba
berkata demikian aku tidak begitu serius mendengarnya dan malah bertanya
padaNya, apakah pelimpahan jasa ini diterima oleh almarhum. Buddha Amithaba
mengatakan tetap diterima. Aku merasa lega mendengarnya, karena walaupun saat
ini almarhum tidak hadir saat ritual pelimpahan jasa dan sedang mendengar
Buddha Sakyamuni berceramah Dharma, tapi almarhum tetap bisa menerima jasa
kebajikannya.
Disaat hari selasa kami melakukan
sesi meditasi di Vihara, Ucchusma Vidyaraja hadir dan berkata;
“Desi, aku senang kau menjalankan
petunjuk yang diberikan oleh Buddha Sakyamuni, karena kau selalu menjalankan
amanat yang diturunkan oleh Buddha-Bodhisattva. Kau tidak perlu takut dan
khawatir terhadap orang-orang yang berniat tidak baik padamu dan juga Vihara
Sukhavati Prajna ini, Aku akan menjaga dan melindungimu dan juga Vihara
Sukhavati Prajna. Karena itu Aku, Ucchusma Vidyaraja akan menjadi Dharmapala
Utama di Vihara Sukhavati Prajna selain Kalacakra Vidyaraja dan Bodhisattva
Marici. Aku beritahukan kepadamu, mereka semua yang mempunyai hati yang kotor
dan tidak baik, walaupun mereka membaca mantera dan sutra ribuan kali bahkan
ratusan ribu kali, maka pembacaan mantera dan sutra yang keluar dari mulut
mereka tidak akan ada manfaatnya, karena kekotoran batin mereka. Kau tidak
perlu terpengaruh dan tetap tenanglah menjalankan Dharmamu.”
Aku mengucapkan terima kasih kepada
Ucchusma Vidyaraja, karena berkenan menjadi Dharmapala Utama di Vihara
Sukhavati Prajna, dan berterima kasih karena telah menjaga dan memperhatikanku
selama ini. Aku sungguh terharu mendapatkan perlindungan dari Ucchusma Vidyaraja
selama ini. Aku berterima kasih kepada seluruh Buddha-Bodhisattva, para
Dharmapala, para Dewa dan para Dakini, yang selama ini selalu berkenan hadir
membimbing dan memberi kekuatan kepadaku. Sehingga semakin hari aku semakin
kuat dan teguh dalam menjalankan kehidupanku ini.
Karakter Ucchusma Vidyaraja sangat
berbeda, Beliau sangat tidak menyukai orang-orang yang mencoreng Dharma Buddha,
Beliau sangat menjaga dan melindungi Buddha dan ajaranNya. Terhadap mereka yang
memiliki kekotoran batin, seperti 3 racun loba, dosa dan moha, Ucchusma
Vidyaraja selalu berusaha menundukkannya. Terlebih lagi Ucchusma Vidyaraja
sangat murka jika ada orang yang memutar-balikkan ajaran Buddha itu sendiri.
Beliau tidak segan-segan datang untuk meluruskannya. Beliau sangat bertanggung
jawab dan adil dalam melihat setiap hal tidak baik di dunia ini, karena Beliau
adalah manifestasi dari Detak Jantung Buddha Sakyamuni, sehingga amat memegang
kebenaran.
Aku bersyukur karena banyak
Dharmapala yang selalu melindungiku, ada Kalacakra Vidyaraja, Bodhisattva
Marici, Ucchusma Vidyaraja, Acalanatha Bodhisattva, Hevajra, Vajrapani,
Yamantaka Vidyaraja, dan lain-lain. Para Dharmapala satu persatu datang
berjodoh denganku. Selain ada Guru Sejatiku yang selalu didekatku, Aku bisa
merasakan para Dharmapala yang telah menyatu selalu bersamaku disaat aku sedang
pergi keluar rumah.
“Ketika dunia tak lagi berada di
alam ini,
Segala kehancuran mulai mendera,
Ketika alam semesta berubah warna
dari biru menjadi hitam,
Saat itulah akhir dari kehidupan,
Semua itu telah digariskan, dan akan
terjadi dalam dunia ini,
Hanyalah orang-orang yang takut
berbuat kejahatan
yang akan terhindar dari bencana.”
HU BUDDHA CHI KUNG
Beberapa hari belakangan ini banyak hal terjadi disekitarku, perubahan
cuaca yang demikian cepat membuat aku harus selalu memperhatikannya. Kadang
setiap perubahan alam itu berhubungan dengan diriku dan alam ini. Percaya tidak
percaya itulah yang terjadi.
Suatu malam, disaat aku sudah merasa
sedikit lelah dan mengantuk karena hari itu aku harus menjalankan tugas keluar
beberapa tempat, aku merasakan sesuatu yang membuatku tidak bisa tidur, ada
gelombang aura yang membuat kepalaku agak pusing dan tubuhku merasakan
keanehan. Aku urungkan niatku untuk tidur dan mencoba berkonsentrasi dalam
meditasi.
Tidak lama kemudian ada seekor Naga
Emas yang terbang begitu cepat, dari mulutnya menyemburkan api yang tidak
terlalu besar, kemudian dengan cepat dan spontan tubuh dharmakayaku keluar dari
tubuh dan mengikuti Naga Emas itu. Aku terus mengikutinya naik ke langit,
diatas langit aku melihat banyak Arahat sedang duduk berbaris, dan Naga Emas
itu masuk kedalam barisan lalu berubah menjadi Budha Chi Kung, aku mengenalnya
dari penampilannya. Kemudian semua Arahat itu berkata kepadaku, agar aku
mempersiapkan Hu yang pernah diberikan Budha Chi Kung untuk menghindari
bencana. Aku agak kurang percaya dengan perkataan Mereka, sampai saat aku
kembali aku masih tidak begitu yakin. Kemudian besok paginya, Buddha Chi Kung datang
lagi menemuiku, dan membawaku ke langit melihat bumi dari langit, terlihat
lautan dan berbagai pulau dari atas langit.
Kemudian Beliau mengajakku turun
kedasar laut, di dasar laut kami berjalan menyusuri dasar laut tersebut, dari
selat utara Jawa sampai selat barat Sumatera. Beliau memperlihatkan dasar laut,
mengatakan apa penyebab dari semua ini dan menghimbau agar aku percaya atas
perkataan para Arahat itu. Melihat petunjuk itu aku segera mempersiapkan Hu
untuk menghindari bencana. Dan memang setelah itu beberapa kali bumi mengalami
reaksi alam tapi tidak berdampak buruk.
Saat membuat Hu aku mengundang
Buddha Chi Kung untuk hadir dan memberkati Hu tersebut, aku melihat kehadiran
Beliau dengan gaya ceria dan riangnya. Saat itu aku membuat 190 an Hu, Hu
tersebut diberkati oleh Buddha chi kung dengan stempel yang ada dibawah labu
araknya. Cara memberi stempelpun sangat jenaka dan nyentrik, karena Beliau
memberi cap pada Hu tersebut sambil diijak, diduduki, ditiduri dll. Aku
bertanya kepada Beliau mengapa memberi stempel dengan cara seperti itu, apakah
Hu itu bisa berfungsi dengan baik? Beliau berkata, kalau hu tersebut adalah
darinya, diberkati dengan cara apapun olehnya tidak masalah, justru jika
diberkati dengan cara seperti itu akan lebih manjur. Aku tidak bisa membantah
perkataan Buddha Chi Kung dan mempercayai saja perkataannya. Saat di Vihara ada
kegiatan pujabakti, aku membagikan hu tersebut kepada para umat dan keluarga
mereka yang berjodoh, semoga segala usaha yang dilakukan oleh para Buddha-Bodhisattva
demi menyelamatkan dan memberi kebahagiaan bagi semua makhluk, bisa berjalan
dengan baik dan bumi ini terhindar dari segala bencana dan mara bahaya.
Buddha Chi Kung memang demikian,
memberikan bimbingan dan perlindungan dengan caranya sendiri, yang kadang sulit
diterima oleh manusia. Ketika membimbingku, Beliau juga tidak ada jadwal yang
tetap, Beliau bisa datang kapan saja. Beliau juga mengajariku untuk tidak usah
perduli dengan perkataan dan perbuatan orang lain. Dan jika ada orang ingin
tahu aku bisa apa, jawab saja hanya bisa makan dan bisa tidur. Perkataan dan
nasihat Buddha Chi Kung terdengar begitu lucu, tapi tersirat makna yang dalam
dari setiap bimbingannya.
“Belahan Bumi ini begitu panjang,
sekali waktu bisa terpecah menjadi
dua,
Semua akan mengalami kehancuran,
semua akan mengalami kehilangan
Ada yang datang, ada yang pergi,
Ada yang hidup, ada yang mati,
Tiada yang abadi, pergilah mencari
Jalan Sejati,
yang bisa menyelamatkan Hidup dan
dunia ini.”
WAKIL BUDDHA-BODHISATTVA DAN DHARMAPALA
UNTUK VIHARA
Semua manusia dan semua makhluk pasti berasal dari langit, hal ini ku
ketahui dari asal roh mereka. Walaupun kadang ada manusia yang tidak terlihat
Dewa Pelindungnya, tapi bukan berarti benar-benar tidak ada. Karena mungkin
saja manusia tersebut masih tertutup dengan rintangan karma kehidupan masa
lalunya. Bahkan banyak Buddha, Bodhisattva dan Arahat yang terlahir kembali
menjadi manusia demi menjalankan misi dan cita-cita yang belum tercapai saat
itu. Karena sebab menjadi manusia tidak mengetahui kehidupan lalu dan terikat
dengan keduniawian.
Banyak mereka tidak bisa kembali
ketempat asal, mengalami penderitaan hidup di dunia, tidak tahu jalan untuk
kembali serta tidak bertemu dengan orang yang dapat membimbing mereka menemukan
jalan kebenaran sehingga bisa mengetahui jati diri mereka. Mereka harus
berulang kali terlahir kembali dan terjebak di 3 alam sengsara (Neraka, Setan
Kelaparan, Binatang).
Banyak orang tidak percaya dengan
adanya tumimbal lahir dan hukum karma, kadang perkataan yang aku ucapkan
mengenai hal itu tidak didengar oleh mereka, dan mereka sering tidak mau
menerima jika aku menganjurkan mereka untuk rajin membaca mantera dan sutra
untuk membantu mereka mengikis karma jika kulihat mereka mempunyai karma buruk.
Banyak manusia menginginkan bisa
keluar dari masalah mereka dengan instan dan cepat, padahal masalah yang mereka
hadapi begitu berat dan tidak mungkin untuk bisa diselesaikan dalam sekejap
saja. Karena hal itulah, banyak manusia yang salah bertindak, banyak yang mencari
cara tidak baik serta tidak sesuai dengan jalan para Buddha-Bodhisattva.
Kadang kala mereka merasa
Buddha-Bodhisattva tidak mau menolong mereka keluar dari masalah berat yang
mereka hadapi, menyalahkan para Buddha-Bodhisattva. Mereka tidak menyadari
bahwa Buddha-Bodhisattva dalam menolong manusia haruslah tidak melanggar hukum
langit, dan Mereka harus mempunyai alasan untuk menolong manusia.
Banyak orang membaca mantra
sebanyak-banyaknya tanpa adanya ketulusan hati tapi hanya berusaha untuk cepat keluar
dari masalah yang mereka hadapi, sehingga pembacaan mantera itu menjadi
sia-sia. Karena itu banyak orang yang juga mengatakan kalau mereka sudah banyak
membaca mantera tapi tetap tidak bisa keluar dari masalah.
Aku sering mengatakan kepada mereka
untuk membaca mantera dengan setulus hati, tidak terburu-buru dan jangan hanya
mengejar target pembacaan. Yang paling penting baca dengan tulus, walaupun
hanya membaca sutra 1x atau 3x dalam sehari dengan perlahan, tulus dan meresapi
mantera tersebut, itu besar manfaatnya dari pada membaca sutra puluhan kali,
ratusan kali tapi tidak membacanya dengan hati tulus dan tidak diresapi dengan
baik.
Perkataan mengenai banyaknya membaca
mantera aku dapatkan juga dari Usccusma Vidyaraja, Beliau juga telah memilih
wakilnya di Vihara Sukhavati Prajna, mereka ada 3 orang. Gatha Sukali, Wen Zhu
dan Xin Yin.
Mereka bertiga telah dipilih oleh
Ucchusma Vidyaraja untuk menjadi calon Dharmaduta, karena mereka bertiga telah
memenuhi kriteria yang diinginkan oleh Ucchusma Vidyaraja. Aku diminta Ucchusma
Vidyaraja untuk mempublikasikan mereka di Vihara dan memberikan lambang
Ucchusma Vidyaraja berupa batu giok berbentuk bulat dan meminta mereka untuk
bisa menjadikan loba (keserakahan) menjadi kebajikan, dosa (iri hati) menjadi cinta
kasih dan kewelasasihan, moha (kebodohan) menjadi kebijaksanaan.
Mereka bertiga menjadi lambang
kesatuan dan kekuatan dari Ucchusma Vidyaraja di Vihara Sukhavati Prajna ini,
dan dengan terpilihnya mereka menjadi wakil Ucchusma Vidyaraja, sambil menunggu
nantinya mereka bisa menerima sila dan mengucapkan sumpah bodhi mereka
masing-masing, mereka diharapkan untuk bisa membina diri dengan baik, merubah
diri, menjaga pikiran, ucapan dan perbuatan mereka dimanapun mereka berada.
Prosesi penobatan itu berjalan
dengan sangat hikmat, aku sedikit terharu dengan prosesi ini. Dan berpikir
apakah mereka bertiga mampu tetap teguh menjalankan dharma Buddha mereka, dan
apakah mereka benar-benar bisa menjadi cerminan bagi Ucchusma Vidyaraja dan
terlebih lagi bisa menjaga keagungan dan kehormatan Usccusma Vidyaraja. Karena
Usccusma Vidyaraja amat menjunjung tinggi ajaran Buddha, juga amat menjaga
ajaran Buddha-Bodhisattva.
Semoga mereka bertiga tidak
terombang-ambing dalam menghadapi perjalanan hidup mereka selama mengikuti
jalan para Buddha-Bodhisattva. Semoga harapan Ucchusma Vidyaraja kepada mereka
untuk membabarkan Dharma dan memberi kebahagiaan pada semua makhluk bisa mereka
jalankan dengan baik.
“Berguru ke Tanah Seberang,
melintasi sungai dan hutan belantara.
Begitu sulit dan terjal jalan yang
dilalui,
Jalan ini mendapat kemudahan,
Sungguh begitu berjodoh, janganlah
dibiarkan hilang percuma,
Jika tidak akan terputus di tengah
jalan.”
MAKNA WAISAK DAN TERPILIHNYA CALON
DHARMADUTA
Hari Waisak tahun ini amatlah berkesan dan mengharukan sekali,
sebenarnya tidaklah berbeda dengan Waisak tahun sebelumnya karena vihara tetap
mengadakan ritual peringatan pemandian rupang dan pemasangan pelita permohonan.
Hanya saja Waisak tahun ini ada hal baru yang terjadi, yaitu terpilihnya lagi
calon Dharmaduta Vihara. Ada 5 orang lagi yang dipublikasikan pada hari ini,
mereka adalah Gautami Shengmu, Aisinali, Karupa Samdibya, Vajra Dipamkara Raja
dan Tao Sien Cuen. Mereka masing-masing mewakili Buddha Sakyamuni, Buddha
Amithaba, Vajrasatva Bodhisattva, Achalanantha Bodhisattva dan Marici Bodhisattva.
Dalam 2 hari kemarin aku telah
mendapatkan amanat dan petunjuk mengenai mereka, Buddha-Bodhisattva memberi
tanda alam kepadaku. Dari suara gemuruh dilangit, halilintar yang sangat keras
dan kuat, suara guntur disiang bolong padahal langit sangat cerah dan lain
sebagainya.
Aku sudah mengetahui tanda-tanda
alam yang dikirimkan Buddha-Bodhisattva padaku, seperti biasanya pula setelah
ada tanda alam itu tubuhku pasti akan bereaksi cepat, kontak batin yang
dikirimkan oleh Mereka telah tersambung padaku. Dengan begitu aku tidak
melewatkan peristiwa tersebut dan segera masuk kedalam meditasi untuk menerima
petunjuk alam semesta.
Buddha-Bodhisattva yang menemuiku
itu memberitahu kalau aku sudah harus mempublikasikan calon Dharmaduta pilihan
Mereka dan memberikan mereka tanda penobatan berupa sebuah benda yang
mengandung arti yang berbeda-beda.
Saat waktu Ucchusma Vidyaraja
memilih ketiga wakilnya, aku diminta untuk memberikan 3 buah batu bulat dari
giok berwarna hijau, yang mengandung arti merubah keserakahan (loba) menjadi
kebajikan, irihati (dosa) menjadi cinta kasih dan kebodohan (moha) menjadi
kebijaksanaan.
Sedangkan saat Buddha-Bodhisattva
ini memilih kelima wakil Mereka, aku diminta untuk memberikan :
- Japamala dari pohon Bodhi kepada
wakil Buddha Sakyamuni yang mengandung arti konsentrasi dan ketenangan batin.
- Hiolo logam bergambar aksara fo
diatas teratai kepada wakil Buddha Amithaba yang mengandung arti Buddha di Alam
Sukhavati.
- Batu Kristal 5 Warna (putih,
kuning, merah, hijau, biru) kepada wakil Vajrasattva Bodhisattva yang
mengandung arti manifestasi dari Panca Dhyani Buddha.
- Rupang Dewi Seribu Tangan Seribu
Mata kepada wakil dari Marici Bodhisattva yang mengandung arti mengetahui
segala harapan dan keinginan yang tulus.
- Ruyi Batu Giok kepada wakil dari
Achalanantha Bodhisattva yang mengandung arti kekuatan dan kebesaran nama.
Tidak lama setelah itu telah
terpilih kembali beberapa umat menjadi calon dharmaduta dan wakil Buddha-Bodhisattva,
dan ini adalah pemilihan gelombang terakhir. Berdasarkan benda sebagai tanda
mereka adalah ;
- Bunga Kristal Warna Putih kepada
wakil Vairocana Dhyani Buddha yang melambangkan alam ribuan Buddha.
- Replika Rupang Sie Mien Fo dari
logam berwarna kuning kepada wakil Sie Mien Fo yang melambangkan keagungan dan
kemasyuran.
- Vas bergambar Daun Liang Liu dari
Kristal kepada wakil Dewi Kwan Im yang melambangkan ketulusan dan kesucian.
- Vajrakila dari logam kepada wakil
Kalacakra Vidyaraja yang melambangkan penaklukan, tolak bala, keharmonisan dan
kesejahteraan.
- Camara kepada wakil Chi Thien Ta
Sen Fo yang melambangkan kebijaksanaan dan pengetahuan.
- Tongkat Naga dari logam kepada
wakil Raja Naga yang melambangkan kemakmuran.
- Buah Persik dari kaca kepada wakil
Yao Che Cin Mu yang melambangkan keabadian dan kedewaan.
- Bunga Warna Merah kepada wakil
Kurukule Fo Mu yang melambangkan keharmonisan dan kerukunan.
Benda-benda yang diberikan kepada
mereka mengandung arti yang sangat dalam dan amat menyentuh hati terdalam
kami. Prosesi pemandian rupang Buddha
Sakyamuni dan prosesi penobatan calon Dharmaduta terasa begitu hikmat dan
mengharukan. Membuat beberapa dari kami tidak kuasa menahan tangis haru, lagu mantera
“Gate Gate Paragate Para Samgate Bodhi Svaha” yang mengiringi prosesi pemandian
rupang dan tata cara penghormatan kepada rupang Buddha Sakyamuni begitu sakral
kami rasakan.
Aku sudah bisa mulai mengerti maksud
Buddha-Bodhisattva, belakangan ini aku merasa tidak ada kemajuan yang kualami dalam
menjalankan Dharma ini. Ternyata hal itu disebabkan aku telah lama menunda
amanat yang turunkan kepadaku mengenai calon Dharmaduta ini.
Aku merasa waktu itu seperti
berjalan ditempat dan kemajuan pencapaian Dharma Buddha bergerak lambat,
padahal aku tidak menyadari bahwa banyak tugas yang belum aku kerjakan dan
kuselesaikan, aku sendiri yang
memperlambat jalan Dharmaku. Aku sungguh
bodoh dan tidak memahami bahwa Buddha-Bodhisattva sudah menghendaki aku untuk
mandiri, mengajarkan aku untuk melihat, mengamati, menghayati, merenungkan,
menyimpulkan dan memutuskan sendiri. Aku diajarkan untuk tidak selalu
bergantung dan hanya mengandalkan Buddha-Bodhisattva dan sudah harus belajar
untuk lebih aktif menjalankan Dharma.
Sekarang aku sudah mengerti, dengan
satu persatu tugas kuselesaikan dengan baik aku kembali merasakan dan mengalami
pencapaian dalam pembinaan diri. Seperti di hari Waisak ini, muncul kembali
kelebihan dalam diriku. Penyatuan diriku dengan Buddha-Bodhisattva semakin kuat
dan tak terpisahkan. Biasanya aku tidak bisa menjawab pertanyaan orang yang
berkonsultasi jika tidak melakukan telepati ataupun datangnya Guru Sejatiku
membantu untuk memberi jawaban, aku melakukan semua itu dengan berkonsentrasi
menutup mata, jika mata terbuka aku tidak bisa berkonsentrasi. Tapi hari ini,
aku bisa menjawab semua pertanyaan mereka dengan mata terbuka dengan
konsentrasi penuh. Sama sekali tidak terpengaruh dengan orang yang ada
dihadapanku. Aku seperti sudah bisa mengetahui jawabannya ketika orang tersebut
masih sedang bicara.
Sungguh menakjubkan !!!
Pencapaian pembinaan diri sama
sekali tidak terduga dan tidak diketahui. Ternyata tidak boleh menunda tugas
yang diturunkan Buddha-Bodhisattva walaupun harus melewati ujian dan cobaan
untuk bisa menyelesaikan tugas itu, karena melalui ujian dan cobaan menjalani
tugas-tugas itulah, kita baru bisa mencapai tahapan dalam pembinaan diri.
MENGADAKAN RETREAT PERTAMA KALI
Mengadakan acara Retreat Vihara adalah salah satu amanat yang juga harus
kujalankan sejak telah terbentuk Vihara di tempatku. Retreat ini diamanatkan
oleh Guru Sejatiku, dan mengambil tema “Merubah Loba, Dosa dan Moha menjadi
Kebajikan, Cinta Kasih dan Kebijaksanaan” dan Ucchusma Vidyaraja yang menjadi
Adinata Api Homa dan Retreat Vihara tersebut.
Kami membuat sebuah panitia untuk
acara retreat ini, segala atribut dari kaos dan gambar/lambang diberi petunjuk
oleh Guru Sejati bagaimana cara membuatnya dan apa saja yang harus dilakukan,
juga mendapat petunjuk dari Beliau.
Aku sempat bingung menjalani tugas
ini, karena tidak mempunyai pengalaman menyelenggarakan Retreat Vihara. Dulu
saat aku masih beragama Kristen, sempat beberapa kali mengikuti retreat gereja
dan hanya jadi peserta saja, tapi saat ini aku diminta untuk mengadakan Retreat
Vihara sendiri dan tidak tahu bagaimana cara menyusun acara yang sesuai dengan
agama Buddha.
Walaupun sedikit kerepotan, aku
berusaha untuk menjalankannya dan berusaha mencari bahan apa saja yang bisa
kupergunakan untuk mengadakan retreat. Seharusnya tidak begitu sulit karena aku
sudah mendapatkan tema dan ketentuan yang harus dilakukan oleh Guru Sejatiku.
Asalkan mau berusaha aku pasti bisa menjalani tugas ini. Aku mengalami kendala
beberapa hal dalam acara retreat tersebut, yaitu tidak adanya pembicara yang
bisa ku undang dalam acara tersebut, karena berpikir baru pertama kalinya
Vihara menyelenggarakan acara ini, jadi aku berusaha untuk meminimalkan
pengeluaran. Karena itu, aku mengambil keputusan untuk mengambil beberapa calon
Dharmaduta untuk menjadi pembicara dalam setiap sesi ceramah. Saat itu, aku
meminta saudara Warna Sukma Kappa dan Kong Hai Shan disamping diriku sendiri
untuk menjadi pembicara dalam sesi ceramah. Dan meminta beberapa calon
Dharmaduta untuk membantu di acara permainan, olah raga, sharing Dharma dan
bedah kasus. Materi ceramah dan permainan, aku yang menyediakannya. Sedangkan
mereka semua mencoba untuk mengembangkan materi tersebut sesuai dengan karakter
dan keterampilan mereka.
Tidak terasa, hari acara retreat
telah tiba. Kami menyewa 3 villa di daerah Cimacan Puncak Bogor, tempatnya
sangat nyaman dan tenang, sepertinya sangat cocok sekali dijadikan tempat acara
retreat ini. Sebelum para peserta datang ke tempat retreat, 2 hari sebelumnya
kami panitia mempersiapkan segala sesuatunya, membagi kamar, menyusun konsumsi,
mempersiapkan perlengkapan permainan dan menyusun segala sesuatunya dengan
baik, agar di hari H kami tidak terlalu kerepotan menjalankan acara.
Akhirnya acara retreat terselengara
juga, sesi ceramah, permainan, bedah kasus, acara makan dll berjalan dengan
baik dan lancar, bahkan begitu sempurna. Kami semua baik panitia dan para
peserta mendapatkan manfaat dan meninggalkan kesan yang dalam di acara retreat
ini. Api homa Ucchusma Vidyaraja berjalan dengan baik, dan kami semua menjadi
dekat satu dengan yang lainnya dan penuh dengan canda dan gelak tawa.
Rasanya ini seperti bukan acara
vihara formal saja, padahal retreat adalah acara rutin tahunan yang harus
diselenggarakan vihara. Tidak disangka
seluruh panitia dan mereka yang bertugas benar-benar telah menjalankan tugasnya
masing-masing dengan baik. Acara retreat
pertama Vihara Sukhavati Prajna sungguh tidak terlupakan buat kami semua,
semoga ditahun yang akan datang vihara bisa menyelenggarakan acara retreat yang
lebih baik lagi dan dengan berjalan sempurnanya acara retreat pertama ini,
semakin memotivasi kami untuk berbuat semakin lebih baik lagi.
“Ketika bulan bersinar, tak ada
cahaya menyinari,
Ketika embun menutupi, tak ada jalan
terlihat,
Hanya ada kekosongan, tak ada cahaya
kehidupan,
Semua itu pergi entah kemana,
kemanakah hidup yang penuh
kebahagiaan,
Apakah bisa dicari di Alam Semesta
ini?
Ya.. Semua itu bisa di dapat dari
Alam Semesta.”
SATU PERSATU CALON DHARMADUTA
MENGUCAPKAN SUMPAH BODHI
Jika aku ingat kembali saat pertama kali aku hendak mengucapkan Sumpah
Bodhi, aku harus melewati berbagai ujian.
tapi aku mendapatkan dukungan besar dari suamiku dalam mengucapkan
sumpah bodhi ini. Sehingga aku bisa mengucapkan sumpah bodhi dengan baik dan
lancar. Terlebih lagi aku harus bisa merealisasikan sumpah bodhiku itu.
Saat ini, sudah mulai satu persatu
calon-calon Dharmaduta Vihara terarah untuk mengucapkan sumpah bodhi mereka
masing-masing untuk menolong semua makhluk. Mereka sudah mulai mau menurunkan
ego dan menanggalkan ke-aku-an dalam diri mereka dengan mengucapkan sumpah
bodhi mereka.
Butuh kekuatan besar dalam diri
mereka untuk bisa berikrar sama dengan Buddha-Bodhisattva, dan butuh keteguhan
hati mereka untuk mengikuti jalan Buddha-Bodhisattva. Aku terharu melihat
mereka satu persatu berniat untuk menjalankan misi penyelamatan semua makhluk,
sama terharunya ketika pertama kali aku mengikrarkan diri dihadapan
Buddha-Bodhisattva.
Tapi terkadang, tidak semua orang
bisa menerima adanya sumpah bodhi ini, bahkan sebagian orang merasa belum siap
mengucapkan sumpah bodhi. Aku memahami pemikiran mereka semua, memang tidak
mudah untuk kita bisa berbagi dengan orang lain dan mengamalkan waktu, tenaga,
pikiran dan milik kita untuk orang lain dan semua makhluk. Dan aku memahami
kalau mereka belum mau dipusingkan dengan masalah orang lain selain masalah
diri mereka sendiri.
Itu sebabnya, pembinaan diri
seseorang sulit untuk mengalami kemajuan dan perkembangan karena masih adanya
ego dan ke-aku-an dalam diri mereka.
Tapi aku percaya bahwa, tanpa
kupaksakan mereka akan dengan sendirinya terdorong untuk bersumpah bodhi,
karena mereka pasti akan dengan sendirinya mendapatkan tuntunan yang sama
dengan diriku. Karena dengan mengucapkan sumpah bodhi, para Buddha-Bodhisattva
dan Dharmapala akan lebih mendukung dalam pembinaan diri seseorang didalam
jalan Dharma Buddha. Karena Mahaguru juga mengajarkan bahwa, dalam membina diri
akan bisa meningkat pencapaiannya adalah mereka harus yakin terhadap bimbingan,
tidak ragu-ragu terhadap bimbingan, tidak melompat kelas dalam melatih diri dan
mengucapkan sumpah bodhi.
Aku bukan hanya mengikuti ajaran
Mahaguru begitu saja, tapi aku sendiri mengalaminya, sehingga aku baru bisa
memberikan motivasi yang sama kepada mereka, bahwa dalam melatih diri didalam
aliran Tantra dan Dharma Buddha, mengucapkan sumpah bodhi amatlah penting dan
bisa menentukan perkembangan pembinaan diri. Dan seharusnya sumpah bodhi juga
bisa direalisasikan dengan baik oleh masing masing calon Dharmaduta.
Dengan adanya sumpah bodhi, mereka
semua bisa menyamakan misi dengan para Buddha-Bodhisattva, dan mereka bisa
mendapatkan perlindungan lebih kuat lagi dari para Dharmapala dan Dakini,
sehingga pembabaran Dharma Buddha bisa semakin tersebar luas kesegala penjuru
nantinya
“Buah yang buruk tiada berguna,
Buah yang terlalu matang tidak
memberikan kebaikkan,
Buah yang terlalu muda tidak ada
pengalaman.
Awan gelap menutupi cahaya, tanda
tiada lagi kebahagiaan,
Semuanya mengukur jasa dan pahala,
Tiada ketulusan di dalam hati,
Biarpun memberikan begitu banyak
harta,
Sampai habis di dalam tubuh,
Tetap tak akan mendapatkan kebaikan,
Jika semua itu untuk diri sendiri,
Pengorbanan hidup memang harus
dilakukan
selama untuk kebajikan,
Tapi jika pengorbanan dilakukan
hanya untuk kesenangan,
Maka menghancurkan diri sendiri.”
MENJALANKAN DHARMA ADA SUKA DAN
DUKANYA
Tak terasa sudah beberapa tahun terlewati sejak awal aku mendapat
bimbingan Buddha-Bodhisattva. Selama beberapa tahun ini banyak hal telah aku
alami, segala kesulitan dalam menjalankan dharma satu persatu bisa kulewati
dengan baik. Semakin lama aku tak lagi
terbawa perasaan dalam menghadapi apapun yang ada disekitarku, sudah bisa lebih
tenang dan tidak cepat terpancing dengan suasana yang terjadi.
Bimbingan yang kuterima semakin lama
semakin berat saja, Guru Sejatiku tidak lagi seperti dulu yang setiap saat
memberikan motivasi dan pengarahan kepadaku. Dari dibimbing Tantra luar sampai
Tantra dalam sudah aku jalani, dan saat ini aku sedang menjalani pembinaan
Tantra dalam yang lebih sulit lagi. Bisa dibilang aku telah memasuki latihan
tingkat ke-3 (Anuttarayoga Tantra).
Aku mencapai tahapan ini bukanlah
tanpa adanya perjuangan dan tanpa adanya pelatihan diri dengan sungguh-sungguh.
Aku selalu berusaha melakukan sesuatu untuk menolong sesama semampuku. Tak
pernah memaksa orang mengikuti jalanku, tak pernah mencari kesalahan orang
lain. walaupun aku tidak dihargai dan dihina orang lain, aku berusaha untuk
bersabar.
Banyak orang yang berusaha
membantuku dalam menjalankan dharma ini, ketulusan hati mereka mendukungku
sangatlah membuat aku terharu. Semoga saja mereka yang telah banyak berbuat
kebajikan untuk jalan dharma ini bisa mendapatkan balasan yang sesuai dengan
kebajikan mereka dari para Buddha-Bodhisattva.
Karena itu, aku membiarkan saja
semua berjalan alami. Tidak berusaha mengejar apapun dan tidak berdiam diri
saja, tapi tetap menjalankan setiap amanat dan tugas yang diberikan oleh para
Buddha-Bodhisattva serta merealisasikan sumpah Boddhiku. Berusaha semampuku dalam membantu orang lain
dan tidak lagi terpengaruh terhadap pandangan dan perkataan negatif orang lain.
Aku tetap yakin dalam hati, jika apa yang ku lakukan benar menurut
Buddha-Bodhisattva pasti kebaikan yang akan datang pada akhirnya. Yang penting
tetap teguh dan tak tergoyahkan dalam menjalankan dharma ini.
Saat dibimbing Vajravarahi, tidak
sesulit saat ini. Jika aku salah mengartikan bimbingan dan salah mempraktekan
bimbingan ini, aku bisa melenceng dari jalan yang sesungguhnya dalam pembinaan
diri. Disini pengendalian diri mendalam sedang diuji. Kadang aku berpikir,
rasanya aku tidak ingin menjalani pelatihan ini, hanya saja dalam pembinaan
diri aliran Tantra, hal ini sudah seharusnya aku lewati, karena jika bisa
melewati tahapan ini akan bisa mencapai penerangan dan pencerahan dalam tubuh
sekarang, tubuh bisa memancarkan sinar terang benderang dan mendapatkan tingkat
pencapaian tertinggi dalam Tantra dalam.
Tapi ini sulit, sulit sekali. Dan
aku tidak tahu, setelah tahapan ini terlewati, entah latihan apa lagi yang akan
aku jalani dalam pembinaan diri.
Sudah beberapa waktu belakangan ini,
aku selalu mendampingi calon Dharmaduta untuk membina diri. Aku harus
benar-benar membimbing mereka agar tetap berjalan dalam jalan yang benar. Memang kurasakan lebih mudah membina diri
sendiri daripada membina orang lain, karena aku tidak ingin mereka terjerumus
kejalan yang salah dan tidak ada bimbingan dan pengetahuan dalam membina diri
mereka.
Biar bagaimanapun aku tetap
memikirkan perkembang pembinaan rohani mereka. Sedikit banyak masing-masing
dari mereka telah bisa merubah diri dan mengendalikan diri. Walaupun kadang
karakter mereka tidak mudah untuk dirubah, tapi setidaknya mereka sudah mulai
bisa mengintrospeksi diri, segera menyadari kesalahan dan perlahan menurunkan
ego dan amarah mereka.
Memang tidak demikian sempurna, tapi
masing-masing dari mereka sudah menyadari dan mulai memahami hakekat kehidupan
dan kemelekatan duniawi. Walaupun mereka semua masih manusia awam, tapi segala
perubahan setahap demi setahap telah dilakukan.
Tidak mungkin serta merta aku
langsung menyuruh mereka untuk meninggalkan keduniawian, karena sebagian besar
dari mereka mulai mendalami ajaran Buddha dan membina diri setelah mereka
berkeluarga dan memiliki anak. Sebelumnya mereka menjalani kehidupan seperti
orang awam pada umumnya, tapi sekarang mereka telah menjalani hidup dengan
baik, membina diri, menjalankan Dharma Buddha, berusaha mengikuti Jalan
Bodhisattva (Sad Paramita) dan berusaha mengembangkan Bodhicitta.
Mereka semua mulai terbentuk
bersamaan dengan berkembangnya Vihara Sukhavati Prajna, peran serta mereka
dalam menjalankan Dharma sungguh penuh dengan makna yang dalam. tawa bahagia,
tangisan sedih, kekecewaan mendalam dan lain sebagainya telah kami rasakan
bersama.
Tapi kami berusaha untuk tidak
melekat terhadap semua itu dan belajar untuk melepaskan segala beban dalam
hati, agar tidak menjadi kekotoran batin dalam diri kami, sehingga kami tetap
bisa mendapatkan bimbingan yang benar dari Buddha-Bodhisattva. Kami berusaha
untuk tidak terpengaruh dengan perkataan, pandangan dan tanggapan negatif dari
luar. Yang kami lakukan adalah tetap menjalani apa yang seharusnya kami jalani.
Semua hal negatif yang kami terima, tidak akan menghambat pembabaran dharma
kami untuk semua makhluk.
Yang kami lakukan adalah,
menjalankan setiap petunjuk Buddha-Bodhisattva, karena kami percaya Buddha-Bodhisattva
tidak akan membiarkan kami mengalami kesulitan dan penderitaan. Kami percaya
Buddha-Bodhisattva akan selalu menuntun dan membimbing jalan kami ke arah yang
benar. Yang harus selalu kami jaga adalah hati, pikiran dan perbuatan. Merubah
loba, dosa, dan moha menjadi kebajikan, cinta kasih dan kebijaksanaan seperti
arahan Ucchusma Vidyaraja.
Selama ini aku membina diri tak
pernah berpikir untuk diri sendiri, semua yang aku dapatkan dalam pembinaan
diri, sudah selayaknya kubagikan kepada mereka yang berjodoh. Aku tidak pernah
memaksakan diri, juga tak pernah memaksakan orang lain. Hanya saja aku selalu
berusaha mengingatkan mereka agar mau mulai membina diri, karena dengan begitu
akan bisa membantu diri sendiri dan membantu orang lain.
Banyak manusia mengalami kejadian
yang tidak terduga dalam hidup mereka, walaupun diri sendiri tidak berniat
menyakiti orang lain ataupun tidak pernah menyakiti orang lain, tapi diri
sendiri tidak pernah bisa menduga kalau bencana dan kesulitan menghadang jalan
hidup. Dicelakai dan diperdayai orang lain sering kali terjadi dalam kehidupan
ini. Karena itu membina diri sangatlah penting untuk menjaga dan melindungi
diri sendiri.
Setelah calon-calon Dharmaduta
terpilih, selanjutnya banyak hal yang harus kupersiapkan. Mengembangkan Vihara
tidaklah semudah pemikiran orang. Penuh dengan kesulitan dan hambatan. Karena
dalam mengembangkan dharma aku berusaha untuk tanpa pamrih, tapi kadang segala
usaha yang kulakukan tidaklah selalu dihargai orang. Tapi Buddha-Bodhisattva
selalu mengatakan kepadaku bahwa aku tidak perlu memikirkan balasan terhadap
apa yang kulakukan dan kuperbuat untuk orang lain, karena seorang Bodhisattva
itu tanpa pamrih, tanpa balasan, rela menderita dan berkorban demi kebahagiaan
semua makhluk.
“Kepergian semua masalah tak
selamanya benar-benar pergi,
Kehilangan segala kesulitan
tak selamanya benar-benar
terhindari,
Hanya berusaha untuk tak peduli
terhadap semua penderitaan ini,
Barulah bisa benar-benar menyadari
bahwa hidup di dunia ini begitu
berarti.”
TAHAPAN ANNUTHARAYOGA TANTRA DAN
PERLINDUNGAN PARA DHARMAPALA
Dalam menjalankan pembinaan diri, aku tidak pernah mencoba untuk
melompat kelas. Aku memulai pembinaan diri secara bertahap. Banyak orang
berpikir aku terlalu cepat mencapai sesuatu dalam pembinaan diri, dan
menganggap aku mengada-ada mengenai pencapaian yang kualami, bahkan banyak yang
bersikap antipati terhadapku, mengira aku mengejar nama dan gelar.
Semua pencapaian dalam diriku juga
berkah yang diberikan para Buddha-Bodhisattva, sama sekali tidak pernah
kuharapkan. Memasuki tahapan-tahapan pembinaan diri selama ini juga tanpa
pernah aku duga dan kurencanakan sama sekali. Semua bimbingan dan petunjuk
terus mengalir seperti air menghampiri diriku.
Aku sempat memohon bantuan petunjuk
dari beberapa orang yang telah berada diposisi tinggi dalam pembabaran Dharma
Buddha mengenai diriku ini dan kontak batinku dengan Buddha-Bodhisattva, tapi
mereka malah memintaku untuk mengabaikan dan tidak perlu mengikuti semua
petunjuk dan kontak batinku itu. Bahkan dengan sesuka hati berkata bahwa banyak
yang punya pengalaman seperti diriku dan mereka tidak menghiraukan pengalamanku
ini.
Sesungguhnya, perjalanan hidupku
berjodoh dengan ajaran Buddha adalah semua berawal dari munculnya kontak
batinku dengan Guru Sejati karena aku sudah mulai sering menjapa Mantera dan
Sutra, kemudian dalam meditasi satu persatu Buddha-Bodhisattva dan Dharmapala
datang memberi bimbingan. Saat aku tidak mendapatkan guru manusia yang bisa
membimbing, para Buddha-Bodhisattva mempertemukan aku dengan seorang Guru
Manusia agar aku lebih yakin lagi dalam membina diri, lalu dengan sendirinya
aku diarahkan berjodoh dengan Mahaguru, setelah berjodoh dan bersarana dengan
Mahaguru, secara roh aku diajarkan untuk melatih Dharma Tantra Mahaguru, yaitu
membaca Mantera Sata Aksara, setelah mendapatkan kontak batin dengan
Vajrasattva aku mulai terarah membaca Mantera dan Sutra Mahaguru, setelah
mendapatkan kontak batin dengan Mahaguru aku mulai membaca Mantera dan Sutra
Buddha Amithaba, setelah mendapatkan kontak batin dengan Buddha Amithaba dan
mendapatkan konsentrasi meditasi dan bisa mengerakkan prana (chi) dalam
tubuhku, aku dengan sendirinya memasuki latihan prana, nadi dan bindu (Tantra
dalam), pernafasan botol, terbukanya nadi tengah, terbukanya 5 cakra dan
bangkitnya api kundalini dalam tubuh sudah kumasuki. Aku telah menyatu dengan
para Dharmapala yang sampai saat ini menjaga, melindungi dan menyertaiku
(Vidyaraja Yoga), dibimbing berlatih memancarkan sinar pelangi oleh Vajravarahi
dan saat ini aku sedang melatih Yoga Tantra tingkat ke-3 yang dibimbing oleh
Dakini pembimbing dan Buddha Pembimbing (Annutharayoga Tantra).
Pelatihan Annutharayoga Tantra ini
adalah yang paling sulit kulewati, karena pada tahapan pembinaan diri ini, aku
telah diarahkan mandiri dan tidak mendapatkan banyak motivasi dari para
Buddha-Bodhisattva seperti pada awal-awal membina diri.
Kadang aku tidak tau bagaimana cara
melewati tahapan pembinaan Annutharayoga Tantra ini. Semakin lama aku semakin
tidak bisa merasakan pencapaian dalam pembinaan diriku ini. Seperti tidak
mengalami kemajuan tapi mengalaminya. Seperti sendirian tapi Mereka selalu
mendampingi, seperti tidak ada tapi ada. Memasuki tahapan pembinaan diri saat
ini, seperti tidak masuk diakal dan tak mungkin, tapi aku benar-benar telah
mengalaminya.
Awalnya ada sedikit kekuatiran dalam
menjalaninya, karena belum mengerti dan paham makna dan apa tujuan dari
pembinaan diri Annutharayoga ini. Tapi semakin lama, aku mulai mengerti bahwa,
ini adalah tahapan mengendalikan 5 nafsu dalam diri manusia yaitu: makan,
tidur, sex, kesombongan dan ego. 5 nafsu ini amat berpengaruh dalam maju dan
mundurnya pencapaian pembinaan diri kita dalam jalan dharma di tahap tertinggi.
Memasuki tahapan ini, tidak boleh
salah melangkah karena akan berakibat fatal, dan bisa menyimpang jauh dari
semestinya dan lebih menakutkan lagi bisa masuk ke Neraka Vajra. Apa yang tidak
baik dalam diri yang berusaha dihilangkan, bisa berakibat malah tergantung pada
hal itu. Ujiannya sangat besar dan saat ini aku belum mengetahui kunci melewati
tahapan ini.
Anehnya pada awal melatih
Annutharayoga Tantra, aku seperti sulit memasuki samadhi, setiap kali hampir
masuk samadhi tiba-tiba saja kepalaku terangguk kedepan atau kebelakang seperti
tertidur, padahal saat itu aku sedang tidak mengantuk. Entah mengapa seperti
itu, setiap meditasi aku seperti tertidur dan mengalami ngantuk berat. Berulang
kali aku kembali tersadar dan kembali memulai, selalu seperti itu, apa
maksudnya ini, aku sungguh tidak mengerti.
Guru Sejatiku juga tidak memberikan
petunjuk apa yang harus aku lakukan, aku seperti dibiarkan sendiri menjalani
tahapan ini, Beliau hanya mengatakan bahwa aku pasti mampu melewati tahapan
ini, bisa mencapai pencerahan dan memancarkan sinar terang.
Ya, aku jalani saja pembinaan diriku
ini, selama itu berjalan ke arah yang benar dan tidak menyimpang dari ajaran
Tantra dan ajaran Dharma Buddha.
Mungkin karena para
Buddha-Bodhisattva mengetahui kalau aku belum paham dalam menjalani tahapan
ke-3 pembinaan diri ini, sehingga para Dharmapala sampai turun menjaga dan melindungiku
selama berlatih. Pada awal berlatih, dalam meditasi selalu saja muncul godaan
berupa fenomena negatif, yang membuat aku tidak tenang dan sulit untuk
berkonsentrasi dengan baik. Tapi berkat perlindungan para Dharmapala akhirnya
aku bisa melewatinya. Aku sudah mengetahui caranya, yaitu: disaat prana
mengalir kecakra bawah dan membukanya, akan dirasakan gesekan sensasi nyaman,
dari lemah sampai terasa kuat, sensasi tersebut disebarkan keseluruh tubuh
sehingga seluruh tubuh merasakan puncak kenyamanan, sensasi naik ke cakra dahi
dan disaat itu dirubah menjadi kekosongan, dan puncak kekosongan itu dirubah
kembali ke sensasi nyaman sampai puncaknya, dirubah lagi menjadi kekosongan,
dirubah terus sampai pada tahap kekosongan, seluruh prana berkumpul di cakra
hati dan cakra dahi terisi penuh, sehingga seluruh pori-pori tubuh seakan
terbuka dan memancarkan cahaya putih yang semakin terang benderang. Artinya
membalikkan bindu yang turun atau menaikkan bindu berulang-ulang sampai sedikit
demi sedikit sinar terang terpancar keluar.
Awal sebelum terciptanya sensasi
nyaman tersebut, aku merasakan prana dari cakra pusar, turun ke cakra bawah,
lalu naik melalui tulang belakang melewati nadi tengah ke cakra mahkota, lalu
turun ke cakra dahi, cakra hati, cakra pusar dan terus berputar kembali ke
cakra bawah. Aku merasakan perputaran itu beberapa kali. Kemudian aku merasakan
bagian perut bawahku terasa padat dan panas, seakan ada api didalam perutku.
Lalu kurasakan api tersebut berbentuk bola berputar-putar, naik turun diseluruh
tubuhku, aku benar-benar merasakan pergerakan dan perputaran bola api dalam
diriku itu. Aku tetap memfokuskan pikiran dan tetap berkonsentrasi selama
pergerakan itu berlangsung.
Selama berlatih Annutharayoga, aku
tidak merasakan sakit apapun, tidak seperti saat aku berlatih mengaktifkan
kundalini untuk memancarkan sinar pelangi yang diajarkan oleh Vajravarahi.
Karena saat aku berlatih Annutharayoga dibimbing oleh Dakini Pembimbing, aku
tidak mempunyai kekotoran batin dan tidak sedang memendam kesedihan didalam
hati. Aku sudah mengerti arti belajar untuk melepaskan segala beban yang
diajarkan oleh Buddha-Bodhisattva. Selama dibimbing Dakini, aku benar-benar
rileks, tiada beban, tenang dan pikiranku jernih.
Seiring dengan tahapan
Annutharayoga, akhirnya aku bisa juga menciptakan Lagu Rohani Buddhis, amanat
ini sudah agak lama diturunkan kepadaku, waktu itu aku baru bisa menciptakan
satu lagu saja yang berjudul “Jalan Kebenaran” tapi belum ada musiknya. Isi
lagu tersebut adalah menceritakan bagaimana kehidupanku sebelumnya dan berjodoh
dengan Guru Sejati, mendapatkan jalan kebenaran dan ajaran Buddha. Tak terasa
saat ini aku telah bisa menciptakan beberapa lagu dan meluncurkan vcdnya.
Aku sangat lega karena akhirnya
salah satu tugasku telah selesai, semoga saja pembabaran Dharma bisa
kusampaikan lewat lagu dan banyak orang tercerahkan dan mulai merubah diri
serta termotivasi menjalankan Dharma Buddha dengan setulus hati. Dengan adanya
bimbingan Buddha-Bodhisattva ada saja talenta yang dibantu dimunculkan dalam
diriku, dari tidak bisa menulis, mendirikan Vihara, membimbing umat, mencipta
lagu dll, satu persatu dibantu dikembangkan dan dimunculkan dalam diriku, dari
sini aku sadar bahwa banyak hal bisa aku lakukan dalam menjalankan Dharma.
Kadang banyak orang beranggapan kalau menjalankan rohani pasti akan mengalami
kebosanan dan monoton sembahyang saja, padahal sesungguhnya Dharma Buddha
walaupun ajarannya tidak berubah tapi selalu mengikuti perkembangan zaman dan
bersifat fleksibel, agar semua insan bisa mengikutinya. Di zaman sekarang
banyak sekali kemudahan yang diberikan kepada kita, agar kita tidak terlalu
sulit mengikuti ajaran Buddha.
Asalkan apa yang kita lakukan tidak
melanggar Pancasila Buddhis, segala teknologi dan ke-modern-an yang ada didunia
ini bisa kita gunakan untuk pembabaran Dharma. Dan ternyata menjalankan
kerohanian dan pembinaan diri dalam jalan Dharma Buddha begitu menyenangkan dan
mengembirakan. Ada rasa puas yang berbeda disaat berhasil menjalankan dharma,
dibanding dengan disaat berhasil dalam keduniawian. Kebahagiaan yang mendalam
dan tak terkatakan. Perasaan bahagia disaat bisa membantu seseorang yang
mengalami kesulitan, perasaan kagum dan takjub terhadap setiap bimbingan tak
terduga dari Buddha-Bodhisattva, semua itu sulit untuk diucapkan dengan
kata-kata. Karena didalam rohani kita tetap bisa berkarya dan mengembangkan
talenta dalam diri kita untuk semua makhluk, kebahagiaan ini tidak terbayar
dengan apapun yang ada didunia ini. Walaupun kadang kala tidak semua kebaikan yang
kita berikan akan mendapatkan tanggapan yang baik juga.
Tapi hal itu seharusnya tidak perlu
dipikirkan, Buddha-Bodhisattva mengajarkan agar segala kebajikan yang dilakukan
haruslah tanpa pamrih, apapun tanggapan orang terhadap kebaikan yang kita
berikan, janganlah melekat dan mempengaruhi pembabaran Dharma, berbuat kebaikan
tidak perlu memikirkan hasilnya, apalagi memikirkan balasannya.
“Bunga bermekaran begitu indah,
Namun tidak seindah cahaya rembulan,
Padi yang menguning,
Namun tak sekuning dan secerah
matahari,
Dunia penuh halangan,
Namun tiada yang mengerti,
Hanya yakin pada hati semua bisa
terhindari.”
UJIAN MARA TAHAP KE-3
Sejak aku menjalani pembinaan diri tahap ketiga, aku sepertinya
dibiarkan sendiri dalam menghadapi segala sesuatu. Ditahapan ini aku tidak
bervegetarian, karena membutuhkan energi besar untuk membangkitkan api dalam,
tapi aku selalu membaca mantera penyebrangan roh untuk makanan non vegetarian
itu, agar roh binatang yang aku makan tersebut bisa terlahir ke alam yang lebih
baik, baru setelah itu mempersembahkan terlebih dulu untuk para Dharmapala,
membaca mantera persembahan dan memvisualisasi makanan menjadi banyak sambil
membaca mantera persembahan, baru aku memakannya.
Tanpa kusadari, energi makanan
tersebut semakin lama menambah hawa yang dalam diriku, sehingga ego dan amarah
yang telah beberapa tahun ini bisa diredam mulai muncul. Aku bertanya pada Guru
yang membimbingku ditahap ini, mengapa aku merasa mulai timbul emosi? Beliau
berkata, sebelumnya aku vegetarian dan bisa mengurangi emosimu, tapi
sesungguhnya emosi saat aku vegetarian tidaklah hilang sama sekali, karena itu
disaat mulai non vegetarian unsur yang dalam daging membuat darah dan energi
bertambah, sehingga membuat emosi yang tadinya hanya diredam, itu muncul
kembali, bahkan amarah dan emosi tersebut bisa lebih besar dibanding
sebelumnya.
Karena itu, ditahapan ketiga ini aku
dibimbing untuk merubah emosi dan amarah tersebut menjadi cinta kasih, bukan
meredam ataupun melenyapkannya. Ketiga nafsu dalam diri kadang muncul tidak
disadari, diri sendiri kadang tidak bisa menilai kesalahan, sehingga butuh
adanya orang lain yang bisa menilainya. Karena manusia cenderung membenarkan
apa yang dilakukannya dan sulit untuk bisa introspeksi dan merubah diri.
Ditahapan ini aku hampir saja tidak
menyadari perubahan dan ujian ini, tanpa kusadari aku kembali memendam sesuatu
hal dalam hatiku, sehingga emosi kembali muncul. Karena adanya sedikit
kekotoran batin aku sulit untuk berkontak batin dengan Guru Sejati dan
Buddha-Bodhisattva, aku merasa seakan-akan Buddha-Bodhisattva pergi entah
kemana dan membiarkan aku sendirian terkungkung dalam kerisauan hati. Semakin
aku memendamnya, semangat dalam diriku mulai agak menurun. Setiap hari badan
terasa lelah, tidur sudah lebih dari 8 jam tapi masih kurang lama rasanya.
Hawanya malas, mengantuk dan mudah tersulut emosi. Aku sudah tidak menyadari
kalau Mara telah mulai masuk mencobaiku.
Untungnya aku punya seseorang yang
bisa memberikan aku masukan yang positif, Ketua Vihara banyak membantuku
memahami kesalahanku, sehingga akhirnya setelah aku menyadari hal tersebut dan
mulai kembali menjernihkan hati dan melepaskan beban dalam hati, pikiranku
mulai tersadarkan kembali.
Aku merasakan perubahan drastis
dalam tubuhku, tubuh mulai terasa segar dan bersemangat kembali, emosi dan
amarahku hilang tak berbekas. Dan aku merasakan gangguan Mara telah hilang saat
ini, karena aku tidak terpengaruh lagi padanya. Malam harinya saat aku tidur,
aku bermimpi. Aku dan suami (Ketua Vihara) mengendarai sebuah mobil berjalan di
daerah yang terasa aneh. Suamiku menunjuk kesamping jalanan yang kami lewati,
“Lihat laut itu sudah rata!“. Aku mengikuti arah jari yang ditunjuknya. Aku
berpikir apakah itu? laut yang kulihat kenapa bukan air, tapi seperti kumbangan
lumpur agak keras dan rata. Semakin menyusuri jalan dan memandang laut yang
berupa lumpur padat itu, aku melihat ada sebuah kapal besar yang karam dilumpur
tersebut, kapal karam yang tidak bergerak tersebut mendadak kulihat bergerak
maju, aku memberitahukan suamiku untuk berhati-hati karena kapal tersebut
seakan menuju kearah mobil kami, tapi belum sampai ke arah kami kapal tersebut
terbalik dan aku melihat kembali dengan sangat jelas, ternyata kapal tersebut
tidak jalan sendiri, tapi ada kapal lain yang jauh lebih besar mendorong kapal
tersebut hingga terbalik.
Kapal besar yang mendorong kapal
yang terbalik tersebut terlihat aneh, karena bagian depan kapal tersebut
berbentuk kepala alien (makhluk ruang angkasa yang menyeramkan), dan lebih aneh
lagi kapal berkepala alien tersebut seakan senang telah membuat kapal itu
terbalik. Mobil kami terus berjalan menyusuri laut lumpur tersebut, sampai kemudian
apa yang kulihat bukan lagi laut lumpur, tapi sederetan rumah penduduk yang
rusak dan tidak berpenghuni. Keadaan kerusakan rumah-rumah tersebut seperti
habis terkena bencana gunung berapi yang diselimuti asap vulkanik. Suasana
terasa mencekam sekali. Tapi kami terus berjalan maju, semakin ke depan aku
melihat walaupun rumah-rumah didepannya juga rusak dan tidak ada penguninya,
tapi aku melihat beberapa ekor binatang muncul didekat rumah-rumah tersebut,
binatang itu seperti bebek, ayam dll, semakin kedepan lagi aku melihat
rumah-rumah yang masih dalam kondisi rusak, tapi sudah terlihat orang-orang
beraktifitas.
Setelah melewati itu semua kami
berhenti disalah satu rumah, yang anehnya hanya rumah tersebut yang tidak
rusak, sedangkan semua rumah disekitarnya rusak. Kami turun dari mobil dan
suamiku menuju pintu rumah tersebut dan mengetuknya, tapi sudah beberapa lama
diketuk, belum ada yang membukakan pintu tersebut. Namun tiba-tiba ada seorang
wanita berambut pendek keluar dari pintu sebelah rumah tersebut, sepertinya dia
hendak pergi keluar karena dia memegang tas tangan.
Suamiku menghampirinya berniat untuk
bertanya padanya aku tidak bergerak dan hanya melihat mereka saja, tapi saat
suamiku sampai didekatnya, wanita tersebut tanpa berkata apa-apa memegang
lengan suamiku, aku melihat saat wanita itu menyentuhnya, suamiku terlihat
bergetar kuat dan setelah itu agaknya tidak sadar diri seperti dihipnotis,
wanita tersebut mendorong suamiku kebelakang dan suamiku tidak bisa
menghindarinya.
Aku mulai curiga kalau wanita
tersebut pasti berniat tidak baik, aku langsung menghampiri wanita tersebut,
dan dia mencoba melakukan hal yang sama seperti yang dia lakukan pada suamiku.
Tangannya cepat memegang lengan kiriku, saat itu aku seakan merasakan ada
aliran listrik yang disalurkan olehnya, tapi aku tidak terpengaruh. Aku segera
mengambil tangannya yang memegang lenganku tersebut dan mengigitnya. Saat
tangannya kugigit, dia seperti tidak merasakan sakit dan mencoba untuk
menyerangku. Aku merasakan kekuatan dalam diriku, dan segera menampar pipinya
dengan keras, saat itu aku sama sekali tidak merasa takut menghadapinya.
Setelah wanita itu kutampar, dia
menghilang begitu saja. Lalu aku melihat suamiku sepertinya masih terpengaruh
dengan hipnotisnya. Karena kupikir dengan menampar pipi wanita itu langsung
hilang, jadi ku tampar juga pipi suamiku dengan keras, dan benar saja dia
langsung sadar. Disaat kami sudah keluar dari kesulitan itu mendadak pintu yang
tadinya diketuk suamiku tidak ada yang membukanya, mendadak terbuka dengan
sendirinya. Lalu kami masuk kedalam rumah tersebut, aku kira itu tempat apa,
ternyata didalam rumah tersebut adalah Vihara, terlihat orang berlalu lalang
memegang hio bersembahyang dan aku melihat altar-altar Dewa disana. Lalu aku
terbangun dan melihat jam menunjukan pukul 6 kurang 15 menit.
Dan disaat meditasi pagi ini, aku
merasakan sensasi yang sangat berbeda dari biasanya selama melatih tahap ke-3.
Chi dalam tubuhku bergerak dan berputar sangat kuat dan mengelilingi seluruh
tubuhku. Dari ujung kaki sampai kepala dan ujung jari tanganku. Setelah itu
perut bagian bawah terasa panas dan ada sesuatu yang naik ke cakra dahi, cakra
dahiku terasa ada tekanan dan terasa penuh terkumpul chi. Setelah beberapa saat
cakra dahi terbuka, lalu chi tersebut turun ke cakra tenggorokan membukanya,
turun ke cakra pusar juga membukanya, terus bergerak ke 2 cakra bawah juga
membukanya, lalu chi berputar naik keatas melalui tulang ekor dan tulang
punggung terus ke kepala, sampai diubun-ubun kepala terasa cakra mahkota
terbuka.
Disaat terbukanya cakra mahkotaku,
wujud para Guru tahap ke-3 yang membimbingku selama ini naik dan masuk satu
persatu melalui cakra mahkota kedalam tubuh, dan setelah itu aku berubah
menjadi Guru-guruku tersebut. Aku telah menyatu dengan Mereka. Salah satu Guru
Pembimbingku mengatakan kalau aku telah melewati ujian Mara tahap ke-3, baik
ujian melalui dunia nyata maupun ujian melalui mimpi. Aku telah melewati
tahapan ini, mereka menghadiahkan benda seperti tongkat Katdvanga untuk pondasi
rohku. Dan aku telah menjadi seorang Yogini Tantra, dan mendapatkan gelar
“Sukhavatiyogini”.
Ternyata luapan emosi yang sangat
besar itu dan mimpi pagi ini adalah ujian pembinaan diriku ditahap ke-3, hampir
saja aku terjebak dalam godaan Mara. Arti mimpiku adalah perjalanan Dharma yang
sedang aku jalani saat ini, aku bagaikan sebuah kapal besar yang karam dan
terjebak dalam kesulitan, disaat situasi itu Mara yang berwujud kapal berkepala
alien itu terus mendorongku untuk semakin terpuruk. Rumah-rumah yang terkena
bencana itu adalah penderitaan semua makhluk, dan saat suamiku hendak
menuntunku untuk kembali kepada Buddha-Bodhisattva, Mara dengan wujud wanita
mencoba menghalangi kami.
Aku sangat bersyukur karena suamiku
telah membantu menyadarkan diriku, aku bersyukur karena Buddha-Bodhisattva
melindungiku. Walaupun ditahapan ini aku diharuskan untuk mandiri, tapi aku
percaya Guru Sejati dan Buddha-Bodhisattva tidak meninggalkan aku dan tetap
menjaga dan melindungiku. Semoga saja kedepannya perjalanan hidup dan Dharmaku
bisa lancar, dan belajar untuk mawas diri dan tetap ingat untuk selalu
menjernihkan hati dan pikiran serta menjaga perkataan dan perbuatan. Dan yang
lebih penting lagi, tidak meninggalkan bhavana walau hanya 1 hari saja.
Pada akhir tahap Annutharayoga, aku
mengalami ujian yang lebih besar lagi. Dalam tahapan ini aku diharuskan
memunculkan nafsu dalam diri untuk dirubah menjadi cinta kasih. Dalam kehidupan
nyata aku mulai merasa bahwa api cemburu / iri hati muncul dalam hatiku, sampai
membuat dadaku terasa sesak. Hampir tidak bisa ku kendalikan, tapi tahap ujian
kali ini aku sudah cepat tanggap menghadapinya, sehingga aku segera
membicarakan hal tersebut pada suami.
Baru beberapa hari shadana penyatuan
dengan Buddha Pembimbing ditahapan akhir Annutharayoga, aku sudah mengalami 3
kali mimpi yang tidak baik. Yaitu:
1. Ada seorang wanita yang mencoba
mencelakaiku melalui 2 orang laki-laki yang disuruhnya, tapi aku dan suami bisa
mengatasi hal ini.
2. Ada 3 orang tidak ku kenal datang
ke Vihara, pura-pura hendak berkonsultasi, tapi mereka semua malah menyebar di
Vihara dan mencoba berbuat hal yang tidak baik, tapi aku berhasil mengetahui
dan menggagalkan perbuatan mereka sehingga Vihara terhindar dari kesulitan.
3. Sekumpulan Mara berusaha
menyerangku dan Umat Vihara, tapi kami bisa menghalau mereka dengan mengangkat
tangan kami ke langit dan memohon pertolongan Alam Semesta sambil membaca
Mantera, dan langit bereaksi sehingga muncul petir menyambar sehingga
sekumpulan Mara yang menyerang akhirnya pergi.
Ketiga mimpiku ini sangat jelas dan
tetap kuingat walau aku terbangun dari tidur. Pengalaman mimpi sebelumnya saat
diganggu Mara, membuatku lebih berpengalaman dan tidak begitu panik lagi. Aku
tidak membiarkan hal ini berlarut-larut, dan tidak membiarkan Mara berhasil
menggodaku ataupun berusaha menggagalkan pembinaan diriku. Aku harus bisa
merubah iri hati / cemburu dalam hatiku itu menjadi cinta kasih universal.
Cinta kasih untuk semua makhluk dan semua insan, bukan cinta kasih individual,
itu yang diajarkan Guru Sejatiku saat Beliau hadir memberi petunjuk.
Berkat bimbingan, perlindungan dan
petunjuk para Buddha-Bodhisattva serta dukungan dan nasihat dari suami,
akhirnya tahapan Annutarayoga telah ku selesaikan dengan baik, para Dakini
datang memberikan adhistana dan memancarkan berbagai sinar pada diriku, para
Dakini telah memberikan kekuatan gabungan padaku untuk bisa melewati tahapan
Annutharayoga. Dan aku telah memasuki tahapan dzogchen (penyempurnaan/
penyelesaian) dan masih dibimbing oleh Buddha-Bodhisattva di tahapan
Annutharayoga. Di tahapan ini aku harus menjalani pengasingan selama 7 hari,
agar konsentrasi tidak terganggu dan bisa menyelesaikan bimbingan dengan baik.
Terima kasih para
Buddha-Bodhisattva, para Dharmapala, para Dewa dan para Dakini atas semua
berkah dan banyak kemudahan yang telah diberikan kepadaku. Semakin berjalannya
waktu aku semakin kuat menjalani segala kesulitan, semakin mengerti makna
kehidupan dan pembinaan diriku dan yang terpenting semakin bijaksana dalam
menilai segala sesuatu yang ada disekitarku.
“Biarkanlah bumi berguncang,
biarkanlah laut meluap,
Asalkan hati tetap tenang, maka
terhindar dari kesulitan,
Biarkanlah semua pergi, biarkanlah
semua meninggalkan diri ini,
Asalkan hati tetap bersih, maka akan
bisa menjalani kehidupan ini.”
BERSAMA MAHASTAMAPRAPTA BODHISATTVA
MENGUNJUNGI ALAM SUKHAVATI
Beberapa bulan ini aku merasa perkembangan pembinaan diriku seakan
berjalan ditempat, aku merasakan demikian karena aku seperti tidak mengalami
apa-apa dan tidaklah secepat pencapaian sebelumnya. Mungkin ini karena
kesalahanku, sekarang ini terlalu banyak pertimbangan setiap mendapatkan
petunjuk dan arahan dari alam semesta. Terlebih ada sedikit kekecewaan
tersembunyi atas beberapa kejadian yang kualami.
Hal itu membuat aku kurang
bersemangat dalam berbhavana belakangan ini, walaupun kegiatan vihara tetap
berjalan dengan baik, tapi aku tidak lagi merasakan adanya
pengalaman-pengalaman baru yang berkesan mendalam, ataupun mengalami terbukanya
rahasia langit seperti dulu.
Entahlah, mungkin karena belakangan
ini aku selalu mengabaikan alam semesta atau mungkin mulai timbul tinggi hati
dan kesombongan dalam diriku. Rasanya aku tidak berminat untuk bertemu orang
lain dan banyak bicara panjang lebar serta enggan untuk melakukan sesuatu
membantu orang lain. Tanpa sadar aku lupa pada misi dan ikrarku sendiri dan mulai
berjalan kearah dan tujuan yang berbeda dengan Buddha-Bodhisattva.
Aku telah menutupi hatiku sendiri,
malas untuk membina diri dan memecahkan masalah orang lain, karena aku merasa
apa yang aku lakukan tidak dihargai oleh mereka. Kadang aku berpikir, aku harus
membuat mereka sulit bertemu denganku dan sulit untuk mendapatkan petunjuk
dariku agar mereka lebih menghargai Dharma.
Ternyata sikapku ini menimbulkan
kekotoran batin. Aku mulai memikirkan kesenangan dan kenyamanan diriku sendiri.
Hari ini aku bertukar pikiran dengan
suami, dia banyak memberikan masukan positif. Katanya dulu aku selalu mengikuti
petunjuknya, tapi belakangan ini aku jarang bisa menerima masukannya. Mungkin
ini yang dinamakan bahwa, “seseorang disaat awal membina diri, masih polos dan
bisa menampung bimbingan dan menjalankan setiap petunjuk. Tapi disaat sudah
berada diatas tingkatan tertentu, dia sudah mulai tidak bisa menerima masukan
lagi dan lebih banyak bertindak dengan pikirannya sendiri, tanpa memohon
petunjuk alam semesta.”
Mungkin ini ujian yang harus aku
lewati untuk bisa menumbuhkan sikap metta, karuna, mudita dan upeksa pada orang
lain.
Sore ini aku kembali mencoba
menjalani kembali saran suami untuk menjernihkan hati dan pikiran, mulai
membuka hati dan melepaskan segala kekecewaan yang telah berlalu, agar bisa
kembali menyatu dengan alam semesta. Aku akui, intensitas meditasiku telah
berkurang dibanding sebelumnya.
Karena itu, aku kembali membuktikan
apakah aku benar-benar mampu untuk pergi ke alam lain dan alam semesta
benar-benar bereaksi padaku.
Ternyata memang bisa dan ada reaksi
dari alam semesta. Ternyata aku meragukan diriku sendiri. Aku menjapa Mantera
Hati Mahastamaprapta 108x, tidak lama kemudian Beliau hadir, dalam meditasi aku
mulai merasakan ketenangan dan dengan cepat sinar terang tampak dalam pandangan
mataku yang terpejam. Chi mulai naik ke cakra dahi, cakra dahiku tertekan
beberapa saat lalu chi naik ke cakra mahkota, membuka ubun-ubun kepala seperti
kelopak bunga teratai mekar, dengan sekali hentakan rohku meloncat keluar dan
melesat naik, mendampingi dan mengikuti Mahastamaprapta terbang ke langit.
Kami sampai dipelataran Alam
Sukhavati, Beliau memberitahukan hal itu kalau aku sudah tahu tempat ini. Aku
memang sudah beberapa kali kepelataran Alam Sukhavati ini, yaitu saat pertama
kalinya mengetahui jati diri, saat mengantar roh ayah mertua dll.
Mahastamaprapta berkata: “Desi, ini
adalah pelataran Alam Sukhavati, terdiri dari hamparan rumput halus dan hijau,
yang ditumbuhi pohon-pohon berkah dan dihuni binatang-binatang terbang yang
berbulu indah dan binatang berkaki empat yang anggun dan berkarisma. Ada burung
berkepala dua dan tiga, merak, cendrawasi berekor merah, kijang berkepala indah
dll. Dipelataran ini, biasanya roh-roh
yang baru tiba di Alam Sukhavati akan melalui tempat ini, roh manusia yang saat
di dunia meninggal tua dan sakit, saat menginjak pelataran ini mereka akan
menjadi muda kembali dan sehat, dan tempat ini adalah tempat para Bodhisattva
dan Dewa-Dewi berkumpul untuk bertemu dan bercengkrama. Kau pasti sudah
mengetahuinya bukan? Saat ini Aku khusus mengajakmu melihat-lihat Alam
Sukhavati.”
Kami masuk kebagian dalam, ternyata
sangat indah, semua yang tersebut dalam Sutra Buddha Amithaba mengenai Alam
Sukhavati ada disini, tempat yang berlapis Lazuardi, Mutu Manikam dan lain
sebagainya.
“Ayo kita ke Alam Sukhavati tingkat
pertama?!!” Mahastamaprapta mengajakku, aku mengikuti Beliau pergi dan rasanya
memang seperti naik 1 tingkat ke atas. Terlihat agak kejauhan kawasan indah
yang terdiri dari banyak rumah-rumah yang dilapisi kabut putih tipis seperti
Alam Kahyangan.
Aku tidak masuk ke dalam kawasan
rumah-rumah itu dan hanya mendampingi Mahastamaprapta dari kejauhan, situasinya
sama seperti waktu Mahaguru mengajakku ke Nirwana dan Neraka.
Mahastamaprapta berkata: “Ini adalah
tingkat ke-1. Roh yang terlahir di tempat ini adalah mereka yang menjalani
hidup dengan baik, masa hidup 10 kalpa atau 10.000 tahun Alam Manusia, mereka
saat di dunia melakukan 10 perbuatan baik, yaitu : melihat, mendengar,
berbicara, memegang, berjalan, usaha, berbuat, berpikir, bersikap dan
bertingkah laku yang baik. Dari tingkat
1 sampai tingkat 5 sama adanya, biasanya orang awam dan tidak melatih diri
semasa hidup.”
Lalu kami naik ke tingkat ke-6,
kawasan rumah lebih besar dari sebelumnya dan lebih indah.
Mahastamaprapta berkata lagi: “Roh
yang terlahir di tingkat 6 sampai tingkat 10. Adalah semasa hidup mereka mulai
berbuat satu atau dua kebajikan untuk orang lain. Roh yang terlahir di tingkat
11 sampai tingkat 20, adalah yang semasa hidup mereka mulai berbuat kebajikan
untuk orang banyak dan melatih diri membaca mantera dan sutra. Roh yang
terlahir di tingkat 21 sampai tingkat ke 28, adalah semasa hidup banyak berbuat
kebajikan besar untuk orang banyak, melatih diri membaca mantera dan sutra dan
melatih meditasi. Yang terlahir di tingkat ini tidak akan tumimbal lahir
kembali karena sudah sama dengan Bodhisattva dan baru akan terlahir kembali
jika mereka ingin mencapai tingkat lebih tinggi atau memiliki misi/ikrar agung.
Alam Sukhavati adalah Surga Buddha Amithaba atas ikrar agungNya, Beliau tinggal
di Surga ini, sedangkan Aku dan Dewi Kwan Im walaupun kami pendamping utama
Buddha Amithaba, tapi kami tidak tinggal di Alam ini. Dewi Kwan Im berada di
AlamNya yang bernama Alam Bambu Putih, dan Aku Mahastamaprapta di Alam Lotus
Hijau. Hanya kadang kami berada di Alam Sukhavati ini. Kami bertiga mempunyai misi dan ikrar yang
sama, yaitu menggunakan welas asih dan cinta kasih untuk menolong semua makhluk
terlepas dari penderitaan dan bisa terlahir di Alam Sukhavati. Jika ada orang
yang menyebut nama kami di saat menjelang ajal menjemputnya, dan bertobat atas
segala kesalahan dan dosa yang diperbuat sebelumnya, maka Kami akan datang
menjemput orang tersebut untuk terlahir di Alam Sukhavati. Tapi menyebut nama kami tidaklah semudah apa
yang dipikirkan manusia, karena menyebut nama kami haruslah keluar dari hati
yang tulus. Banyak manusia yang di akhir ajalnya susah menyebut nama kami,
karena ada ego dan ketidakpercayaan mereka, sehingga mereka tidak kami jemput
untuk terlahir ke Alam Sukhavati dan harus masuk ke neraka dan ke alam
menderita lainnya. Dewi Kwan Im dan Aku adalah pendamping Buddha Amithaba,
karena Buddha Amithaba adalah Yidam kami, Dewi Kwan Im melambangkan cinta
kasih/welas asih, aku melambangkan kebijaksanaan dan kekuatan. Bunga lotus yang
aku pegang melambangkan hal itu, yaitu keindahan dan kekuatan perlindungan dari
segala gangguan. Sama seperti
Bodhisattva Manjusri dan Bodhisattva Samanthabadra yang mendampingi
Buddha Sakyamuni sebagai Yidam mereka, Bodhisattva Manjusri melambangkan
kekuatan dan kebijaksanaan dan Bodhisattva Samanthabadra melambangkan keindahan
dan cinta kasih serta hormat kepada para Buddha.”
“Kolam teratai kembar, kau sudah
pernah mendatanginya, jadi aku tidak mengajakmu kesana lagi. Kolam teratai
kembar berada di tingkat ke-28 (tingkat tertinggi), merupakan tempat tinggal
Padmakumara dan tempat lahir para Kumara. Anak Kumara yang lahir dari bunga
teratai di kolam teratai kembar adalah berasal dari manusia yang melatih diri
di tingkat Biksu yang membina diri dengan baik, jadi bayi Kumara masih polos
dan suci, tiada karma baik ataupun karma buruk. Bayi Kumara bisa tumbuh besar
di Alam Sukhavati dan tidak tumimbal lahir lagi, tapi bayi Kumara bisa turun ke
dunia lagi, ini semua karena hukum sebab akibat, adanya permohonan manusia yang
memohon berkah anak dan adanya permintaan atau ikrar bayi Kumara tersebut saat
menjadi Biksu untuk membina diri dan mencapai tingkat tertinggi/ke-Buddha-an.
Semua berdasarkan karma jodoh antara orang tua dan bayi Kumara itu sendiri,
semua ada sebab akibatnya, tapi ini adalah sebab akibat yang baik.”
Bodhisattva Mahastamaprapta
menjelaskan kepadaku banyak hal, membuat aku sedikit banyak mengerti sesuatu
yang tidak di ketahui orang lain pada umumnya. Bodhisattva Mahastamaprapta
mengajak dan menjelaskanku sampai disini dan meminta aku untuk kembali, karena
ini pertama kalinya kau kembali pergi ke Alam lain. Besok dan selanjutnya
Beliau berkenan untuk menemaniku melihat-lihat Alam Sukhavati lagi dan
menjelaskan tempat-tempat lainnya di Alam Sukhavati.
Ternyata memang aku masih bisa pergi
ke Alam lain, sesungguhnya aku yang tidak mau saja melakukannya, karena
kelebihan dan berkah yang telah diberikan Kaisar Langit dan Buddha-Bodhisattva
tetap masih ada dalam diriku dan tidak hilang sama sekali, semua tergantung
apakah aku membuka hatiku atau tidak terhadap alam semesta.
“Berseminya bunga mekar tiada suatu
keceriaan,
Berbuahnya pohon perdu tiada suatu
kebahagiaan,
Hanya sepi, sunyi dan hanya gelap
gulita,
Semua kiasan itu tiada arti sama
sekali,
Berjalan dilorong yang gelap, hanya
melihat sedikit cahaya,
Berjalan diterang benderang, tidak
ada titik kegelapan,
Kemanakah harus memilih, semu atau
nyata? kelihatan atau tidak?
Hanya orang yang bijak yang
mengetahui pilihannya.”
PERTOBATAN BHAGAVATI USNISSA VIJAYA
Pagi ini sekitar pukul 3 pagi, entah kenapa aku merasakan sedikit sakit
dibagian pinggang sampai pangkal paha sebelah kanan, sakitnya seperti masuk
angin. Aku mencoba mengurut bagian tersebut tapi tidak juga hilang, sampai
terasa ingin buang air besar, tapi setelah buang air besar tetap masih sakit.
Aku mencoba untuk tidur, tapi tidak bisa. Lalu aku memutuskan untuk duduk
meditasi.
Tidak lama dengan cepatnya ada
pergerakan, kukira sakit yang kurasakah ini karna latihan yoga Dakini
Pembimbing tidak kulanjutkan seperti biasanya, sehingga Beliau datang lagi
untuk menyelesaikan latihan semalam, tapi gerakan yoga tersebut kurasakan
berbeda, ini bukan yoga Dakini Pembimbing.
Karena aku kurang leluasa beryoga
diatas ranjang, aku beranjak turun ke lantai dan menarik matras duduk serta
kembali berkonsentrasi. Setelah beberapa saat mengikuti gerakan yoga tersebut,
aku baru menyadari, dengan sendirinya kedua tanganku membentuk Mudra Usnissa
Vijaya dan dengan sendirinya melafal mantera hati Usnissa Vijaya, tidak lama kemudian
Usnissa Vijaya turun dan muncul dihadapanku, Beliau berkata:
“Desi, maaf aku datang sepagi ini,
kau merasa sakit ?”
“Iya Usnissa Vijaya, entah kenapa
demikian.”
“Itu karena aku memanggilmu, maaf
karena aku menggunakan cara itu untuk membangunkanmu, karena aku ingin
memberitahukan hal yang penting.”
“Mohon petunjuknya Usnissa Vijaya“
“Aku datang untuk memberitahukan
kepadamu bahwa, Vihara Sukhavati Prajna harus dibuatkan Ritual Pertobatan.
Buatlah Ritual Pertobatan setiap tanggal 18 di bulan Imlek”
“Untuk apa Ritual Pertobatan itu?”
“Untuk membantu insan mencapai
kontak batin, menghapus karma buruk dan penyembuhan penyakit juga manfaat
lainnya. Susunlah Ritual Pertobatan itu
dan dengarkan petunjukKu ini “
Aku mendengarkan perkataan Usnissa
Vijaya dengan jelas, bahkan sangat jelas sekali. Beliau menuntunku menyusun
tata cara Ritual Pertobatan dan memberikan nama untuk Ritual tersebut,
“Pertobatan Bhagavati Usnissa Vijaya.“
Dalam Ritual Pertobatan itu, ada
sembah sujud kepada Buddha-Bodhisattva, membaca Sutra Usnissa Vijaya sebanyak 7
x 7 = 49x maksudnya adalah, pengikisan karma 7 kehidupan sebelumnya dan 7
kehidupan mulai saat ini dan yang akan datang, seluruh karma buruk terkikis dan
terhapus, karma baik terus berkembang. Dan pertobatan ini untuk diri sendiri.
Insan banyak yang tidak menyadari
telah berbuat kesalahan dan dosa, baik di kehidupan lalu maupun sekarang,
dengan adanya pertobatan ini, karma buruk mereka bisa terkikis dan bisa
mencapai kontak batin dengan alam semesta.
Usnissa Vijaya datang pagi sekali
untuk bisa membimbingku membuat Ritual Pertobatan, tujuannya untuk orang
banyak, manfaatnya sangat besar bagi manusia. Perhatian dan usaha para Buddha
Bodhisattva dalam menolong semua makhluk sungguh besar. Setiap saat
memperdulikan keselamatan dan kebahagiaan semua makhluk, khususnya manusia.
“Buat apa hidup menderita...
Buat apa menyesali...
Yang sudah terjadi biarlah terjadi,
Tak perlu ditangisi, tak perlu
disesali,
Yang harus dilalui adalah kehidupan,
Upaya untuk merubah, upaya untuk
membenahi diri,
Agar segala karma bisa terkikis dan
terhapus.”
MEMBERIKAN YANG TERBAIK ADALAH
KEBAHAGIAAN
Sore ini, saat kami bertiga, Ketua Vihara, saudari Maha Dharani dan aku
sedang berdiskusi mengenai beras mana yang akan kami beli untuk acara bakti
sosial memperingati hari Ulambana Ksitigarbha Bodhisattva, kami tanpa sengaja
melihat ke kamera cctv. Di area altar sumpah Boddhi dan altar Sie Mien Fo
banyak sekali orbs atau bulatan putih terbang kesana kemari. Menandakan turunnya roh-roh. Banyaknya orbs
melebihi dari biasanya, bergerak seperti arus dan gelombang air laut.
Aku merasakan kontak dan getaran roh
tersebut, dan masuk kedalam meditasi. Dengan sendirinya rohku keluar dari tubuh
menuju ke altar Sumpah Boddhi. Ternyata Ksitigarbha datang bersama pengikutNya
untuk inspeksi Vihara Sukhavati Prajna.
Karena sebentar lagi kami akan mengadakan Upacara Api Homa Penyeberangan
Roh dan Bakti Sosial.
Ksitigarbha berpesan untuk
mempersiapkan Upacara dengan baik dan menyediakan sebuah kapal untuk upacara
penyeberangan roh yang berukuran sedang, karena Vihara Sukhavati Prajna nanti
akan melakukan penyeberangan roh besar-besaran. Ksitigarbha juga sangat senang
karena kami telah memilih beras yang terbaik untuk bakti sosial dan tidak
memilih beras yang lebih murah dari biasanya atau lebih jelek dari beras yang
biasa kami makan. Karena itu menandakan ketulusan hati dalam melimpahkan jasa
kebajikan untuk para leluhur dan roh yang akan diseberangkan.
Reaksi alam semesta sangat cepat,
kami bersyukur karena bisa berpikir bijaksana dalam berbuat kebajikan ini.
Semoga harapan Ksitigarbha Bodhisattva untuk bisa menyediakan sebuah kapal
penyeberangan roh nanti bisa terwujud, karena waktu persiapan untuk mencari
kapal tersebut terlalu singkat. Tapi aku percaya jika Buddha-Bodhisattva
berkehendak, apapun bisa terjadi.
Pengikut Ksitigarbha Bodhisattva
sangat banyak, banyaknya hampir sama dengan Dewa Dewi Tao, saat sejit Mahadewi
Yao Chi, orbs yang turun juga banyak, hanya saja bentuk orbsnya masing masing
berbeda. Orbs Dewa Dewi Tao berbeda dengan orbs Ksitigarbha Bodhisattva dan
pengikutiNya.
Ksitigarbha berkata, kalau
pengikutnya banyak yang berasal dari roh yang terbebaskan dari alam neraka dan
alam penderitaan, sehingga roh yang tertolong tersebut berikrar mengikuti
dharma Ksitigarbha Bodhisattva, Beliau juga berpesan untuk tidak lupa
menyiapkan kertas mantera yang Beliau berikan saat pertama kali aku melakukan
penyebrangan roh.
Dan disaat upacara terselenggara,
sungguh berbeda dari ulambana sebelumnya, terlihat begitu sakral dan jumlah
pelimpahan jasa / bakti sosial lebih banyak dibagikan tahun ini. Sungguh bersyukur bahwa melalui Vihara
Sukhavati Prajna, segenap umat dan donatur bisa melimpahkan kebajikan mereka
untuk kebaikan orang lain, amanat dan perkataan Ksitigarbha Bodhisattva
benar-benar terealisasi dengan baik.
“Ketika matahari terbit, tiada fajar
yang memerah,
Ketika bulan bersinar, tiada cahaya
putih menyinari,
Semuanya kelam, kelabu tiada cahaya
bahagia,
Tertutup kelamnya hati dan gundahnya
kehidupan,
Tiada sesuatu yang perlu
dikuatirkan,
Hidup ini hanyalah sementara ada dan
tiada sama saja,
Tak perlu dipikirkan, semua akan
kembali ke Alam.”
PELIMPAHAN JASA DAN PENYEBERANGAN
ROH
Aku dan beberapa Dharmaduta sudah mulai mendedikasikan diri kami untuk
memberi kebahagiaan kepada semua makhluk, terutama kepada para roh yang masih
menderita. Kami sudah sering melakukan Pelimpahan Jasa dengan membantu
menyalurkan jasa kebajikan berupa penjapaan Mantera dan Sutra kepada roh yang
baru meninggal, ataupun para roh yang meminta bantuan untuk dilimpahkan
jasanya. Kadang hampir setiap hari kami berkumpul untuk melakukan Ritual
Pelimpahan Jasa, dan aku yang memimpin pelimpahan-pelimpahan jasa tersebut.
Para Dharmaduta yang menjadi
pendampingku dalam Ritual Pelimpahan Jasa haruslah sudah memiliki tekad yang
kuat dalam misi penyelamatan, siap dan rela membantu semua makhluk yang
menderita agar bisa mendapat kebahagiaan. Terlebih lagi siap menanggung karma
yang memang harus ditanggung.
Aku sangat menghargai para
Dharmaduta ini, yang mau meluangkan banyak waktu dan tenaga mereka untuk para
roh yang tidak ada hubungan keluarga. Hal ini menunjukkan mereka telah bisa
merealisasikan Sumpah Bodhi mereka. Selama banyak kali kami membantu pelimpahan
jasa tersebut, banyak hal pula yang kami alami dan ketahui, bahwa saat kita
membantu seseorang/para roh, kami akan merasakan dan mengalami hal-hal yang
aneh dan tidak terduga. Seperti merasakan aura yang berbeda saat melimpahkan
jasa roh-roh tersebut.
Saat membaca mantra dan sutra,
perbedaannya terletak pada berat atau tidaknya kami melafal mantera dan sutra
tersebut, beberapa hal yang kami rasakan adalah:
* Saat membaca mantera, dada terasa
sesak dan tidak bisa membaca dengan cepat.
- ini dikarenakan roh tersebut memiliki karma yang berat.
* Ada aura mengantuk dan mata terasa
berat.
- ini karena adanya kehadiran Sie Mien Fo.
* Saat membaca mantera dan sutra
terasa ringan dan bisa cepat tanpa adanya kesalahan.
- ini dikarenakan karma roh tersebut sudah mulai terkikis (biasanya
setelah beberapa kali melakukan pelimpahan jasa.)
Dan banyak aura lainnya yang
dirasakan.
Disamping itu kami juga kadang harus
menanggung karma jika roh yang kami bantu tersebut masih mempunyai karma buruk
yang besar dan punya roh penagih hutang, maka kami satu persatu bisa mengalami
sesuatu yang tidak baik, seperti kecelakaan-kecelakaan kecil. Biasanya setelah
selesai Pelimpahan Jasa, ada yang jatuh terpeleset, ada yang keserempet motor,
hampir kejatuhan dahan pohon palem, dan lain-lain. Tetapi kami tidak gentar
dalam menjalankan misi ini, dan percaya para Buddha-Bodhisattva serta para
Dharmapala melindungi kami semua, karena kami melakukan kebajikan dan kami
selalu dibekali Pondasi Roh, sehingga penanggungan karma yang seharusnya besar
kami tanggung menjadi ringan.
Melalui Pelimpahan Jasa yang kami
lakukan tersebut, kami juga menjadi tahu, bahwa tidak semua roh yang
diseberangkan akan terlahir ke Alam Sukhavati. Berdasarkan karma buruk dan
karma baik yang dimiliki roh tersebut, serta seberapa besar Pelimpahan Jasa
yang dilakukan keluarga mereka, apakah sudah cukup membayar karma buruknya roh
tersebut.
- Jika karma buruk dan karma baiknya
seimbang, maka akan dilahirkan kembali ke Alam Manusia.
- Jika kebajikannya besar, maka akan
terlahir ke Alam Sukhavati.
- Jika Roh asalnya dari Alam Brahma
dan saat terlahir menjadi manusia masih rajin sembahyang dan tidak mempunyai
karma berat, maka akan terlahir ke Alam Brahma dijemput oleh Sie Mien Fo.
Biasanya orang yang baru meninggal
rohnya akan berada di alam bardo selama 49 hari, setelah itu sudah akan
ditentukan akan terlahir ke mana. Bahkan ada juga roh yang tidak memiliki
kebajikan dan memiliki kemelekatan dan kebencian, roh tersebut sulit
terseberangkan. Karena itu waktu 49 hari tersebut sangat penting bagi keluarga
yang meninggal tersebut untuk melimpahkan jasa kebajikan agar roh tersebut bisa
terlepas dari penderitaan dan terlahir ke alam bahagia.
Biasanya manusia semasa hidup tidak
menyadari kesalahannya, banyak melakukan hal-hal yang tidak baik tapi keras
kepala dan tidak mau bertobat. Di saat dia meninggal rohnya baru menyadari,
tapi sudah terlambat, karena sudah tidak bisa lagi menolong dirinya agar tidak
terlahir ke alam rendah yaitu, alam binatang, alam setan kelaparan, dan alam
neraka. Jika roh tersebut memiliki anak, istri/suami/saudara yang mau
membantunya melimpahkan jasa, roh tersebut bisa tertolong. Tapi jika
keluarganya tidak membantunya, maka roh tersebut harus menderita dan entah
kapan bisa berjodoh dengan orang yang bisa membantunya keluar dari penderitaan.
Oleh sebab itu, hendaknya kita
sebagai manusia bisa menjalani kehidupan dengan baik, banyak berbuat kebajikan,
menjauhi perbuatan jahat dan senantiasa membina
rohani. Agar disaat nantinya harus meninggalkan dunia ini, roh kita bisa
dengan sendirinya terlahir ke Alam Bahagia atas kebajikan yang kita lakukan,
walaupun tidak memiliki sanak keluarga yang bisa melimpahkan jasa kebajikan,
roh kita tetap bisa mendapatkan kebahagiaan dengan sendirinya.
MENJALANI PENGASINGAN DAN MEMAHAMI
SUNYATA
(DZOGCHEN dan MAHAMUDRA)
Di dalam menjalani tahapan akhir pelatihan Tantra, cobaan dan ujian
semakin berat dan sulit kulewati. Kemelekatan terhadap hal-hal duniawi semakin
kuat kurasakan, ditahapan ini dorongan enggan membina diri semakin kuat,
sepertinya Mara tidak pernah berhenti berusaha menggagalkan pembinaan diriku,
bahkan sampai ditahapan terakhir ini.
Sempat beberapa hari aku melalaikan
pembinaan diriku, shadana setiap hari tetap kulakukan, tapi bimbingan khusus
tidak kujalankan, dan aku banyak tenggelam dalam kesibukan kegiatan Vihara dan
lain-lain. Kekuatan dahsyat dalam diriku, membuat aku seakan semakin dibuat
melekat/ terikat dalam hal duniawi. Sampai pada hari minggu pagi, aku
menjalankan tugas kerumah seseorang untuk menjalankan ritual pelimpahan jasa
leluhur peringatan 49 hari, Buddha Pembimbing datang memberi petunjuk.
Aku harus bisa menyelesaikan tahapan
akhir pembinaan diri ini, dan Beliau tidak ingin aku gagal menjalaninya. Karena
itu aku diminta untuk mengasingkan diri beberapa waktu, untuk bisa
berkonsentrasi di tahap penyelesaian ini.
Entah kenapa, walau agak sedikit
berat menjalani petunjuk Buddha Pembimbing, tapi tubuhku begitu ringan, seakan
aku tidak terasa berat mengambil keputusan untuk mengasingkan diriku.
Sepulangnya dari pelimpahan jasa, aku memberitahukan hal itu pada Ketua Vihara,
dan sepertinya dia mendukungku menjalaninya, dan membantuku mempersiapkan ruang
khusus untuk aku bisa pengasingan sementara agar tidak terganggu.
Aku hanya keluar untuk menjalankan
tugas saja dan memimpin Vihara, jika sudah selesai harus segera masuk kembali
ke ruang khusus dan tidak mengikuti kegiatan yang lain. Dan selama berada dalam
pengasingan, aku harus menyelesaikan penulisan buku Dharmaduta Vihara Sukhavati
Prajna, karena sudah mendapatkan petunjuk untuk melantik calon-calon Dharmaduta
terpilih, menjadi Dharmaduta Vihara Sukhavati Prajna. Jubah Kasaya juga telah
selesai, dan pin Dharmaduta generasi pertama sudah akan selesai. Sehingga
amanat Mahadewi Yao Chi untuk menulis buku ini bisa terselesaikan dengan baik,
walaupun sudah tertunda agak lama tapi aku bersyukur, walaupun awalnya terpikir
tidak bisa menjalankannya, tapi saat ini penulisan sudah hampir rampung dan
calon Dharmaduta sudah seluruhnya menulis artikel mereka.
Beberapa hari menjalani pengasingan,
intensitas meditasiku menjadi lebih sering. Hanya saja aku sedikit kurang
memahami apa tujuan dari tahap penyelesaian ini, apa yang hendak diselesaikan?
Apa fokus konsentrasinya? Apa yang hendak dicapai? dan petunjuk apa yang akan
kudapatkan?.
Aku belum benar-benar mengerti,
hanya saja yang kurasakan selama dalam pengasingan dan tinggal diruangan
khusus, dalam meditasi ataupun diluar meditasi, tak ada kata-kata muncul, tak
ada fenomena terlihat, tak ada Buddha-Bodhisattva memberi petunjuk, tak ada
reaksi dan gejolak dalam diri, tak ada rasa antusias dan tak ada suka maupun
duka. Apa maksudnya, aku belum mengetahui arti semua itu. Padahal sebelum masuk
keruang pengasingan, Buddha Pembimbing berkata dengan sangat tegas, bahwa aku
harus masuk pengasingan untuk menyelesaikan tahap Dzogchen (penyelesaian) dan
tidak ingin aku gagal dalam tahapan akhir ini. Tapi kenapa setelah masuk
pengasingan, rasanya begitu tenang dan tidak berenergi kuat. Yang ada hanyalah
disaat meditasi, tiada pergerakan dan hanya memancarkan cahaya dalam diri
secara terus menerus tapi berakhir dengan kekosongan. Apakah tahapan
penyelesaian itu adalah memancarkan cahaya? ataukah mencapai kesunyataan?
Yang aku pahami dalam tahapan ini
adalah, seperti terarah untuk memahami tiada sesuatu, tiada kemelekatan dan
tiada kekotoran batin. Tidak merasakan diri lagi, dan mencoba memahami diri
sendiri adalah Buddha. Apakah tahap penyelesaian/Dzogchen adalah tahapan
mencapai pencerahan? Aku tidak ingin salah penafsiran, tapi aku tidak tahu
harus bertanya pada siapa? Aku tidak mempunyai guru manusia yang bisa berbagi
pengalaman ini, mungkin aku bisa bertanya pada Guru Sejati ataupun
Buddha-Bodhisattva, tapi disaat berada ditahapan ini, Mereka pasti tidak akan
memberi petunjuk panjang lebar, Mereka pasti ingin agar aku bisa memahami
sendiri makna/arti pembinaan diri yang sedang kujalani saat ini.
Akhirnya aku bertanya pada Ketua
Vihara mengenai apa yang kualami, karena selama ini hanya dia yang bisa
memberikan pandangan yang baik dalam pembinaan diriku, aku mendapatkan kalimat
bermakna darinya, dia berkata: “Vihara banyak patung Buddha-Bodhisattva,
Dharmapala, Dewa dan Dakini. Apakah aku melihat Mereka bergerak?. Sepertinya
Mereka tidak melakukan sesuatu, tapi sesungguhnya Mereka melakukan sesuatu.
Sepertinya Mereka tidak mendengar permohonan kita, tapi sesungguhnya Mereka
mendengar bahkan mengabulkan permohonan kita.“. Posisi diriku saat ini sama
seperti Buddha-Bodhisattva, tidak bergeming tapi cahaya kebijaksanaan yang
terpancar dalam diriku bisa menerangi seluruh alam semesta, semua insan dan
semua makhluk mendapatkan manfaatnya. Ibarat matahari yang menyinari bumi,
sepertinya matahari tidak melakukan sesuatu/tidak bergerak karena bumi yang
mengitarinya, tapi bumi dan isinya mendapatkan manfaat sangat besar dari sinar
matahari.
Aku mulai mengerti, bahwa
sesungguhnya tahapan penyelesaian adalah memahami sunya dan tak ada sesuatupun.
Berbeda dengan tahapan-tahapan sebelumnya yang begitu terasa pencapaiannya,
begitu kuat energinya, begitu beragam yoganya dan begitu bermacam bimbinganNya.
Di tahapan inipun aku diajarkan
untuk tidak membedakan, pengalaman ini kudapatkan dari kejadian yang aku dan
suamiku alami disaat aku mulai menjalani pengasingan. Kira-kira seminggu
sebelumnya suamiku mengalami mimpi yang aneh, dalam mimpi itu dia didekati seekor
ular kecil berwarna kuning dan hanya memiliki satu mata, ular tersebut berusaha
mendekatinya walaupun berulang kali suamiku mencoba menghalangi jalannya agar
tidak mendekatinya, tapi ular tersebut tetap saja bisa melewati pembatas itu
dan sempat mematuk tangannya. Setelah bermimpi demikian suamiku tanpa sengaja
bertemu dengan teman lama, dan mendapatkan sebuah pedang dari orang tersebut.
Saat aku memegang pedang itu, tanganku terasa pegal dan reaksi tubuhku tidak
begitu nyaman. Suamiku ingin agar aku mempelajari pedang tersebut, dan tidak
lama kemudian akupun menghadap dan menyatu dengan Buddha Pembimbing.
Dengan sendirinya tanganku membentuk
mudra dan menyatu dengan alam semesta, aku membuka sarung pedang itu dan
berkonsentrasi dalam meditasi. Tidak lama kemudian muncul seekor ular kecil
berwarna kuning dan bermata satu, kepala berdiri menghadapku. Kukira ular
tersebut akan menyerangku, tapi dia malah berkata dengan lembut.
“Bodhisattva….”
Dia memanggilku dengan sebutan
Bodhisattva, apakah dia mengetahui diriku yang pada saat itu sedang menyatu
dengan Buddha Pembimbing? aku bertanya padanya,
“Siapa kau?”
“Bodhisattva, saya adalah ular
kuning bermata satu, terimalah hormat saya “
“Kau penghuni pedang itu ?”
“Ya, saya tinggal di dalam pedang
itu.“
“Kau pasti bukan Dewa, karena aku
merasakan aura yang berbeda.”
“Bodhisattva, sesungguhnya saya
adalah siluman ular kuning bermata satu, tapi saya tidak bermaksud tidak baik.
Banyak manusia yang mempergunakan saya untuk berbuat hal-hal yang tidak baik,
saya tidak menyukainya.”
“Bagaimana kau bisa tinggal dalam
pedang itu?”
“Saya hendak melatih diri untuk bisa
menjadi Dewa, tapi malah bertemu manusia yang tidak baik.”
“Begitu ya, saat ini kau sudah
ditolong oleh V.A. Sukhavati Prajna dan berjodoh dengannya, jika kau ingin
mencapai kedewaan, kau jadilah pengikutnya. Dengan bersama dia berbuat
kebajikan, dia akan bisa membantumu mencapai tingkatan Dewa.”
“Baiklah Bodhisattva, saya akan
membantunya.”
Perlihatkanlah wujud aslimu, Buddha
pembimbing yang menyatu denganku memerintahkan ular kuning bermata satu itu
menunjukkan wujud aslinya. Tidak lama kemudian, aku melihat ular kuning bermata
satu tersebut berputar beberapa kali dan berubah menjadi seorang gadis cantik
yang mengenakan baju Tiongkok. Gadis itu berkata ,
“Bodhisattva, nama saya sebenarnya
adalah Huang Cu Sien, saya masih ada hubungan kerabat dengan siluman ular
putih, Pai Su Cen.”
“Baiklah, kau tinggallah dengan baik
di dalam pedang itu, jika V.A. Sukhavati Prajna mengundangmu untuk membantunya
menjalankan kebajikan, kau bantulah dengan sebaik-baiknya, dan jangan berbuat
ulah.”
“Baik Bodhisattva “
Setelah berkata demikian, gadis
cantik berbaju kuning itu berubah wujud kembali menjadi siluman ular kuning
bermata satu dan masuk kedalam pedang tersebut.
Setelah itu, Buddha Pembimbing
berkata kepadaku, agar aku bisa menjaga pedang tersebut dan berkenan melakukan
sesuatu untuk kebaikan siluman ular kuning bermata satu, agar bisa membantunya
mencapai tingkat Dewa.
Awalnya aku agak sedikit keberatan karena
harus berhubungan dengan siluman, sejak awal membina diri, aku hanya membatasi
diriku untuk berinteraksi dengan para Buddha-Bodhisattva, para Dharmapala, para
Dewa dan para Dakini saja. Tidak terpikir akan dekat dan membantu siluman. Tapi
Buddha Pembimbing berkata, bahwa tahapan pembinaan diriku saat ini sudah
mencapai tahap yang tidak membeda-bedakan. Asalkan untuk kebaikan walaupun
siluman sekalipun, aku pantas untuk membantunya.
Aku mulai memahami perkataan Buddha
Pembimbing, memang sudah seharusnya sifat kewelas-asihan dalam diriku tidak
terbatas pada orang/hantu yang baik saja, walaupun siluman jika mereka tidak
berniat jahat maka pantas untuk ditolong dan aku tidak perlu takut pada mereka.
Jodoh karma bisa datang dari mana
saja, tidak terbatas pada sesama manusia saja. Kita bisa berjodoh karma dengan
Buddha-Bodhisattva, Dharmapala, Dewa dan Dakini, bisa berjodoh karma dengan
hantu, bisa berjodoh dengan makhluk-makhluk alam yang lain dan bisa berjodoh
karma dengan siluman. Dengan memiliki sifat yang tidak membeda-bedakan, maka
Dharma Buddha dan perbuatan kebajikan bisa berjalan dengan baik serta bisa
memberikan kebahagiaan bagi semua makhluk.
Setelah menjalani pengasingan beberapa waktu, dan telah memahami dan
menyelesaikan Tahap Akhir Pelatihan Tantra. Ku kira sudah selesai sampai
disitu. Aku telah bisa memancarkan Sinar Terang dan memahami hakekat kehidupan.
Tapi ternyata aku masih mengalami satu ujian lagi, aku tak menyadari sifat
dosa/ iri hati dimunculkan oleh mara dalam diri, kemelekatan pada salah satu
yang teramat sulit kulepaskan dijadikan sebagai cobaan dan ujian terakhir.
Sampai-sampai konsentrasi meditasi yang sudah kukuasai mendadak saja menjadi
kacau dan berantakan. Gejolak perasaan itu begitu kuat rasanya, sampai membuat
dada dan hatiku sakit. Aku berpikir apakah aku telah salah jalan, mengapa
setelah melewati tahapan Dzogchen aku malah mengalami hal ini.
Apakah pencapaianku menyelesaikan
tahap Dzogchen telah menyimpang dari yang sebenarnya?
Entah kenapa beberapa waktu ini, aku
selalu terpancing terhadap hal-hal yang paling ku takuti, keinginan yang semula
telah bisa ku redam kembali muncul dalam hatiku. Aku seperti takut kehilangan
atas apa yang kumiliki. Perasaan ini semakin menyiksaku, setiap kali aku
mencoba untuk shadana dan meditasi, perasaan itu muncul, membuat aku menangis,
dan pikiran-pikiran jelek muncul begitu saja dan tidak berhenti, setiap kali
seperti itu.
Aku bertanya pada Guru Sejati dan
Buddha-Bodhisattva dalam menjalankan Dharma, Apakah aku harus menjadi orang
lain? Apakah aku harus munafik?
Apakah aku tidak bisa menjadi diri
sendiri?
Mengapa saat ini aku merasa tidak
bahagia menjalankan Dharma dan Pembinaan Diriku, dulu aku begitu bahagia,
mengapa sekarang timbul perasaan ini?
Guru Sejati dan Buddha-Bodhisattva
tidak menjawabku. Sehingga saat shadana dan meditasi pikiran-pikiran jelek itu
muncul, aku memilih untuk tidak melanjutkannya, tapi akibatnya aku semakin masuk
kedalam dilema.
Tapi untung saja aku mendapat
jawaban atas pertanyaanku, walau Guru Sejati dan Buddha-Bodhisattva tidak
menjawab secara langsung, tapi mereka telah mengarahkanku untuk mendapatkan
jawabannya, saat aku tidak bisa berkonsentrasi meditasi, aku memutuskan untuk
membaca buku saja, aku membuka lemari buku yang ada disamping altar pribadiku,
aku mengarahkan tanganku mencari buku apa yang hendak kubaca, agar pikiranku
terbuka dan lebih santai. Tiba-tiba saja jariku berhenti di satu buku, aku menarik
buku tersebut, judulnya “Mahamudra Mahasidda” seingatku suamiku yang membeli
buku ini dari toko buku, tapi aku tidak pernah membacanya.
Saat ku buka sampulnya dilembaran
pertama tertulis kalimat-kalimat ajaran Mahamudra yang diturunkan oleh Tilopa kepada
Naropa. Saat aku membaca kalimat-kalimat itu, aku mendapatkan pencerahan
seketika dan sadar aku sedang memasuki Tahapan Mahamudra. Aku telah menemukan
kunci pencerahan dan obat dari dilema dan perasaanku saat ini.
Akhirnya aku memahami Mahamudra dan
menjadikan kalimat ini sebagai cara penyelesaiannya.
“Jadikan apa yang ditakuti, apa yang
disukai, apa yang diinginkan sebagai fokus konsentrasi meditasi, jangan
berusaha melenyapkannya ataupun menempatkannya dalam pikiran tapi biarkan apa
adanya. Jadikan semuanya itu kosong/sunyata, sehingga keterikatan dan
kemelekatan hilang dengan sendirinya.”
Dengan kalimat yang kupahami ini,
aku bisa merubah kekalutan pikiran dan pikiran-pikiran liar menjadi kekosongan
dan muncul kewelas-asihan tanpa berusaha untuk menghindari ataupun
melenyapkannya. Inilah Mahamudra, kebahagiaanku yang dulu telah kembali
tercapai, Amituofo.
“Bergeser tanah bumi ini seperti
pergeseran awan,
Meluap lahar gunung ini seperti
luapan air,
Tiada keabadian, tiada kekuatan,
yang ada hanyalah kekosongan,
Seperti hampanya kehidupan.
Biarpun hidup penuh luka tapi hati
selalu ceria,
Mencoba memahami hidup yang penuh
dengan penderitaan,
Janganlah merasa terbeban dalam
menjalani kebenaran ajaran,
Karena disitulah letak kepastian dan
juga kekekalan hidup.”
PENGANGKATAN DHARMADUTA VIHARA
SUKHAVATI PRAJNA
Tepat disaat sejit Avalokitesvara Bodhisattva tanggal 19 bulan 9 lunar,
para calon-calon Dharmaduta telah diresmikan menjadi Dharmaduta. Ada 16
Dharmaduta terpilih, 7 Dharmaduta pria dan 9 Dharmaduta wanita. Mereka adalah
Dharmaduta Vihara Sukhavati Prajna Generasi pertama, dan juga merupakan anggota
Sangha Vihara. Karena mereka telah mengikrarkan diri melalui sumpah bodhi
mereka untuk membabarkan Dharma Buddha dan membina diri dengan baik dengan
tujuan memberikan kebaikan bagi semua insan dan semua makhluk.
Masing-masing Dharmaduta terpilih,
sesungguhnya sudah dipilih oleh Buddha-Bodhisattva dan Dharmapala sejak satu
tahun lebih yang lalu, tapi waktu awal aku diberi petunjuk mengenai siapa
mereka semua yang terpilih, para Buddha-Bodhisattva dan Dharmapala tidak
mengijinkan aku untuk memberi tahu mereka lebih dulu. Aku diminta untuk melihat
dan memperhatikan segala sikap, tingkah laku, perbuatan dan pembinaan diri
mereka serta usaha mereka dalam merealisasikan niat mereka berbuat kebaikan.
Sampai jika mereka semua bisa melewati setiap tahapan ujian dalam pembinaan
diri mereka, barulah aku diijinkan untuk mengkonfirmasikan mereka satu persatu.
Karena hati manusia masih mudah berubah dan mudah terpengaruh dengan keadaan
sekitarnya, pilihan Buddha-Bodhisattva dan Dharmapala bisa saja berubah
mengikuti perubahan hati orang-orang pilihanNya tersebut, karena disaat mereka
sedang mengalami ujian dalam pembinaan diri, baik lewat meditasi, lewat
hubungan keluarga, lewat pekerjaan dan usaha, lewat hubungan sesama calon
Dharmaduta dan hubungan dengan para umat yang lain.
Sebagian calon Dharmaduta pilihan
ada yang tidak bisa melewati ujian mereka, sehingga dengan sangat terpaksa
Buddha-Bodhisattva dan Dharmapala merelakan mereka tidak menjadi bagian dari
Vihara Sukhavati Prajna. Hal itu dikarenakan kurangnya keyakinan dalam diri
mereka, mudahnya terhasut perkataan orang lain dan mereka merasa apa yang
mereka harapkan dan inginkan sejak awal bergabung dengan Vihara tidak mereka
dapatkan.
Sama halnya dengan Buddha-Bodhisattva
dan Dharmapala, walaupun ada satu kesedihan mendalam dalam diriku, akupun tidak
bisa berbuat apapun selain ikut merelakan mereka. Walaupun didalam hati berharap, agar mereka
tetap bisa menjalankan hidup dengan baik dan membina diri dengan baik walaupun
tidak di Vihara Sukhavati Prajna lagi. Aku menganggap segala pertemuan dengan
mereka adalah karena jodoh karma, dan kepergian mereka ku anggap sebagai jodoh
karma yang sudah berakhir, sehingga aku lebih bisa menerima dengan hati tenang.
Sekarang ke-16 Dharmaduta Vihara Sukhavati Prajna yang sudah diresmikan ini,
aku berusaha untuk bisa secara khusus membimbing mereka, dan berusaha
meluangkan waktu berbincang dan berbagi pengetahuan Dharma, sehingga kami semua
bisa saling bahu membahu dalam menjalankan misi yang sama dengan para
Buddha-Bodhisattva dan Dharmapala. Sekarang kesedihan telah berakhir dengan
kebahagiaan, karena kami semua bisa melewati ujian pada tahapan ini, walaupun
mungkin masih banyak ujian yang akan kami hadapi nantinya, semoga saja kami semua
tetap bisa melewatinya bersama-sama.
Saat ini Vihara Sukhavati Prajna
telah berjalan dengan semestinya, ada Dharmaduta, kegiatan pujabakti berjalan
dengan baik, ritual api homa dan pelimpahan jasa roh leluhur semakin bertambah,
pertobatan Bhagawati Usnissa Vijaya telah dijalankan dan penulisan buku
Dharmaduta Vihara Sukhavati Prajna telah selesai.
Akhirnya segala sesuatunya berjalan
dengan baik, lancar dan sesuai dengan harapan para Buddha-Bodhisattva. Dan
setelah pencetakan buku ke-5 ini selesai, aku telah mendapatkan amanat baru
lagi dari Alam Semesta untuk menulis buku selanjutnya yang akan menjadi buku
ke- 6. Semoga kita semua masih bisa berjodoh baik, sehingga kita masing-masing
bisa mendapatkan dan menerima perputaran Roda Dharma dari Alam Semesta.
KONG
HAI SHAN
Saya terlahir di keluarga yang beragama Buddha, tapi sebagian besar
penganut Kepercayaan / Kong Hu Cu. Saya merupakan anak bungsu dari enam
bersaudara. Kakek dan nenek saya pengikut ajaran Buddha Maitreya. Sedangkan ibu
sejak muda sudah rajin sembahyang, membaca mantera dan sutra, hanya tidak
menjalani meditasi. Begitu juga dengan ayah merupakan penganut tradisi / Kong
Hu Cu semasa mudanya. Kehidupan juga seperti orang awam pada umumnya.
Saat masih muda dan masih
bersekolah, saya sering mengikuti Kebaktian dan Sekolah Minggu di Vihara untuk
mengumpulkan point/stempel vihara agar bisa mendapatkan tambahan nilai agama di
sekolah. Disaat mengikuti Kebaktian/Sekolah Minggu di vihara saya sudah sering
mendengar wejangan, nasihat, bimbingan dan pengetahuan dharma dari para bikhsu,
ada hal yang saya bisa pahami tapi banyak juga hal lain tentang dharma yang
saya tidak paham, tapi waktu itu tidak berani bertanya dan hanya bisa jadi
pendengar setia saja, hal ini membuat pemahaman tentang dharma sangat
hijau/dangkal sehingga sulit bagi saya untuk introspeksi diri/menerapkan jalan
dharma dalam kehidupan saya. Di masa remaja/masa nakal-nakalnya, saya cenderung
bertindak semaunya tanpa berpikir panjang, selalu mengikuti emosional dan
pergaulan teman sehingga menimbulkan kekhawatiran/ kecemasan bagi orang tua.
Dalam hal penampilan, baju
sekolahpun terbilang modis, tidak seperti baju sekolah pada umumnya, kebanyakan
saya dan teman-teman suka memodifikasi baju sekolah kami supaya lebih keren.
Kesukaanku ikut grup motor dan balapan di jalan raya, sempat membuat khawatir
orang tua. Banyak teman-teman saya yang mengalami kecelakaan dan ada beberapa
yang meninggal karena balapan disaat melakukan atraksi. Tapi sungguh aneh,
melihat mereka demi gengsi walaupun sudah mengalami kecelakaan dan luka-luka
parah, setelah pulih dari sakit, mereka kembali balapan motor lagi. Mungkin
karena mereka merasa masih muda, sehingga nyalinya masih tinggi.
Masa-masa itu telah lewat, dan untuk
menghindari pergaulan yang kurang baik ini selepas SMA sayapun akhirnya
merantau ke Jakarta. Saya meneruskan kuliah ke jurusan Ekonomi Manajemen. Saya
bisa kuliah dan tinggal di Jakarta atas kebaikan/ bantuan dari abang saya.
Intinya mereka banyak membantu saya, memberi dorongan, semangat dan
masukan-masukan nasihat yang positif. Selama di Jakarta untuk mencari
pengalaman, saya berusaha mandiri dengan bekerja sambil kuliah. Pagi hari saya
berangkat kerja sampai sore, sepulang kerja langsung menuju kampus untuk
kuliah. Di Jakarta, saya hanya sekali-kali saja ke Kelenteng untuk sembahyang
dan tidak pernah lagi mengikuti kebaktian di Vihara manapun. Kegiatan
sembahyang yang saya lakukan terdorong karena nasihat orang tua dan untuk
ketenangan batin disaat risau. Walaupun sudah kuliah sambil kerja, mulanya saya
bisa menghilangkan kebiasaan keluyuran dan hepi-hepi dengan teman, tapi seiring
dengan adanya penghasilan tambahan dan juga bertambahnya teman kuliah, rekan
kerja maupun teman semasa sekolah di Medan dulu dan terutama ajakan-ajakan
untuk hepi-hepi kembali menggoda, akhirnya kembali lagi ke Dunia Gaul yang
penting hepi karena pengaruh teman dan disaat itu iman juga masih gampang goyah
karena efek pengaruh pergaulan yang kurang baik walaupun masih bersyukur saya
tidak sampai terjerumus kedalam pergaulan obat-obatan.
Mengenang masa lalu saat usia masih
menginjak dua puluh-an, mungkin sebuah rentang usia dimana seseorang masih
belajar mengenal jati diri sendiri. Banyak hal yang belum saya mengerti di
sekeliling saya dan banyak kecerobohan yang terjadi akibat kebodohan saya. Saya
terus terang banyak melakukan kesalahan-kesalahan, bertindak sangat emosional,
banyak juga kegagalan-kegagalan yang harus saya alami, terlalu ceroboh dalam
bertindak dan kurang bisa berintrospeksi diri, masih egois, masih kurang bisa
menguasai diri, kekotoran batin sangat kental, duniawi sangat melekat, masih
melakukan banyak kebodohan dalam hidup ini. Sehingga apabila mengingat
masa-masa tersebut dada menjadi sesak dipenuhi oleh penyesalan-penyesalan
karena salah langkah, sehingga telah banyak menyakiti hati orang, membuat orang
kecewa, menyusahkan orang, membuat orang tua ikut khawatir, cemas dan bersusah
hati. Tapi semua itu melupakan masa lalu yang sangat berharga walau menyimpan
berbagai kenangan manis dan kenangan pahit yang tidak akan bisa kembali
walaupun disesali. Masa lalu sebagai cermin diri agar kedepannya saya tidak
salah lagi untuk kedua kalinya.
Dengan begitu saya semakin bisa
bersikap lebih dewasa, pergaulan saya dengan sendirinya bisa mawas diri dan
hati cepat berbalik jika merasa sudah terlalu jauh berbuat hal yang tidak baik.
Entah kenapa semakin lama, saya semakin bisa dengan cepat introspeksi diri dan
sadar diri. Mungkin ini semua berkat doa orang tua dan perlindungan para
Buddha-Bodhisattva pada saya. Saya juga mulai menyukai buku-buku dharma, buku
filsafat dan belajar mengambil hal-hal yang baik untuk diterapkan dalam
kehidupan saya kedepannya. Semakin lama saya semakin tertarik untuk belajar
dharma dan mulai kembali aktif ke Kelenteng untuk sembahyang.
Seiring berjalannya waktu kalau
tidak salah pada tahun 2000-an saya berhenti kerja dan mulai usaha
kecil-kecilan untuk mencari pengalaman dan berkeinginan untuk bisa lebih maju
lagi. Dikarenakan kesibukan kerja, saya kembali jarang sembahyang ke Kelenteng
tapi di dalam hati ada semacam dorongan untuk memiliki Altar Dewa supaya tetap
bisa sembahyang walau tidak bisa datang ke Kelenteng. Setelah direncanakan
dengan matang akhirnya saya bisa juga mendirikan Altar di rumah dengan Dewa
utamanya Dewa Hok Tek Ceng Sin dan juga Dewa Bumi dengan begitu saya bisa lebih
tenang untuk sembahyang dan apabila ada waktu setiap tanggal che it atau cap
go, saya pasti ke Kelenteng untuk sembahyang.
Sejak berdirinya Altar Dewa di
rumah, saya mulai membaca mantra terutama mantra Dewa Bumi. Setiap hari
membersihkan altar di rumah dan mengganti air minumnya sebelum tiam hio dan
baca mantra. Walau terkadang saya sibuk sampai tidak sempat beresi altar karena
buru-buru pergi kerja, biasanya ada isteri yang saya minta bantu rapikan dan
mengganti air minum walaupun isteri beragama Kristen, saya bersyukur dia tidak
fanatik dan mau menghormati serta
membantu dalam hal ini. Sering kali apabila saya ke Kelenteng untuk sembahyang,
isteri mau menemani saya walaupun dia tidak ikut masuk ke dalam dan hanya
menunggu diluar saja.
Suatu hari entah kenapa isteri saya
mulai tertarik berkenan untuk tiam hio seperti mulai ada panggilan hati untuk
sembahyang. Dalam hati saya sebenarnya senang juga kalau bisa satu hati dan
satu keyakinan walau tidak harus dipaksakan dan biarkan semuanya berjalan
secara alami dan berdasarkan jodoh dan panggilan hati, menurut saya itu lebih
baik dari pada terpaksa yang pasti berakhir dengan kekecewaan.
Tak disangka berawal dari berdiri
altar di rumah membuat karma jodoh isteri saya dengan para Buddha-Bodhisattva
tersambungkan dengan terjadinya kontak batin dan mendapatkan
bimbingan-bimbingan dari para Dewa. sampai dengan petunjuk untuk menulis buku
Dharma. Ada ungkapan sederhana, Hidup itu aneh penuh dengan misteri. Orang
tidak akan mengetahui apa yang akan terjadi besok. Begitu juga dengan perjalanan hidup ini.
Belakangan ini bimbingan-bimbingan,
petunjuk-petunjuk, amanat yang diturunkan semakin lama semakin gencar dari
membimbing orang, menjalankan upacara-upacara, meditasi, ritual-ritual
penyebrangan, konsultasi, penyembuhan sakit khususnya santet dan guna-guna,
juga menulis buku, perjalanan spiritual kemana-mana sampai mendirikan Cetya
yang terakhir berubah menjadi Vihara dengan setumpuk kegiatan-kegiatan dharma.
Supaya lebih konsentrasi di dalam
menjalankan tugas-tugas pembinaan dirinya secara spiritual dan lebih
konsentrasi dalam pembabaran dharma, untuk kegiatan operasional Vihara
dialihkan kepada saya. Saya sama sekali tidak pernah terpikirkan dalam benak
saya menjadi Ketua Vihara, bukanlah cita-cita saya, kalau melihat perjalanan
hidup saya, saya merasa tidak mungkin bisa menjalani jalan dharma apalagi
mendirikan Vihara. Semua berjalan begitu saja dan sepertinya perjalanan hidup
saya sudah diatur, dan saya mencoba menjalani saja dengan baik setiap hal yang
terjadi dalam kehidupan saya sekarang ini, dan membiarkan semua berjalan
seperti air walaupun tidak semuanya berjalan dengan mulus dan lancar, ada saja
yang datang menghadang dan merintangi, ada kalanya kita diberondong oleh berbagai
macam isu dan fitnahan atau masalah-masalah umat yang belum paham jalan dharma.
Adakalanya ketika kita harus sendiri
menjalani tugas dari vihara, tak ada yang memperhatikan. Segala sesuatunya
dikerjakan sendiri. Tak ada teman untuk berbagi; tak ada teman untuk bercanda
dan bergurau. Tak ada teman untuk saling memotivasi. Yang ada adalah
kesendirian dan kesepian. Saat menghadapi situasi seperti ini, Apa yang harus
kita lakukan dalam keadaan seperti ini? Kalau berpegang pada kekuatan sendiri
dalam menghadapi tantangan-tantangan maka kita tidak akan kuat, tapi kalau
berpegang pada para Buddha-Bodhisatva, kita akan menjadi semakin kuat. Karena
itu walaupun tugas berat dan sulit, saya berusaha tidak takut pada segala
cobaan, ujian dan tidak putus asa karena rintangan yang bertubi-tubi. Yang
terpenting, disaat masa sulit saya selalu berdoa minta diberi kekuatan untuk
bisa menghadapi dengan tegar walau dengan segala kelemahan dan kesedihan. Para
Buddha-Bodhisattva pasti mengasihi dan
menyayangi dan senantiasa bersama saya disaat sulit, itulah keyakinanku.
Beruntung sekali sekarang banyak dukungan yang saya dapatkan dalam mengemban
tugas dharma ini, orang tua, abang dan kakak ipar, umat sedharma semuanya
mendukung dan memberi support yang sangat besar pada saya. Membuat saya semakin
mantap, yakin dan teguh menjalani semua ini dan setulus hati membantu V.A.
dalam menjalankan amanat dari para Buddha-Bodhisattva.
Mendapatkan nama Dharma dan terpilih
sebagai calon Dharmaduta Vihara mewakili Guru saya Chi Thien Tha Sen Fo dalam
membabarkan Dharma, membuat saya semakin terpacu untuk berbuat banyak kebajikan
dan terus berusaha merubah diri semakin lebih baik lagi. Agar segala yang saya
perjuangkan selama ini bersama dengan V.A., bisa memberikan kebaikan dan
kebahagiaan bagi semua insan dan semua makhluk.
- Om. Chi Thien Tha Sen Fo . Cu Cen
Cin . Soha -
Ketika
Matahari terbit, tiada fajar yang memerah.
Ketika
Bulan bersinar, tiada cahaya putih menyinari.
Semuanya
kelam, kelabu tiada Cahaya Bahagia.
Tertutup
kelamnya hati dan gundahnya kehidupan.
Tiada
sesuatu yang perlu dikhawatirkan.
Hidup
ini hanyalah sementara.
Jangan
dicari dan jangan dipaksakan.
Ada
dan tiada sama saja. Tak perlu terlalu dipikirkan.
Semua
akan kembali ke alam.
KARUPA
SAMDIBYA
Sejak kecil saya sudah beragama Buddha, karena kakek, nenek dan orang
tua semua beragama Buddha. Semasa kecil saya sering (diajak) dibawa ke Vihara,
seperti umumnya anak-anak, disana hanya bermain-main saja. Menginjak remaja
sudah jarang ke Vihara, waktu itu masih tinggal di daerah.
Sewaktu memutuskan merantau ke
Jakarta, orang tua berpesan supaya rajin sembahyang. Di Jakarta ada Vihara yang
dekat tempat tinggal saya yang sudah terkenal, saya sembahyang di sana saat che
it, cap go dan ulang tahun Dewi Kwan Im dengan memasang dupa dan persembahan
buah tanpa adanya pembacaan Mantera dan Sutra.
Sesudah berkeluarga, kegiatan
sembahyang ke vihara tersebut tetap saya jalani bersama isteri, karena rumah
kami tidak ada altar sembahyang. Entah kenapa saya merasa kegiatan sembahyang
yang dilakukan selama ini sepertinya kurang lengkap tanpa adanya pembacaan
Sutra, hal itu saya utarakan pada isteri.
Selang beberapa minggu kami
berkunjung ke rumah adik, diceritakan bahwa isterinya sudah menjapa Mantera dan
mendapatkan bimbingan dari para Dewa dan bisa berkontak batin. Setelah mengetahui hal itu kamipun meminta
saran tentang keinginan tersebut, disarankah menjapa mantera dan sutra dan
kamipun mulai menjapa mantera dan sutra tetapi belum rutin. Setiap kali kami
berkunjung ke rumah adik, kami melihat perkembangan rohani adik ipar begitu
cepat. Adik saya menceritakan bahwa para Buddha-Bodhisattva meminta agar rumah
mereka dijadikan Cetya. Mendengar itu kami sebagai keluarga turut bahagia dan
mendukung atas kepercayaan yang diberikan para Buddha-Bodhisattva pada mereka.
Setelah Cetya berdiri, kegiatan
disana belum rutin kami ikuti. Kami menyaksikan umat yang berjodoh dengan para
Dewa sudah ada yang terbangkitkan rohnya dengan bimbingan adik ipar. Kamipun
mulai sering mengikuti kegiatan yang diadakan disana. Tidak lama isteriku juga
mulai terbangkitkan rohnya, selang beberapa minggu, sayapun juga mulai
merasakan sensasi pergerakan dalam meditasi. Akan tetapi hati ini masih ada
rasa kebimbangan dalam mengikuti bimbingan para Dewa karena saya berpikir ini
bukan tujuan saya dalam bersembahyang. Dengan rutinnya ke cetya mendengarkan
ceramah Dharma, saya menjadi lebih mengerti tentang arti meditasi yang
dibimbing para Buddha-Bodhisattva.
Dua hari sebelum meninggalnya papa,
Di cetya memperingati hari Waisak. Setelah selesai upacara peringatan, adik
ipar membawa perlengkapan pemandian rupang kerumah sakit, supaya papa juga bisa
ikut memperingati dan memandikan rupang sesuai pesan dari Guru Sejati adik
ipar. Keadaan papa sangat lemah tapi sadar, sehingga kami harus membantu
memegang tangannya untuk memandikan rupang tersebut sebanyak tiga kali. Setelah
selesai memandikan rupang, papa tersenyum, adik ipar mendapat petunjuk bahwa
papa diberkati Buddha Sakyamuni dan telah mendapat nama Buddha Dharma. Kami
sekeluarga sangat terharu dan bahagia mendengarnya, merasa bersyukur dan
berterima kasih kepada para Buddha-Bodhisattva.
Menjelang meninggalnya papa, kami
sekeluarga serta sejumlah umat yang ada di rumah sakit, berdoa dan menyebut
nama Buddha Amithaba agar berkenan menjemput papa supaya bisa pergi dengan
tenang mengikuti para Buddha. Tepat pukul 3 sore papa meninggal. Waktu itu saya
berkeinginan sujud dihadapan papa, entah kenapa disaat bersujud, berusaha
menahan tangisan, tetapi airmata tetap keluar, disaat itu pula kepalaku
menengadah keatas dan melihat ada Buddha sangat besar dan dikepalaNya ada sinar
serta duduk diatas teratai, papa berjalan menuju Buddha itu dan bersujud
dihadapanNya. Setelah bersujud, papa berdiri dan berpaling kearah saya dan
melambaikan tangan dan tersenyum. Saya melihat papa tampak muda seperti orang
berumur tiga puluhan. Papa duduk disebuah teratai dengan pakaian jubah kuning
dan mengikuti Buddha tersebut pergi. (waktu itu saya bingung apa artinya) hal
itu saya ceritakan pada isteri. Tak lama kemudian adik ipar selesai meditasi,
dan mengatakan bahwa papa sudah mengikuti Buddha dan juga disebutkan nama
Buddha tersebut, dan katanya papa tampak muda, saya mengatakan bahwa tadi juga
saya melihat sama seperti itu.
Sewaktu memperingati hari ke-7
meninggalnya papa, saya melihat kedatangan papa ditemani oleh 2 Buddha.
Ciri-ciri Buddha tersebut saya ceritakan pada adik ipar, dan dia juga melihat
sama seperti yang saya ceritakan. Dikatakan juga papa akan ditemani satu Buddha
sampai hari ke-49 (kami sekeluarga menjalani api homa untuk peringatan 49 hari
meninggalnya papa sesuai petunjuk). Seperti biasa saat upacara api homa selesai
kami melakukan meditasi. Saat itu, saya melihat papa ada disamping 2 Buddha dan
sudah berpakaian dan memakai topi seperti Buddha disampingnya. Duduk diatas
teratai, melambaikan tangan dan tersenyum pada saya. Wajahnya tampak muda dan
mengikuti Buddha itu pergi. Setelah selesai meditasi, adik ipar saya berceramah
dan menceritakan hal tersebut pada para umat bahwa papa kami sudah mengikuti
jalan para Buddha. Kami sekeluarga yang mendengarnya sangat terharu karena apa
yang kami jalani sesuai petunjuk Guru Sejati adik ipar sangat membantu papa
kami terlahir di alam kebahagiaan.
Setelah papa meninggal sekitar
semingguan, saat meditasi di rumah selalu terbayang sebuah nama, saya merasa
aneh dan bertanya pada adik ipar, katanya Buddha Sakyamuni berkenan memberikan
nama buat saya, saya bersyukur dan berterima kasih atas anugerah yang
diberikan.
Dengan rutinnya ke vihara mendengar
ceramah dharma dari adik ipar, saya makin memahami dan mengerti ajaran dari
para Buddha Bodhisattva, bukan hanya sembahyang yang diutamakan, karena
sembahyang hanya untuk memperkuat keyakinan. Adik ipar menuntun dan membimbing
pelan-pelan bagaimana menghadapi kehidupan ini supaya ada perubahan ke arah
yang lebih baik bagi hidup dan memunculkan kebahagiaan di dalam diri kita
(meditasi). Sehingga tidak mengejar kebahagiaan yang ada diluar diri saja. Cara
berpikir yang benar, memandang kehidupan ini dengan benar,
mengendalikan/melatih diri untuk menghadapi kenyataan hidup, tegar menghadapi
apapun karena apapun yang ada atau yang terjadi adalah tidak kekal.
Saya jadi teringat perkataan seorang
Bhikhu bahwa dalam beragama harus mengerti dulu baru percaya, bukan sebaliknya.
Sebelumnya saya disarankan
mempersiapkan genta dan vajra oleh adik ipar untuk shadana penyatuan dengan
Bodhisattva Vajrasattva sesuai petunjuk yang diterima. Setelah selesai shadana
penyatuan denganNya, tidak lama kemudian dikabari bahwa saya dipilih sebagai
calon DharmadutaNya di Vihara Sukhavati Prajna. Pada saat peringatan Waisak di
vihara, saya beserta empat calon Dharmaduta lainnya mengangkat janji. Saya
merasa bersyukur dan berterima kasih pada para Buddha Bodhisatta yang memilih
dan membimbing saya. Semoga saya bisa membantu para Buddha-Bodhisattva
menjalankan misi-misi mereka di dunia untuk umat manusia, tentunya dengan
bimbingan dan petunjuk dari para Buddha-Bodhisattva.
- Om . Pie Ca Sa To . A Hum Phei -
AISINALI
Sebelumnya saya adalah penganut agama Buddha, ke Vihara sembahyang saat
che it dan cap go, itupun karena diajak suami saya yang taat dalam sembahyang,
bukan dari inisiatif sendiri.
Beberapa tahun yang lalu, adik ipar
saya mengalami kontak batin dengan para Dewa. Saya dan suami berkonsultasi
dengannya, disarankan agar rajin membaca mantera supaya bisa dekat dengan para
Dewa. Kami mulai membaca mantera Ta Pei Cou di rumah sesuai dengan saran
mereka, walaupun tidak setiap hari.
Semenjak rumah mereka menjadi cetya
atas petunjuk para Dewa, mulai ada kegiatan meditasi dan kebaktian, walaupun
hanya dengan cara yang sederhana saja, tapi kami masih jarang datang. Seiiring dengan berjalannya waktu, kegiatan
di cetya pasti kami ikuti tanpa terlewatkan, sepertinya ada yang kurang kalau
tidak datang.
Pada suatu kegiatan Ritual Api Homa
di Cetya, saya bertugas dibagian dokumentasi. Saat memotret kegiatan tersebut.
Tiba-tiba saya merasakan panas ditangan saya, ternyata menempel kertas bekas
bakaran untuk homa, walaupun kecil tetapi panasnya sangat terasa sekali hingga
meninggalkan tanda. Ternyata dari adik ipar, diketahui ada Dharmapala yang
berkenan memberkati. Mulai dari sana saya merasakan roh saya mulai
terbangkitkan.
Sayapun menjalani hal ini dengan
sepenuh hati, walaupun sebenarnya saya sangat awam tentang Dewa-Dewa yang
datang membimbing karena ada Dewa yang berasal dari aliran yang benar-benar
baru buat saya.
Ada saudara saya yang sudah menikah
cukup lama tetapi masih belum juga dikaruniai anak, saya sangat sedih melihat
keinginan mereka yang belum terkabulkan dikarenakan dia harus menerima karma
masa lalunya. Saya berusaha membantu walaupun cuma bisa lewat doa, saran dan
dorongan semangat agar mereka tidak putus asa berusaha. Saya sangat terharu
melihat dia mengikuti saran, petunjuk dan nasihat yang diberikan, walaupun dia
berasal dari keyakinan yang berbeda. Semua dilakukannya dengan setulus hati.
Saya yakin Buddha-Bodhisattva akan mendengar doa dan harapan kami.
Saya seperti diingatkan bahwa setiap
perbuatan yang kita lakukan pasti ada hasil yang akan kita terima, baik itu
dari kehidupan masa lalu maupun kehidupan sekarang. Melihat penderitaan dari
orang yang menjalani karma tidak baik, alangkah baiknya mulai dari sekarang
lebih banyak melakukan perbuatan baik, agar di kehidupan yang akan datang kita
bisa lebih berbahagia.
Pada upacara peringatan Waisak
pertama yang diadakan di Cetya, kami para umat diberitahu bahwa Buddha
Sakyamuni berkenan memberkati kami dan memberikan nama Buddha Dharma pada kami
yang berjodoh. Kami sangat senang mendengarnya, saya sempat bingung juga
mendengarnya, bagaimana bisa tahu sedangkan saya belum bisa berkontak batin.
Saya berpikir mungkin saya tidak termasuk didalamnya.
Hal itu sudah terlupakan, pada saat
meditasi di rumah, sepertinya ada ejaan nama dari hati. Pikiran saya itu
mungkin karena keinginan dari diri sendiri mengarang sebuah nama. Ejaan nama
itu terus ada dalam hati, saya masih belum berani mengkonfirmasikan pada adik
ipar saya, takut itu adalah keinginan. Cukup lama saya simpan sendiri, sampai
suatu hari sepertinya ada dorongan hati untuk bertanya pada adik ipar. Setelah
di cek, ternyata benar itu adalah nama Buddha Dharma saya. Terima kasih Buddha Sakyamuni
yang telah berkenan memberikan nama pada saya yang masih sangat baru dalam
membina diri. Sungguh suatu anugrah yang sangat besar bagi diri saya.
Dengan terbangkitnya roh saya dan
mendengar ceramah di cetya, saya semakin mengerti arti meditasi pergerakan,
dimana para Buddha-Bodhisattva berusaha membimbing, menuntun umat manusia agar
bisa terlahir di alam kebahagiaan dan semoga bisa mencapai ke-Buddha-an.
Cetya kecil sekarang sudah menjadi
Vihara. Umat yang datang juga semakin bertambah. Di Vihara Sukahavti Prajna
ini, kami semua datang bisa saling berbagi, saling bercanda, suasana akrab dan
kekeluargaan. Kami merasa betah bisa berlama-lama di sana, seakan sudah menjadi
rumah kedua kami.
Beberapa bulan yang lalu, saya
dikabarkan mendapat petunjuk dari Buddha Amithaba untuk bervegetarian menjelang
ulang tahun Dewi Kwan Im Pho Sat. Dan diberitahu saya dipilih olehNya untuk
menjadi calon Dharmaduta di Vihara dan saya bersedia untuk menjadi calon
Dharmaduta Vihara dalam menjalankan Dharma dan menolong semua makhluk, saya dan
empat calon Dharmaduta lainnya termasuk pengangkatan yang ke-2 saat peringatan
hari Waisak. Sungguh peristiwa yang sangat berarti. Semoga saya bisa menjadi
pilihan yang tidak mengecewakan dan bisa menjalankan amanat yang dipercayakan
olehNya, tentunya dengan bantuan dan bimbingan para Buddha-Bodhisattva.
- Om . A Mi Te Wa . Sie -
MAHA
DHARANI
Sebelum saya berjodoh dengan Vihara Sukhavati Prajna, saya sering
sembahyang ke Vihara-vihara yang lain, tapi selama saya sembahyang ataupun
pujabakti di tempat itu, saya tidak merasakan apa-apa, biasa-biasa saja.
Akhirnya saya tidak pernah pergi lagi ke vihara untuk sembahyang maupun
pujabakti, karena saya merasa sangat malas sekali.
Saya banyak mengalami kesulitan,
selalu saja ada pertengkaran di dalam rumah, ribut mengenai anak dll. Saat itu
emosi saya sangat tinggi, kalau tidak senang saya bisa marah berhari-hari, saat
itu saya selalu berpikir kalau saya yang benar.
Saya banyak sekali mengalami cobaan
hidup, saya merasa hidup di dunia banyak penderitaan, masalah datang satu
persatu, saya pendamkan semua itu di hati, karena itu emosi saya selalu tidak
bisa terbendung.
Suatu hari, teman saya memberikan
sebuah buku kepada saya, yang ditulis oleh V.A. Sukhavati Prajna, saat itu saya
tidak tertarik sama sekali untuk membacanya, entah kenapa setelah beberapa
bulan hati saya sepertinya terdorong untuk membaca buku tersebut, jadi saya
membaca buku itu. Semakin dibaca saya tertarik dan saya baca sampai selesai.
Dengan segera pula saya ingin bertemu dengan V.A. Sukhavati Prajna.
Saya bersama anak saya pergi untuk
mencari tempatnya, anehnya saya tidak bisa menemukannya waktu itu padahal
tempat tinggal saya dekat dengan Vihara Sukhavati Prajna. Akhirnya saya bisa
menemukan tempat tersebut dari teman saya, dan mengetahui jadwal kegiatan
Vihara tersebut.
Pada hari Selasa dan Jumat, sayapun
mulai datang untuk Pujabakti dan Meditasi, walaupun pertama kali saya merasa
bingung dan belum terbiasa, tapi sepertinya saat berada di Vihara tersebut saya
merasa tenang.
Sewaktu pertama kali saya
berkonsultasi dengan V.A. Sukhavati Prajna, Beliau mengatakan kalau aura saya
gelap dan belum ada Dewa yang berjodoh atau dekat dengan saya, dan saya disuruh
untuk banyak membaca mantera Dewa Bumi.
Sayapun mengikuti perkataan Beliau
dan mulai rajin membaca mantera tersebut setiap hari, sampai-sampai dalam satu
hari saya bisa membaca sampai 3x putaran japamala. Sayapun jadi sangat rajin
sembahyang dirumah dan rajin bershadana dan bermeditasi. Waktu itu pula saya
selalu ikut teman saya kemanapun dia pergi menjalankan tugas yang diberikan
Buddha-Bodhisattva, dan hari-hari saya mulai saya jalani dengan sangat enjoy
dan bahagia, perlahan saya mulai meredam emosi, karena setiap mendengar ceramah
V.A. Sukhavati Prajna, saya berusaha mengikutinya dan berjalan sesuai ajaran
Buddha-Bodhisattva.
Suatu hari saya terbangkitkan roh,
hal ini semakin membuat saya bersemangat dalam pembinaan diri. Dan kesulitan
yang saya alami mulai berangsur-angsur membaik atas bimbingan
Buddha-Bodhisattva. Dengan cepatnya pula saya bisa berkontak batin dengan
Buddha-Bodhisattva dan para Dewa. Waktu itu saya sempat bingung, apa benar yang
saya alami ini. V.A. Sukhavati Prajna berkata kalau memang para
Buddha-Bodhisattva sudah berkenan membimbing saya. Dengan berjalannya waktu,
satu persatu Buddha-Bodhisattva, Dharmapala datang membimbing. Tidak lama
kemudian saya mendapat petunjuk nama Buddha Dharma yang diberikan oleh Buddha
Sakyamuni. Sejak saat itu, apabila saya mengalami kesulitan baik itu masalah
rumah tangga ataupun yang lainnya, saya selalu mencurahkannya kepada
Buddha-Bodhisattva, dan jalan hidup saya semakin lebih baik lagi. Jika saya
melakukan kesalahan sedikit saja jika tidak menyadarinya, disaat shadana dan
meditasi, saya selalu diberi nasihat dan bimbingan agar jangan berbuat seperti
itu. Jika saya merasa bersedih, selalu saja saya dihibur.
Kadang saya berpikir apa itu benar?
tapi kenyataannya memang benar. Memang terkadang kita selalu bingung apa yang
telah terjadi dengan kita, tapi itu benar semuanya, karena saya mengalami
sendiri, jika saya tidak mengalaminya, sayapun sangat sulit untuk
mempercayainya.
Tapi dalam pembinaan diri, sayapun
harus melewati ujian, apakah saya bisa melewatinya atau tidak. Ujian bisa
datang dari keluarga sendiri ataupun teman. Jika bisa melewati ujian tersebut,
pembinaan diri juga mengalami kenaikan tingkat.
Seiring berjalannya waktu, sayapun
terpilih menjadi calon Dharmaduta Vihara Sukhavati Prajna sebagai wakil
Kalacakra Vidyaraja. Dan Kalacakra Vidyaraja juga adalah Guru Sejati saya.
Beliaulah yang setiap hari datang membimbing, menjaga dan melindungi saya dan
keluarga.
Pengalaman saya dalam kehidupan dan
pembinaan diri, membuat saya mengerti bahwa kita seharusnya berusaha meredam
emosi dan selalu berbuat sesuatu sesuai ajaran Buddha-Bodhisattva, maka kita
akan selalu diberi jalan yang benar, bersyukur dan menyerahkan segalanya kepada
Buddha-Bodhisattva, maka kita akan mendapatkan hal yang terbaik dalam hidup
kita. Percayalah Buddha-Bodhisattva akan selalu menolong kita.
- Om . Ha . Ka Ma La . Wa La Ya .
Soha -
GAUTAMI
SHENGMU
Sebelum saya mengenal Vihara Sukhavati Prajna, saya adalah manusia yang
tidak tahu tentang Dharma. Sampai suatu hari saya merasakan sakit luar biasa
dan mencoba pergi berobat, tapi tidak juga sembuh. Setelah itu ada seorang
teman memberitahukan bahwa di sekitar rumahnya ada seorang yang suka memberi
pertolongan tanpa pamrih, kemudian saya mengajak suami pergi kesana dan bertemu
dengan V.A. Sukhavati Prajna, Beliau mengatakan bahwa saya harus melatih
meditasi agar sakit kaki saya bisa sembuh. Lalu saya bertanya mengenai rupang
Dewi Kwan Im yang ada dirumah saya, Beliau mengatakan kalau rupang tersebut
tidak ada auranya dan menyarankan agar disimpan dulu, tapi suami saya tidak mau
rupang itu disimpan jadi saya ikuti keinginan suami saya.
Namun sakit kaki yang saya alami
semakin terasa sakit, teman memberitahu kalau ada tukang urut yang pintar, tapi
setelah ke sana sakit kaki saya tetap tidak sembuh juga. Akhirnya saya kembali
menemui V.A. dan Beliau memberikan jawaban yang sama pada saya dan saya tetap
tidak melaksanakan yang dikatakan Beliau.
Suatu hari Vihara Sukhavati Prajna
yang waktu itu masih berupa Cetya sedang diresmikan, Ketua Cetya datang
memberikan undangan kepada saya, tapi saya tidak hadir pada acara itu karena
tidak mau tutup toko, karena saya merasa belum begitu mengenal Cetya waktu itu.
Sampai suatu hari suami saya pergi
ke Cetya bersama temannya ikut pujabakti, setelah pulang dia memberitahukan
pada saya tentang keadaan di cetya itu, dia merasa aneh dengan orang-orang di
cetya yang ada pergerakkan yoga saat meditasi, mendengar perkataan suami, saya
menjadi penasaran. Di hari pujabakti berikutnya saya datang ke Cetya juga, dan
memang sempat membuat saya merasa aneh, karena belum pernah melihat pergerakan
yoga selama ini. Tapi di hari-hari pujabakti selanjutnya saya kembali ikut. Setelah
beberapa kali datang mengikuti pujabakti, entah kenapa tangan sayapun menjadi
bisa bergerak-gerak. Kali ini saya merasa aneh pada diri saya sendiri, tapi
saya tetap pergi pujabakti di Cetya dan mulai bermeditasi dirumah. Walaupun
awalnya ada perasaan takut, tapi saya mencoba menjalankan petunjuk V.A. secara
perlahan dan terus menerus.
Sampai suatu kali saya mengundang
V.A. untuk datang melihat rupang Dewi Kwan Im di rumah saya, setelah Beliau
melihat rupang tersebut ternyata rupangnya sudah ada auranya, berbeda dengan
sebelumnya, dan Beliau menyarankan untuk menambah 2 rupang lagi yang berjodoh
dengan saya.
Setelah saya membeli 2 rupang yang
disarankan, sayapun memesan altar sembahyang yang baru karena altar lama lebih
kecil sehingga tidak bisa untuk meletakan 3 rupang di atasnya. Saya meminta
bantuan teman saya untuk menunggu altar yang baru diantar, karena saat itu
suami saya sedang pergi keluar kota. Setelah altar baru sampai dirumah, saya
memberikan altar lama kepada teman yang membantu saya itu.
Setelah mengganti altar baru dan 3
rupang telah dinaikan dan diberkati oleh V.A., saya semakin rajin bershadana
dan meditasi setiap hari. Semakin hari, saya semakin peka dengan perubahan aura
sampai akhirnya saya bisa bertelepati dengan Budha-Bodhisattva dan para Dewa.
Suatu hari saya mendapatkan petunjuk
untuk pergi ke suatu Vihara di Tangerang, saya pergi bersama teman ke sana.
Saya ke vihara tersebut untuk memberi penghormatan dan bermeditasi sesaat lalu
pulang.
Semakin rajin menjalankan pembinaan
diri di cetya, saya merasa semakin nyaman dan tenang saat berada di cetya,
setiap pujabakti saya selalu hadir bersama anak-anak dan keponakan saya. Dan
selanjutnya saya mendapatkan petunjuk-petunjuk berikutnya dari para
Buddha-Bodhisattva untuk pergi mengunjungi vihara-vihara. Dan saya berusaha
untuk bisa menjalani petunjuk tersebut, entah kenapa suami saya juga tidak
keberatan untuk selalu mengantar saya pergi.
Tapi suatu kali saya menjalankan
petunjuk tanpa didampingi suami, karena dia sedang pergi keluar kota. Saya
memutuskan untuk pergi bersama teman-teman saya dengan mengendarai motor. Tapi
saya melihat STNK motornya tidak ada karena terbawa oleh suami saya keluar
kota. Saat itu saya berpikir, jika saya harus pergi mengendarai motor tanpa ada
STNK, saya percaya Buddha-Bodhisattva pasti akan melindungi saya dalam
perjalanan. Dan benar saja perjalanan saya pergi bisa lancar dan sempurna.
Semakin lama saya mulai menjalankan
shadana penyatuan dengan para Buddha-Bodhisattva, satu persatu Mereka menyatu
dengan saya dan membimbing saya.
Suatu kali saya mendapatkan petunjuk
untuk pergi ke Vihara di Lembang Bandung, saya mengajak suami untuk pergi ke
sana. Saya saat itu tidak tahu jelas
dimana letak vihara yang ditunjuk Buddha-Bodhisattva, mungkin karena saya agak
ragu dan tidak yakin dengan perjalanan kali ini, saya sempat mendapat petunjuk
arah yang salah, sehingga kami harus nyasar masuk ke perkampungan.
Saat itu saya takut suami marah,
tapi ternyata tidak. Membuat hati saya lega, dia malah turun dan bertanya
kepada orang sekitar. Tapi semakin banyak bertanya pada orang yang kami temui
letak vihara yang kami cari, kami malah semakin kesasar dan tidak menemukan vihara
tersebut. Hampir saja membuat kami putus asa. Akhirnya tanpa bertanya lagi pada
orang, kami terus saja berjalan dan menemukan vihara yang besar dan memutuskan
untuk masuk saja ke dalam vihara itu, ternyata vihara yang tidak sengaja kami
masuki itulah vihara yang ditunjuk. Lega rasanya, kami mendapatkan pengalaman
berharga dalam perjalanan kali ini.
Disamping menjalankan tugas dan
petunjuk, saya juga harus mengalami ujian dalam pembinaan diri. Suatu kali saya
ditelpon oleh seseorang yang marah-marah dan memaki-maki saya lewat telpon
karena salah paham. Membuat saya bingung sendiri, esok harinya saya mencoba
menghubungi orang tersebut, tapi saya malah semakin dicaci-maki, saya mencoba
meminta maaf walaupun tahu saya tidak bersalah, karena saya memandang orang itu
sudah jauh lebih tua dari saya. Tapi saat saya meminta maaf dia tidak mau
terima malah menutup telepon dengan keras. Saya pikir sudah selesai sampai
disitu, ternyata dia masih telpon saya dan kembali memaki saya. Saya mencoba
bersabar dan kembali meminta maaf padanya.
Sayapun heran, kenapa kali ini saya
bisa sabar dan mau minta maaf pada orang walaupun saya tahu tidak bersalah.
Padahal dulu saya orang yang pemarah dan emosional. Sejak membina diri saya
merasa banyak perubahan dalam diri saya, saya merasa beruntung mendapatkan
bimbingan dari para Buddha-Bodhisattva dan berterima kasih pada Cetya yang
telah membuka jalan untuk kami.
Saat hendak mendapatkan nama Buddha
Dharma, saya harus pergi ke sebuah Vihara di daerah Bogor. Karena kurangnya
konsentrasi dalam meditasi, membuat saya sedikit ragu dengan nama Buddha Dharma
yang saya dapatkan, akhirnya saya mencoba mengkonfirmasikan pada V.A. mengenai
nama Buddha Dharma saya itu, dan Beliau memberitahukan bahwa nama Buddha Dharma
saya adalah Gautami Shengmu.
Saya sangat bersyukur atas berkah
yang diberikan Buddha Sakyamuni, walaupun kehidupan masa lalu dan masa kecil
saya begitu penuh dengan penderitaan, kesedihan dan airmata, tapi saya
bersyukur bisa kuat menghadapi semua cobaan. Setelah Dewasa saya mencoba
merantau di Jakarta, tapi bukan kebahagiaan yang kudapatkan, melainkan
penderitaan dan kesedihan. Saya berusaha untuk bisa menjalani hidup ini, karena
saya adalah tulang punggung keluarga walaupun saya seorang wanita, saya
berusaha terus giat bekerja dan bekerja serta tidak pernah mengeluh.
Cobaan demi cobaan datang dalam
kehidupanku waktu itu, kesedihan demi kesedihan harus kualami saat itu.
Kehilangan mama sangat membuat saya sedih karena belum sempat membuatnya
bahagia. Setelah 3 tahun meninggalnya mama, saya baru berjodoh dengan Cetya
yang sekarang telah menjadi Vihara. Saya mencoba menjalankan pembinaan diri,
karena setelah menjalani ini saya merasakan ketenangan yang tidak saya temukan
dimanapun.
Saya sempat merasa sedih juga karena
kakak laki-laki saya meninggal dunia, kami hanya 3 bersaudara saja. Waktu itu
saya sempat bertanya pada V.A. mengenai keadaan kakak saya itu, tapi V.A. tidak
menjawab dengan terus terang, mungkin karena Beliau sudah tahu kalau tidak ada
harapan tapi tidak mau membuat saya bersedih. Beliau hanya menyarankan pada
saya untuk melakukan kebaikan untuk dilimpahkan pada kakak saya itu. Dan
akhirnya kakak sayapun meninggal juga.
Saya menumpahkan kesedihan saya
dihadapan altar para Buddha-Bodhisattva, memohon perlindungan untuk kakak saya
itu. Karena saya tahu semasa hidupnya, dia hanya menjalankan aktifitasnya
sebagai orang awam pada umumnya dan dia belum sempat berjodoh melatih diri
seperti saya, sehingga tidak bisa menghadapi hutang karmanya. Karena saya baru
memahami bahwa, hanya diri sendiri yang bisa menyelamatkan, segala perbuatan
manusia baik perbuatan baik ataupun jahat, maka manusia itu sendiri yang akan
menanggung karmanya. Saat ini saya hanya bisa berusaha selalu berbuat kebaikan
untuk dilimpahkan padanya agar dia bahagia di Alam Sukhavati.
Sampai akhirnya saya terpilih
menjadi calon Dharmaduta Vihara Sukhavati Prajna mewakili Buddha Sakyamuni
dalam membabarkan Dharma, saya semakin introspeksi diri dan belajar untuk
merubah diri menjadi lebih baik serta bisa memberikan manfaat untuk semua insan
dan semua makhluk.
Terima kasih saya kepada para
Buddha-Bodhisattva, V.A. Sukhavati Prajna, Ketua Vihara. Semoga Vihara
Sukhavati Prajna semakin berkembang.
- Na Mo. Sa Man To Mo To Nam . Pho -
WARNA
SUKMA KAPPA
Saya adalah seorang anak yang terlahir beragama Kong Hu Cu, kami
sekeluarga hanya mengerti sembahyang leluhur saja. Dulu agama Kong Hu Cu sama
dengan agama Buddha, tapi kami sekeluarga tidak pernah ke vihara, karena
ditempat kami tinggal tidak ada vihara ataupun kelenteng, jadi keluarga saya
hanya sembahyang dirumah atau dikuburan, itupun hanya dihari-hari tertentu
saja, setahun kurang lebih hanya 4 kali sembahyang.
Waktu di sekolahpun saya tidak
pernah belajar agama Buddha, saya malah harus belajar agama lain, karena di
sekolah kami adalah Sekolah Negeri, jadi mau tidak mau harus belajar agama yang
dipelajari di sekolah itu, jadi saya benar-benar tidak mengerti sama sekali
ajaran Buddha.
Sampai saya sudah Dewasa dan
bekerja, saya tidak pernah terpikirkan mau ke vihara, karena dilingkungan saya
bekerja memiliki kepercayaan yang berbeda-beda dan memang saat merantau ke
Jakarta, saya hanya mempunyai tujuan bekerja dan mencari uang yang banyak.
Lebih-lebih lagi, disamping tidak pernah beribadah di Vihara, saya pada waktu
itu suka berbuat hal-hal yang tidak baik. Sampai saya sudah mempunyai isteri
dan anak saya tidak juga berubah menjadi baik.
Dulu awalnya saya hanya iseng-iseng
ikut teman saja, tapi lama kelamaan saya malah terperosok semakin dalam. Apa
yang saya lakukan selama ini, sudah banyak menyusahkan isteri, anak dan diri
sendiri, tapi entah kenapa saya tidak terpikir untuk sadar diri, malah semakin
hari semakin jadi saja.
Apapun saya lakukan untuk bisa
menjalankan apa yang saya sukai waktu itu, sampai membohongi isteri, malas
kerja, main seharian, dll. Saya tidak
merasa puas jika apa yang sudah hilang dari diri saya belum juga kembali dan
tidak memikirkan keadaan keluarga lagi.
Sampai suatu kali, saya mengalami
kejadian yang paling menyedihkan dan memalukan dalam hidup saya, saya
benar-benar terpojok dan tidak tahu harus berbuat apa saat itu, hidup pun tidak
tenang rasanya, karena selalu dikejar-kejar orang.
Sejak kejadian tersebut, saya agak
sedikit tersadarkan dan bersyukur karna isteri saya sabar menghadapi kelakuan
saya. Hanya saat itu saya sudah habis-habisan tidak punya apa-apa lagi, sampai
motorpun tidak ada untuk kerja. Tapi saya mencoba bangkit kembali walau harus
kerja dengan berjalan kaki, karena tidak lama kemudian ada teman saya meminjamkan
motornya untuk bisa saya pakai kerja.
Perlahan kehidupan saya dan keluarga
kembali pulih dari keterpurukan, tapi kehidupan benar saya itu tidak
berlangsung lama, karena saya tidak punya iman dan agama yang kuat, sehingga
saya jadi seperti pohon yang tidak punya akar, diterpa angin kencang langsung
roboh, akhirnya saya jatuh lagi ke dalam lubang yang sama, dan kali ini lebih
parah dari sebelumnya, karena kesukaan saya pada hal yang tidak baik sebelumnya
menjadi bertambah yang lain lagi. Uang hasil usaha saya tidak pernah kelihatan,
karena selalu saya gunakan untuk berbuat hal yang tidak baik. Untungnya saya
berjodoh kuat dengan para Buddha-Bodhisattva, jadi saya dipertemukan dengan
seorang teman (Ketua Vihara) yang bisa menuntun saya ke vihara.
Setiap che it dan cap go, teman saya
itu selalu mengingatkan saya untuk sembahyang ke vihara, waktu itu kadang saya
mengikuti sarannya, tapi kadang tidak saya ikuti, karena waktu itu saya kurang
mengerti cara sembahyang yang benar, saya cuma tahu sembahyang minta kesehatan,
rezeki dan keselamatan.
Kadang saya suka bingung sendiri
cara bersembahyang, kadang juga malas. Saya berpikir buat apa saya sembahyang
dan apa manfaatnya, karena saat itu saya lebih suka berhura-hura saja. Saya
benar-benar bodoh dan dibutakan dengan loba dan moha.
Suatu hari saat saya mampir ke rumah
V.A., yang waktu itu belum menjadi Cetya. V.A. pernah memberitahukan kehidupan
masa lalu saya, katanya saya punya karma jodoh dengan Kwan Im Pho Sat.
Kehidupan lalu, saya adalah seorang pengusaha yang kaya raya dan mempunyai
altar Dewa sendiri di rumah, tadinya saya rajin bersembahyang. Tapi lama
kelamaan saya mulai berjalan menyimpang dan mempergunakan kekayaan saya itu
untuk bersenang-senang saja, sehingga suatu kali saya mengalami bangkrut dan
hidup susah. Saya sangat marah dan melampiaskan kekecewaan dan amarah saya
kepada para Dewa. Kwan Im Pho Sat sangat memperhatikan saya, dan ingin agar
saya bisa tersadarkan dan kembali ketempat asal saya, menyarankan agar saya mau
mendekatkan diri kepada Kwan Im Pho Sat. Itulah cerita kehidupan masa lalu saya
yang diketahui oleh V.A.
Waktu itu saya tidak percaya dan
tidak menghiraukan perkataannya. Tapi untungnya teman saya tidak ada
bosan-bosannya mengingatkan saya, sampai dia membangun cetya dirumahnya, diapun
tetap tidak lupa dengan saya, saat peresmian cetya dia mengundang saya datang
dan saya membantu, tapi selesai acara saya langsung buru-buru pulang karena
sudah punya janji dengan teman lain yang mengajak bersenang-senang.
Tapi saya beruntung punya isteri dan
anak yang rajin mengajak saya ke cetya untuk ikut kebaktian dan meditasi, waktu
itu saya memang ikut pergi tapi pikiran saya belum benar-benar terbuka. Walau
tiap selasa dan jumat ikut kegiatan di cetya, tapi di hari-hari lain saya masih
melakukan perbuatan yang tidak baik di tempat lain.
Sampai suatu kali, roh saya
terbangkitkan. Saya mulai peka terhadap kehadiran Buddha-Bodhisattva dan
Dharmapala. Saya mulai mendapatkan bimbingan dan beryoga dengan Mereka,
sehingga sedikit banyak telah bisa menghilangkan kebiasaan buruk dalam diri
saya. Dan yang lebih membuat saya semakin tersadarkan adalah disaat suatu kali
saya mencoba berbohong pada isteri saya, mengatakan padanya kalau saya sedang
membereskan pekerjaan karena harus segera dikirim, tapi sebenarnya saya pergi
dengan teman-teman saya. Saat itu isteri saya menelpon hp saya beberapa kali,
tapi saya tidak mengangkatnya dan saya menonaktifkan hp saya supaya isteri saya
tidak bisa menghubungi saya.
Tapi entah kenapa, hp saya bisa
aktif dan dengan sendirinya menghubungi hp isteri saya, sehingga isteri saya
tahu kalau saya sudah berbohong. Dan kali ini dia marah besar dan akhirnya saya
minta maaf dan berjanji tidak akan mengulanginya dan akan meninggalkan semua
kegiatan saya yang tidak baik tersebut.
Yang membuat saya bingung adalah,
kenapa hp saya yang dimatikan bisa menelpon. Saya berpikir kembali, mungkin ini
adalah mujizat dari para Buddha-Bodhisattva dan Dharmapala, dan merupakan salah
satu bentuk perhatian dan perlindungan Mereka untuk saya, isteri dan keluarga
saya. Sejak hari itu saya benar-benar tersadarkan.
Saat ini saya sudah aktif di Vihara
dan telah bertobat dihadapan para Buddha-Bodhisattva. Jika bukan karena karma
jodoh saya dengan Kwan Im Pho Sat, mungkin saya tidak bisa keluar dari
perbuatan saya yang tidak baik tersebut dan tidak bisa berjodoh dengan Dharma
Buddha. Hingga terpilihnya saya menjadi calon Dharmaduta Vihara dan menjadi
wakil Kwan Im Pho Sat dalam membabarkan Dharma Buddha, saya semakin sadar dan
terus berusaha merubah diri menjadi lebih baik lagi.
- Om . Mani Padme Hum -
WEN
ZHU
Saya terlahir dari keluarga penganut kepercayaan Kong Hu Cu, saya anak
ke-2 dari 3 bersaudara. Dulu saat saya bersembahyang dan memegang dupa hanya
satu tahun sekali saja, itupun hanya sembahyang untuk leluhur.
Pada saat saya berusia 14 tahun saya
pernah masuk satu aliran agama, itupun secara sembunyi-sembunyi dan tidak tau
kenapa orang tua saya melarang saya masuk aliran agama tersebut.
Pada saat saya merantau ke Jakarta,
sayapun pernah ke salah satu tempat ibadah, karena mantan pacar saya yang
sekarang sudah menjadi suami yang mengajak saya kesana.
Tapi tidak tahu kenapa, saya merasa
tidak ada yang menetap dihati.
Kehidupan sehari-hari saya penuh
dengan keduniawian, dulu saya bertemu dengan seorang teman yang sering mengajak
saya dan suami saya sembahyang di Kelenteng, walaupun setiap che it dan cap go
kami sering sembahyang, tapi tidak ada perubahan apapun dalam hidup kami, malah
semakin hari saya semakin tenggelam dalam keduniawian demi mencari kebahagiaan
yang tidak kunjung habisnya. Semakin saya kejar kebahagiaan itu, semakin tidak
saya dapatkan. Hidupku yang dulu penuh dengan kesalahan, sampai saya berjodoh
dengan ajaran Buddha, ini berkat teman saya juga. Saya yang awalnya tidak
mengerti dengan ajaran Buddha, merekalah yang menuntun kami sehingga kami bisa
sedikit banyak memahami ajaran Buddha.
Dulu sebelum terbentuknya cetya di
rumah teman kami tersebut, mereka sering mengundang kami jika ada ritual
ibadah. Tapi waktu itu hanya suami saya yang sering hadir sedangkan saya masih
malas untuk mengikuti acara seperti itu. Sampai terbentuknya cetya, mereka
mengundang kami lagi saat peresmian, itupun saya belum mengikuti pujabakti dan
masih bingung membaca mantera dan sutra. Setelah beberapa lama saya sudah mulai
mengikuti pujabakti di cetya.
Setelah beberapa lama ikut puja
bakti, roh saya terbangkitkan dengan sendirinya, sejak itu saya mulai mengalami
perubahan hidup, saya mulai membuang sifat buruk saya, yang dulunya tidak bisa
mengendalikan emosi dll. Saya sangat bersyukur dapat bertemu dengan Guru Roh
sejati saya, yang setiap hari selalu membimbing saya ke jalan yang benar dan
Beliau selalu menasihati saya jika ada kesalahan yang saya lakukan.
Pengalaman berkesan saya alami
ketika mengikuti perjalanan spiritual ke Yogyakarta, ketika sampai di tempat menginap
dan sudah kelelahan saya dan keluarga tertidur, tapi belum lama tertidur saya
bermimpi sangat jelas dan membuat saya ketakutan. Karena dimimpi tersebut, saya
melihat seakan suami yang sedang tidur disamping saya terbangun dan melihat
saya, saya langsung terbangun dan melihat suami saya masih tertidur pulas
disamping. Mendadak perasaan saya tidak enak dan tidak bisa tidur lagi, saya
membangunkan suami untuk menemani saya yang terbangun, tapi karena dia terlalu
lelah sehingga kembali tertidur, dan diapun mengalami mimpi buruk saat itu.
Saya mencoba membaca mantera hati Guru Sejatiku terus menerus sampai saya
tertidur.
Saya langsung merasakan bahwa, kamar
saya ini ada sesuatu, saya menceritakan apa yang saya alami semalam pada teman
saya, setelah dilihat ternyata benar kamar yang saya tempati itu “kotor”.
Sehingga untuk sementara waktu kamar tersebut dibuatkan perlindungan agar kami
tidak terganggu waktu tidur. Dan benar saja, dimalam kedua kami menginap, kami
sudah bisa tidur dengan nyaman.
Dalam perjalanan kembali ke Jakarta,
kami mampir ke salah satu Vihara di Semarang. Saat memasuki Vihara itu saya
merasa tidak nyaman, tapi tidak tahu apa sebabnya. Setelah kami semua keluar
dari vihara itu, teman saya baru memberi tahu kalau Vihara itu “kurang bersih”.
Ini pengalaman bagi saya, karena saya sudah mulai mengerti perbedaan suatu
tempat, ternyata tidak semua Vihara itu “bersih”.
Sekali waktu saya sempat tidak lulus
ujian dan goyah. Saat saya membina diri, saya merasa begitu banyak ujian yang
harus saya hadapi. Mulai dari kurangnya dukungan dari orang terdekat, emosi dan
tidak bisa mengatasi kesenangan duniawi dll. Gagal dalam ujian karena orang
terdekat sehingga menimbulkan kekotoran batin saya. Sejak saat itu saya mulai
malas bershadana, karena saya merasa disaat saya ingin berbuat baik, malah
banyak masalah yang datang menghampiri dan saya tidak bisa menghadapinya.
Saat saya mengalami kekotoran batin,
saya tidak lagi merasakan kehadiran Guru Sejati, hari-hari saya kembali seperti
dulu, saat itu saya sudah berpikir telah gagal dalam pembinaan diri, dan entah
kenapa pada saat itu Guru Sejati tidak menasihati saya.
Ternyata setelah melewati hal
tersebut, saya baru mengetahui dan mengerti mengapa Guru Sejati tidak
menasihati saya waktu itu, karena saat itu saya sedang melewati ujian. Hari
demi hari saya jalani kehidupan ini begitu merindukan kehadiran Guru Sejati
yang biasanya memperhatikan dan selalu menuntun, saya mulai menyadari kesalahan
yang dilakukan. Saya berterima kasih kepada teman-teman Vihara Sukhavati Prajna
yang selalu membantu saya mengatasi kekotoran batin saya.
Suatu hari, saya bermain ke rumah
seorang teman, sesampainya disana dia memberikan saya sebuah rupang Kwan Im Pho
Sat, saya merasa sangat senang karena saya memang belum memiliki rupang
tersebut, di rumah saya memang sudah memuja Kwan Im Pho Sat, tapi masih berupa
gambar saja. Teman saya berpesan kepada saya agar saya menjaga baik-baik rupang
tersebut dan menyuruh saya untuk rajin bershadana.
Sejak rupang Kwan Im Pho Sat saya
altarkan di rumah, saya sudah mulai bershadana lagi walaupun tidak tiap hari.
Suatu hari saya jatuh sakit, pada saat itu saya merasakan kehadiran Kwan Im Pho
Sat, saya sangat senang dan terharu, karena begitu banyak kesalahan yang saya
lakukan tapi para Buddha-Bodhisattva masih memperhatikan saya, saya merasa
bersalah dan sangat menyesal sudah mengecewakan Guru Sejati. Dan yang membuat
saya semakin sedih dan terharu, Dewi Seribu Tangan Seribu Mata masih memilih
saya untuk mengisi acara syukuran Vihara.
Setelah itu saya sudah mulai rajin
bershadana lagi setiap hari, dan setelah saya menyadari kesalahan dan mulai
menjernihkan hati, saya sudah bisa merasakan kehadiran dan mulai dibimbing
kembali oleh Guru Sejati lagi. Akhirnya sampai saya dipilih menjadi Dharmaduta
Vihara, semoga saya bisa melakukan tugas dengan baik dan bisa lulus dari segala
ujian dalam pembinaan diri.
- Om . Ci Lu To Nan Hum Re -
VIMMALA
VIDYA GARBHA
Hari ini, 18 Juli jam 13:50 , tiga
puluh menit sebelumnya, didalam perjalanan menuju ke tempat kerja, aku
diingatkan untuk membuat sebuah artikel tentang pengalamanku dalam mengenal,
belajar dan coba memahami tentang Dharma Buddha yang sebelumnya sama sekali tidak
pernah kutahu.
Awalnya aku tidak tahu bagaimana dan
apa yang harus dituliskan atau diceritakan dalam artikel ini, namun ditengah
kebingungan ini ada seperti suara dalam hati yang mengatakan pada diri ini
bahwa pembuatan artikel ini dimaksudkan untuk berbagi pengalaman yang kualami
agar semua orang yang membacanya memperoleh gambaran tentang apa yang kualami,
ya kalau boleh bilang sekedar berbagi pengalaman yang dialami oleh diriku yang
sebelumnya tidak pernah mengenal ajaran Buddha Dharma dalam kehidupan kali ini,
koq bisa tiba-tiba menerima serta meyakini apa yang terkandung dalam setiap
ajaran Buddha. Artikel inipun dibuat bukan untuk tujuan berbangga diri, hanya
sebagai sarana berbagi pengalaman yang sekiranya bisa diambil hikmahnya oleh
pembaca/umat sedharma sekalian. Baiklah berikut ini pengalamanku;
Aku sebelumnya memeluk iman percaya
pada ajaran Kristen, bekerja pada sebuah percetakan di selatan Jakarta yang
dimiliki oleh saudara sepupu. Pada suatu ketika saudara sepupu ini mendapatkan
order pekerjaan dari sebuah Cetya di daerah Tangerang, dan aku yang ditugaskan
untuk membuat setting buku yang akan
cetya tersebut terbitkan dan bukan hanya buku-buku, tapi semua yang ada
kaitannya dengan pekerjaan cetak-mencetak. Seingatku akhir Nopember 2010,
pernah diajak ke cetya tersebut dalam rangka memberikan contoh setting agar
bisa dikoreksi sebelum naik cetak, tidak hanya sekali namun beberapa kali
setiap ada jadwal ibadah di cetya tersebut. Setiap kali datang ke cetya saudara
sepupuku selalu mempersilakanku untuk duduk pada mantras (seperti bantalan untuk bermeditasi) yang biasanya digunakan oleh
umat yang beribadah, walaupun aku tidak ikut dalam sesi ibadah tidaklah mengapa
katanya. Namun aku berpikir tidaklah baik jika diriku turut berada disana dan
mungkin saja akan dapat mengganggu para umat yang beribadah, lebih baik jika
aku menunggu sambil duduk pada motor yang ada di tempat parkir, sekali waktu
terkadang aku memerhatikan para umat beribadah dengan sangat khidmatnya.
Beberapa kali aku sering datang ke
cetya untuk urusan pekerjaan, hingga suatu ketika pada bulan Maret dalam
perjalanan menuju ke cetya untuk memberikan contoh desain, ada keinginan
tiba-tiba dalam hati yang begitu kuatnya untuk tahu dan ingin belajar tentang
ajaran Buddha itu seperti apa sih? Aku ingat dalam perjalanan senja itu
kira-kira jam 18:30 WIB dimana langit malam sedang bulan purnama penuh. Ketika
sampai disana peribadahan memang belum dimulai, selesai menyerahkan hasil print desain, saudara sepupu yang
biasanya mempersilakanku duduk pada matras ataupun ruang tunggu dimana terdapat
banyak buku-buku dharma agar aku membacanya, namun kali ini berucap, “Urusan kerjaan sudah dibicarakan belum?”
Aku menjawabnya “Sudah”, lalu ia
meneruskan “Yaa sudah kalau begitu pulang
saja daripada disini gak ngapa-ngapain.” Tapi aku membalasnya “Ngga ah, hari ini saya mau belajar tentang Dharma Buddha, tadi sewaktu
dijalan tiba-tiba ada keinginan dalam hati untuk mengetahui tentang ajaran
Buddha itu seperti apa.”
Selesai mengikuti ibadah di cetya
untuk pertama kali, malamnya aku bermimpi dan tidak biasanya mimpi ini bisa
diingat dan menurutku mimpi ini juga terasa aneh, didalam mimpi itu aku
mengantarkan seseorang untuk berobat, hanya saja orang yang kuantarkan tersebut
dari pinggang hingga ke bawah berbentuk tubuh ular dan setibanya pada tempat
yang dituju, orang yang dicari untuk menyembuhkan tersebut tidak berada di
tempat, kami masuk kerumahnya tidak ada siapa-siapa. Karena didalam rumah tidak
ada siapa-siapa kami mencoba mencari namun tetap tidak menemukan siapa-siapa,
ketika kami hendak keluar rumah kami dihalang-halangi oleh beberapa makhluk,
wujudnya seperti makhluk halus di film-film, ada yang berupa pocong juga
kuntilanak, kami tetap berusaha menerobos keluar rumah dan menghardik
makhluk-makhluk tersebut agar tidak menghalang-halangi kami. Setelah diluar
orang yang kuantar untuk berobat tersebut sudah berada disebuah danau dan dia
seperti menggelepar karena tubuhnya yang berbentuk ular berada didalam air
danau tersebut. Aku mencoba mendekati, namun sebelum sampai disana, diriku seperti
mendapat serangan berupa ular-ular yang berukuran kecil, dalam hati aku berkata
mungkin sakit orang ini karena diguna-guna, dan karena aku mencoba menolongnya
untuk mencarikan orang yang bisa menyembuhkannya akhirnya akupun mendapat
serangan.
Ular-ular dengan tubuh transparan
yang menyerang itupun masuk menusuk kepundak kiri, akupun merasakan sakit dan
berusaha untuk mencabut ular tersebut, ada yang berhasil dicabut dan ada yang
tidak. Karena terkejut aku terbangun dari mimpi tersebut dan merasakan rasa sakit
juga pada pundak kiriku. Karena terbangun lalu aku mencoba melihat sekeliling,
kemudian melihat jam tangan dan arah jarum jam menunjuk angka 05:00 WIB. Karena
mata masih terasa berat aku melanjutkan tidur beberapa saat, ketika bangun aku
masih merasakan sakit pada pundak kiri, lalu pergi mandi untuk siap berangkat
bekerja, aku berpikir akh! mungkin karena
salah posisi tidur hingga pundak kiri ku terasa sakit tetapi aku baru
menyadarinya setiba ditempat kerja sakit itu sudah hilang. Biasanya jika aku salah
posisi tidur hingga sakit pada area sekitar pundak ataupun leher sakitnya akan
terasa sampai beberapa hari tapi untuk kali ini hilang dengan cepat, apa ada
kaitannya dengan mimpi malam itu? Aku berpikir mungkin kebetulan saja, dan mimpi itukan kata orang hanya merupakan
bunga tidur.
Hari berlalu, teringat akan mimpi
yang aneh tersebut aku pernah membaca buku Maha Guru Lu Sheng Yen yang berkata
kurang-lebih demikian jika kita mendapat mimpi antara pkl. 03:00 – 06:00 dan
mimpi tersebut tidak biasa, pasti ada sesuatu/pesan khusus dalam mimpi
tersebut.
Aku tahu jika bertanya pada V.A.
Sukhavati Prajna, Beliau pasti bisa tahu apa maksud dari mimpi tersebut hanya
saja karena aku belum terlalu kenal dan lagi merasa sungkan untuk bertanya,
akhirnya kusimpan saja niat untuk mengetahui apakah ada arti dari mimpi
tersebut. Hari-hari selanjutnya aku mengikuti peribadahan di Cetya seperti
biasa saja, setiap hari Selasa dan Jum'at.
Suatu ketika ada rencana di Cetya
untuk mengadakan semacam perjalanan spiritual ke Jawa Tengah, tepatnya
mengunjungi Candi Prambanan, Candi Borobudur dan Candi Mendut. Ketika kami
sedang berdiskusi mempersiapkan kepanitiaan serta segala sesuatunya, karena
yang mengikuti acara ini cukup banyak, orang dewasa juga anak-anak. Diriku koq
seperti merasakan sesuatu yang aneh terjadi pada wajahku, keanehan itu ialah
rahang bagian bawah seperti mengunci (seolah-olah geram/menggigit) aku tidak
tahu kenapa? Aku berpikir mungkin karena
udara dingin barangkali, tapi sebentar hilang, lalu muncul kembali. Karena
tidak merasa nyaman terasa aneh, lalu aku coba bertanya pada teman-teman
sedharma apakah pernah merasakan hal yang sama. Kemudian ada teman berkata
mungkin kamu diminta untuk meditasi, sudah sana meditasi di depan Altar. Akupun
merasa kebingungan karena belum mengerti bagaimana meditasi, gimana caranya??
Yang ku ketahui waktu itu hanya sikap duduk dalam bermeditasi.
Akupun mencoba saran dari
teman-teman sedharma, aku menuju ke depan Altar dengan beranjali terlebih
dahulu kemudian duduk dengan sikap bermeditasi, disekitar wajahku terasa ada
ketegangan dan rahangku semakin kuat mengunci, sebentar kendur, lalu mengunci
lagi begitu terus beberapa saat.
Dalam hatipun aku sambil berucap, mohon maaf kepada para Buddha, para
Bodhisattva, para Dharmapala, para Dakini ataupun para Dewa sekalian, maaf atas
kebodohan diriku yang tidak mengerti ada apakah ini, mulutku koq seolah
mengunci, rahangku bagian bawah mengunci dengan kuat, sebentar hilang, lalu
mengunci lagi.
Apakah
ini yang dinamakan awal terbangkitkan roh, bisa merasakan aura-aura sekeliling,
apakah memang para Buddha-Bodhisattva, para Dharmapala, para Dakini dan para
Dewa berkenan membimbing diriku ini untuk bisa mengenal, mempelajari tentang
Dharma Buddha yang sesungguhnya.
Selesai berucap demikian mulutku
berhenti tidak mengunci, kupikir oh sudah
selesai barangkali, dan meditasipun ku akhiri dengan beranjali kembali.
Lalu aku kembali berdiskusi membicarakan persiapan acara Perjalanan Spiritual
ke Jawa Tengah, belum juga kembali berdiskusi, salah seorang teman berucap, koq cepet banget meditasinya? Aku
menjawab, iya mungkin sudah barangkali,
soalnya mulut/rahang saya sudah tidak terkunci lagi. Tidak berapa lama,
mulutku kembali mengunci lagi, teman yang tadi berucap kembali berkata, tuh kan belum selesai, sudah sana meditasi
lagi. Tanpa pikir panjang akupun langsung menuju ke depan Altar, beranjali,
lalu duduk bermeditasi lagi. Setelah beberapa saat kali ini aku merasakan
keanehan seperti ada yang menuntun kedua tanganku untuk digerakkan, seperti ada
yang memegang dengan lembut, mataku mencoba melihat, tidak ada yang menjamah
kedua tanganku tapi ajaibnya kedua tangan ini bergerak dan melakukan gerakan memutar
di depan dadaku. Mulanya gerakan itu perlahan sekali lalu sedikit cepat dan
semakin cepat berputar. Ketika kedua tanganku itu berputar-putar di depan dada,
timbul pikiran akh mungkin ini hanya
sensasi buah dari pikiranku saja, kemudian aku coba hentikan gerakkan itu
namun tidak bisa justru yang kurasakan malah seperti ada yang memaksakan kedua
tangan ini berputar dengan keras, akhirnya aku pun hanya memperhatikan gerakan
kedua tangan ini seperti gerakan seorang penari. Jamahan lembut yang menggerakan
tanganku ini, rasanya seperti --kalau
dahulu ketika sekolah aku sering memainkan magnet (besi berani) untuk
ditempelkan, hanya saja kedua kutubnya sama, sehingga sensasi yang dirasakan
seperti gaya tolak-menolak kalau kutub-kutub itu kita dekatkan.-- Nah rasa
jamahan yang menggerakkan kedua tangan inipun kurang lebihnya demikian, seperti
dituntun melakukan suatu gerakan lalu sensasi yang kurasakan demikian
lembutnya. Hari-hari berikutnya aku bisa merasakan aura/energi-energi yang
belum bisa kumengerti, namun dalam hal ini aku beranikan diri bertanya pada
V.A. Sukhavati Prajna apakah demikian adanya aku bisa merasakan aura? Dan jawab
Beliau, berarti kamu sudah mulai
terbangkitkan rohnya, dan juga menjelaskan lebih lanjut,
terbangkitkan/terbangunkan roh ini bukan berarti diri ini sudah hebat/mencapai
keberhasilan dalam pembinaan diri/jalan dharma Buddha, ini hanyalah sebagai
pondasi awal dalam proses Pembinaan Diri menuju arah yang lebih baik lagi
kedepannya. Justru dengan kita bisa merasakan aura/energi Alam Semesta kita
dapat menyatu dengan Alam Semesta sehingga pelatihan diri kedepannya bisa
semakin baik lagi.
Mulai saat itulah diri ini bisa
merasakan suatu aura/energi bila sedang sadhana/bersembahyang di Cetya/Vihara
dimanapun. Sayapun waktu itu masih suka beribadah ke Gereja setiap minggunya,
dan selasa jum'at saya belajar Buddhisme di Cetya Sukhavati Prajna.
Dengan anugerah terbangunkannya
rohku, ketika mengikuti ibadah di Gerejapun aku mulai dapat merasakan
aura/energi-energi yang sama ketika aku berada di Cetya/Vihara ketika
beribadah, terlebih jika di Gereja tersebut sedang berlangsung peribadahan
khusus seperti: Acara Baptis/Sidi, Perayaan Hari Raya Paskah & Perayaan
Natal, aura yang kurasakan sangat besar sekali.
Mengikuti
Perjalanan Spiritual ke Jawa Tengah
(Candi
Prambanan, Candi Borobudur & Candi Mendut).
Aku mengikuti Perjalanan Spiritual ke Candi Prambanan, Candi Borobudur
dan Candi Mendut yang diselenggarakan oleh Cetya Sukhavati Prajna pada 21-24
April, banyak pengalaman yang aku dapatkan dalam perjalanan tersebut dari
pengalaman unik dalam perjalanan menuju Jogja dan juga kembali ke Tangerang
yang memerlukan waktu sangat lama, lebih dari 20 jam perjalanan darat dengan
bis. Pengalaman menginap di hotel yang ternyata salah satu kamar yang ditempati
rombongan ada yang menghuni makhluk astral sehingga mengganggu satu keluarga
yang menempati kamar tersebut. Merasakan energi alam semesta yang sangat kuat
di lingkungan Candi walaupun rombongan baru tiba dan berada di tempat parkir.
Setelah berada pada lokasi Candi
Prambanan, rombongan yang memang telah diberi petunjuk agar membawa kain untuk
diikatkan pada pinggang masing-masing, karena Candi Prambanan adalah tempat
suci/tempat beribadah umat Hindu, sudah selayaknya kita datang berkunjung
menghormati tempat tersebut dengan berpakaian yang sopan. Setelah berada
disana, aku dan juga rombongan dibimbing oleh V.A. untuk beranjali dan memberi
hormat pada tiap-tiap bangunan candi utama yang mempunyai tiga bangunan yaitu
bernama Candi Brahma, Candi Siwa dan Candi Wisnu, cara-cara beranjali
diberikan, kemudian kami bersama-sama melakukannya di depan masing-masing
bangunan candi tersebut. Ada kejadian yang menurutku luar biasa terjadi;
pertama, ketika kami selesai beranjali dan memberi hormat kemudian kami, rombongan
berdoa dan mengucap syukur pada para Buddha, para Bodhisattva, para Dharmapala,
para Dewa juga Para Dakini dan menyentuhkan tangan kami pada dinding-dinding
batu pada Candi, ada semacam energi seperti arus listrik yang berasal dari
bangunan Candi menjalar melalui kedua telapak tangan seolah-olah masuk ke tubuh
ini dan aku merasakan arus energi tersebut sangat kuat namun tidak menyakitkan,
melainkan seolah memberi tambahan tenaga dan membuat tubuh inipun seperti
ringan dan nyaman sekali. Yang kedua ialah, karena rombongan melakukan
anjali/penghormatan –seperti ritual
mungkin bagi saudara sebangsa yang tidak mengerti apa yang kami lakukan,– ternyata kegiatan kami diperhatikan oleh
beberapa petugas yang berada di Candi Prambanan sehingga salah seorang petugas
menyarankan kami jika ingin bersembahyang kami dipersilahkan untuk masuk ke
lingkungan Candi Siwa (Candi yang berada ditengah) agar peribadahan kami bisa
lebih khidmat, hanya saja petugas tersebut memberi kami waktu yang tidak banyak
hanya kira-kira 30 menit saja berada disana karena memang Candi Siwa pada waktu
itu tidak dibuka untuk umum –(diberi
pagar, agar pengunjung tidak bisa memasuki area Candi Siwa, ini mungkin terkait
juga karena dampak dari letusan Gunung Merapi kala itu)– juga syarat agar
kami hanya menggunakan area belakang candi dan tidak berkeliling mengitari
Candi Siwa tersebut, dengan ijin yang diberikan tersebut kamipun melakukan
meditasi di dalam area Candi Siwa.
Selesai mengunjungi Candi Prambanan,
rombongan menuju Candi Borobudur di dalam perjalanan aku seperti tertidur dan
memperoleh seperti suatu penglihatan atau mimpi, dalam penglihatan itu aku
seperti berada di angkasa, melihat Candi Borobudur yang megah mengeluarkan
sinar-sinar yang menyebar ke seluruh penjuru mata angin, tapi di depan Candi
Borobudur itu ada semacam Pintu Gerbang yang berbentuk candi juga hanya saja
ukurannya tidak besar namun tinggi menjulang, pun mengeluarkan sinar-sinar yang
terang. Kemudian diantara gerbang tersebut dan Candi Borobudur ada seberkas
sinar yang sangat terang berwarna putih kekuningan memancar sangat indah. Tidak
berapa lama aku terbangun dan ternyata apa yang kulihat itu masih dapat
diingat, lalu aku bertanya kepada teman seperjalanan yang duduk sebelah kiri
apakah ada yang pernah berkunjung ke Candi Borobudur sebelumnya dan kebetulan
posisi aku duduk tepat di belakang V.A., aku bertanya kepada V.A. karena ku
tahu V.A. pernah datang berkunjung ke Candi Borobudur sebelumnya, aku bertanya
pada Beliau, apakah di depan Candi
Borobudur ada semacam Gapura atau Pintu Gerbang yang tinggi menjulang, lalu
dijawab sepertinya ada, Beliau tidak
memperhatikan ketika berkunjung waktu dahulu sebelumnya. Memang kenapa? Beliau bertanya, aku menjawab saya belum pernah ke Candi Borobudur dan tadi saya seperti mendapat
penglihatan bisa memandang Candi Borobudur dari angkasa hanya saja di depan
Candi Borobudur ada terdapat semacam Gerbang/Gapura yang juga mengeluarkan
cahaya yang gemilang memancar ke segala arah.
Setiba di pelataran parkir, aku
berserta rombongan keluar dari bis, aura/energi alam semesta yang sama seperti
yang kurasakan di Candi Prambanan kembali terasa, aku belum pernah datang ke
Candi Borobudur sekalipun sebelumnya dan posisi Candi Borobudur aku tidak tahu
letaknya dimana hanya saja aura/energi yang terasa seperti datang dari arah jam
10, rasanya seperti gelombang laut yang terus menerus datang menerpa, ternyata
setelah panitia mengarahkan agar rombongan berjalan menuju Candi Borobudur,
diluar dugaanku ternyata arah tersebut sama seperti apa yang kurasakan, agak
menyerong menuju arah jam 10 dari
posisi parkir kendaraan bis waktu itu.
Menuju ke Candi, rombongan diminta
mengenakan kain sarung yang sudah disediakan oleh pengelola situs Candi
Borobudur, kami memasuki bangunan Candi sambil beranjali hingga hampir sampai
di puncak, –karena ada dampak dari
letusan Gunung Merapi waktu itu sehingga Stupa yang berada di puncak atau Stupa
utama yang besar tidak bisa kami datangi,– kami hanya berkumpul di
pelataran sebelah bawahnya. Kemudian rombongan diarahkan untuk beranjali
mengelilingi searah jarum jam pada pelataran dan menempelkan dahi kami pada
dinding bangunan tersebut seraya bervisualisasi kami mencapai posisi pada Stupa
utama sambil mengucapkan “Gate. Gate.
Para Gate. Para Samgate. Bodhi Soha.” masing-masing 3 kali pada setiap arah
stupa yang menuju stupa utama. Selesai berkeliling kamipun bermeditasi beberapa
saat, dalam meditasi di Candi Borobudur beberapa peserta yang memang sudah
terbangunkan rohnya langsung kontak hingga melakukan gerakan-gerakan yoga, ada
pula yang baru ketika itu terbangunkan rohnya, ada yang bergetar badannya, ada
pula yang mengeluarkan air mata. Sungguh Energi Alam Semesta luar biasa
dahsyatnya jika kita pribadi bisa merasakannya.
Selesai bermeditasi kamipun turun
dari pelataran puncak Candi Borobudur, sambil penuh penasaran aku memperhatikan
sekeliling berharap bisa melihat Gapura/Gerbang yang ku saksikan dalam
penglihatan ketika dalam perjalanan menuju Candi Borobudur ini, namun hingga
rombongan meninggalkan lokasi Candi Borobudur gerbang tersebut tidak kutemukan.
Rombongan melanjutkan berkunjung ke
Candi Mendut, dalam perjalanan disertai hujan yang deras. Setiba di Candi
Mendut hujan sedikit mereda, namun tidak menyurutkan niat kami untuk tidak
datang berkunjung, walaupun ada sedikit keraguan apakah Candi masih dibuka
karena waktu sudah menunjukkan sekitar pukul 18:00 WIB lebih dan berkas temaram
senja dilangitpun telah sirna. Panitia menemui petugas yang berjaga, akhirnya
rombonganpun dapat ijin masuk walaupun tidak bisa berlama-lama untuk
beranjali/memberi hormat dan meletakkan persembahan disana, karena memang waktu
dan kondisi yang tidak memungkinkan. Di dalam Candi Mendut terdapat tiga Arca
Buddha-Bodhisattva yang sangat besar, aura/energi yang terasa begitu besar.
Selesai dari Candi Mendut kamipun
melakukan meditasi pada sebuah bangunan yang berada di depan jalan masuk menuju
Candi Mendut, saya tidak begitu memperhatikan apakah itu Vihara, yang
didalamnya terdapat Rupang Buddha Tidur dan ada seperti prasasti telapak kaki Buddha
serta beberapa Rupang Buddha-Bodhisattva lainnya, melihat itu semua ada seperti
keagungan yang terpancar dari Rupang para Buddha-Bodhisattva, kemudian kamipun
beranjali lalu melakukan meditasi di tempat itu. Dalam kondisi bermeditasi,
saya seperti ada yang memberitahukan bahwa penglihatan yang didapatkan itu
adalah gambaran seperti yang sudah saya jalani hingga saat meditasi tersebut
berlangsung, yaitu Gerbang/Gapura yang ada di depan Candi Borobudur tersebut
adalah merupakan Candi Mendut memang dalam penglihatan saya Gapura tersebut
seperti dekat dengan Candi Borobudur atau serasa berada dalam lingkungan Candi
Borobudur, padahal jarak sebenarnya antara Candi Mendut dengan Candi Borobudur
berjauhan jika ditempuh dengan berjalan kaki, namun jika dilihat dari
atas/angkasa dengan sudut pandang kira-kira 30 derajat maka posisi kedua candi
tersebut tidaklah jauh, dan cahaya yang memancar berwarna putih kekuningan yang
berada diantara Gerbang/Gapura (Candi Mendut) dengan Candi Borobudur adalah
bangunan ini dimana sekarang aku berada, yang didalamnya terdapat Rupang Buddha
Tidur yang diselimuti kain berwarna emas.
Perjalanan Spiritual ini memberikan
kesan dan pengalaman yang menakjubkan bagi saya, jika dengan sepenuh hati kita
menjalani kehidupan ini, senantiasa berpegang pada ajaran-ajaran Buddha akan
bisa ditunjukkan pada diri pribadi hakekat hidup yang sesungguhnya, apapun
pertanyaan yang timbul dihati akan diketahui dan diberikan petunjuk bagaimana
dan apa yang harus dilakukan. Seperti yang aku alami walaupun belum pernah
mengunjungi Candi Borobudur tetapi aku seperti diberikan petunjuk dalam kondisi
spiritual lokasi tersebut dan energi Alam Semesta yang melingkupinya. Sekaligus
inipun mungkin jawaban atas pertanyaan ketika pada awal belajar tentang
Buddhisme aku pernah bertanya dalam hati Apakah
Alam Semesta mempunyai “Energi” yang bisa dirasakan oleh orang-orang awam
seperti diriku?
Ditunjuk
menjadi Calon Dharmaduta Vihara Sukhavati Prajna.
Rabu, 9 Mei sekitar jam 12:23 WIB aku mendapat pemberitahuan dari V.A.
Sukhavati Prajna bahwa diriku telah dipilih oleh Raja Naga, untuk menjadi calon
Dharmaduta Vihara Sukhavati Prajna (VSP), V.A. menanyakan apakah aku bersedia? Mendapat kabar seperti itu sempat heran juga
koq bisa aku terpilih menjadi Dharmaduta VSP apalagi dipilih oleh Dewa Raja
Naga padahal mengenal ajaran Buddha baru saja dan aku merasa belum memiliki banyak
pengetahuan tentangnya, aku khawatir malah nanti bisa memalukan dan merusak
nama baik VSP. Akan tetapi V.A. memberi masukan dan semangat bahwa kita semua masih sama-sama belajar, para
Buddha-Bodhisattva selalu memberi motivasi kepada kita, jika kita tidak mencoba
untuk menjalaninya, kita tidak pernah tahu apakah kita bisa atau tidak
menjalankan jalan dharma atau pembinaan diri ini dengan baik. Terlebih
sewaktu memberikan Dharmadesana, Beliau juga sempat mengatakan yang aku cerna
demikian kurang lebihnya; Jika kita
menunggu sampai kita siap dalam arti kata sudah berbuat kebaikan/merasa diri
layak atau tidak lagi melakukan hal-hal yang jahat, mau sampai kapan hal
tersebut bisa terwujud? Justru pada saat sekarang inilah para
Buddha-Bodhisattva, para Dharmapala, para Dakini serta para Dewa mengulurkan
tangan welas asihNya mau membimbing, menolong kita agar kita bisa menjalani
kehidupan ini semakin menuju ke arah yang lebih baik lagi, justru kita layak
bersyukur atas anugerahNya. Tidak seperti kehidupan jaman dahulu bila seseorang
ingin membina dan melakukan pelatihan diri harus keluar masuk hutan, mendaki
gunung, menuruni lembah untuk bisa belajar tentang Dharma, tentang
ajaran-ajaran Buddha. Pada kehidupan modern sekarang ini, kita yang ingin
belajar tentang Dharma Buddha lebih dipermudah lagi, banyak buku-buku atau
literatur-literatur yang menuliskan Sutra, Mantra, Ajaran-ajaran Buddha yang
bermanfaat dalam pelatihan diri, apalagi jika seseorang tersebut sudah
terbangkitkan rohnya, sehingga bisa mencapai kontak batin dengan para Buddha,
para Bodhisattva, para Dharmapala, para Dakini serta para Dewa akan senantiasa
datang membimbing dengan sendirinya, sambil kitapun masih bisa melakukan
aktifitas duniawi, seperti bekerja, usaha, belajar/sekolah, bahkan kehidupan
berumah-tangga sekalipun.
Dalam hal melatih diri atau
melakukan pembinaan diri secara Buddhisme, aku ingin berbagi cerita atau
pengalaman yang dialami secara pribadi, namun sebelum aku menceritakan
pengalaman ini, sempat terpikir olehku ketika mendapatkan tugas untuk
menuliskan artikel ini, aku adalah orang
yang belum pernah membuat artikel apalagi berisi tentang pengalaman yang
terjadi dalam hidup ini, menuangkan cerita tersebut untuk dibagikan pada orang
lain terlebih umat sedharma sehingga dari pengalaman hidup ini mudah-mudahan
bisa dipetik sisi baiknya, saya bertanya-tanya apakah saya bisa menuliskannya?
Ketika muncul pertanyaan tersebut langsung saya mendapatkan jawabannya, pasti bisa, maksud dari penulisan artikel
ini adalah sebagai sarana berbagi pengalaman apa yang dialami dalam hal
pembinaan/pelatihan diri bukan sebagai kesombongan, dan berharap apa yang
dialami bisa menjadi gambaran bagi umat bagaimana dan apa yang terjadi serta
yang dirasakan oleh masing-masing calon Dharmaduta.
Pertanyaan kedua ialah apakah nanti jika ada perbuatan kebajikan
yang mungkin saja dituangkan dalam artikel ini bisa menimbulkan penafsiran
negatif oleh umat yang membacanya, dan juga saya pernah mendengar kata-kata
bijak jika tangan kanan memberi, tangan kiri tak boleh mengetahuinya, atau
pengertiannya jika kita melakukan perbuatan kebajikan maka tak perlu kita
menceritakan perbuatan baik tersebut pada siapapun. Terlebih V.A. Sukhavati
Prajna pernah memberikan Dharmadesana mengenai melakukan perbuatan kebajikan,
Beliau mengatakan jika kita menceritakan suatu perbuatan baik yang pernah diri
sendiri lakukan kepada semua makhluk dan menceritakan itu pada satu orang saja
maka bisa mengurangi pahala kebajikan itu sendiri terlebih jika kita
menceritakan kepada banyak orang, maka akan sia-sia saja perbuatan kebajikan
yang telah dilakukan tersebut. Atas pertanyaan dihati ini walaupun aku
mendapatkan jawaban sendiri hanya saja masih belum yakin terhadap jawaban
tersebut. Akhirnya aku memberanikan diri mengajukan pertanyaan ini kepada V.A.
berharap bisa memperoleh penjelasan, dan Beliau menjawabnya untuk bercerita tentang perbuatan kebajikan
yang sekiranya pernah dilakukan jika memang tepat sarananya –(misalnya kisah
tersebut dituangkan dalam buku-buku dharma yang memberi inspirasi bagi banyak
orang)– tidak akan mengurangi pahala kebajikan itu sendiri justru mungkin akan
memotivasi orang lain sehingga dapat memberikan contoh yang baik bagi sesama,
lain halnya jika menceritakannya pada orang banyak terlebih lagi ada maksud
tersembunyi dibalik itu, perbuatan tersebut justru akan memperoleh buah
karmanya sendiri.
Baiklah sekarang aku akan bercerita
tentang pembinaan diriku dengan tujuan agar sekiranya bisa menjadi informasi
ataupun gambaran yang pernah ku alami;
Sepulang dari mengikuti Perjalanan
Spiritual ke Candi Prambanan, Candi Borobudur dan Candi Mendut, aku seperti
biasanya beribadah di Cetya Sukhavati Prajna –(waktu itu belum menjadi Vihara)– setiap hari selasa dan jum'at,
dan setiap selesai melakukan ibadah beberapa orang yang memang sudah
terbangkitkan rohnya maupun yang sudah bisa kontak batin dengan para
Buddha-Bodhisattva biasanya mereka melakukan yoga yang dibimbing oleh para
Buddha-Bodhisattva, para Dharmapala, para Dewa maupun para Dakini. Merekapun
dibimbing untuk memberkati para umat sebagai pelatihan untuk menumbuhkan rasa
welas asih, kepedulian dan menumbuhkan semangat ingin menolong para insan pada
diri masing-masing, seperti juga para Buddha-Bodhisattva sangat berwelas asih
serta senantiasa menolong kepada setiap insan yang membutuhkan dan memohon
pertolonganNya.
Akupun seperti umat lainnya
mengantri untuk mendapatkan blessing/berkat
dari para Buddha-Bodhisattva melalui beberapa orang yang dibimbing oleh para
Buddha-Bodhisattva, ada salah seorang secie menyampaikan kepadaku bahwa Buddha
Baisajyaguru (Yao She Fo) berkenan untuk membimbingku secara pribadi, oleh
karenanya aku diminta untuk bersadhana pada Beliau selama tujuh minggu
berturut-turut, harinya setiap Jum'at dan waktunya aku atur sendiri,
mempersembahkan makanan vegetarian/buah, dan akupun sebaiknya bervegetarian
juga selama waktu sadhana pribadi tersebut. Kemudian aku melaksanakan petunjuk
tersebut dengan keyakinan memang Buddha Baisajyaguru ingin membimbingku secara
khusus, aku melakukannya dengan kesungguhan hati. Melewati minggu kedua,
seorang secie yang lain menyampaikan agar aku melaksanakan sadhana secara
khusus kepada Dharmapala Kalacakra Vidyaraja, akupun bertanya kapankan
melaksanakannya? Apakah mulai besok atau setelah aku selesai menjalani amanat untuk
bersadhana pada Buddha Baisajyaguru selesai dilaksanakan, Secie tersebut
berkata, setelah selesai bersadhana pada Buddha Baisajyaguru, tujuh hari
berturut-turut dan tidak boleh ada yang bolong –(dalam arti tidak bersadhana)– satu haripun, mengenai waktu aku
atur sendiri. Aku lupa menanyakan persembahannya bagaimana? Akhirnya aku
bertanya pada salah seorang teman sedharma yang memang sudah pernah bersadhana
secara khusus pada Dharmapala Kalacakra Vidyaraja mengenai persembahan
nantinya, kata teman tersebut persembahan boleh non vegetarian, juga arak
merah. Aku mempersiapkannya karena waktu bersadhana pada Buddha Baisajyaguru
baru berjalan dua minggu, masih ada lima minggu lagi baru bisa melaksanakan
sadhana berikutnya pada Dharmapala Kalacakra Vidyaraja. Jalan minggu keempat,
seorang secie yang lain lagi memberitahukan bahwa dia mendapat amanat untuk
memberitahukan kepadaku agar bersadhana secara khusus kepada Buddha Amitabha,
selama tujuh hari berturut-turut jangan bolong/terlewat satu haripun, waktunyapun
aku yang mengatur agar bisa menyesuaikan sendiri. Aku pun minta petunjuk karena
beberapa minggu sebelumnya sudah diminta untuk bersadhana kepada Dharmapala
Kalacakra Vidyaraja dan saat inipun masih dalam bimbingan Buddha Baisajyaguru,
aku bertanya kapankan waktu untuk bisa bersadhana kepada Buddha Amitabha,
apakah selesai sadhanaku kepada Buddha Baisajyaguru ataukah setelah bersadhana
kepada Dharmapala Kalacakra Vidyaraja? Secie yang mendapatkan amanat tersebut
bertanya dengan konsentrasi dalam meditasi, tak lama akupun mendapat jawaban
bahwa sadhana kepada Buddha Amitabha bisa dilaksanakan selesai memperoleh
bimbingan dari Dharmapala Kalacakra Vidyaraja.
Selesai memperoleh amanat tersebut
minggu berikutnya aku bertanya kepada V.A. Sukhavati Prajna mengenai
persembahan yang akan ku persembahkan ketika nanti menjalankan sadhana khusus
kepada Buddha Amitabha? Jawab Beliau, jika
kita memberi persembahan kepada para Buddha itu sebaiknya yang vegetarian bukan
yang non vegetarian. Pertanyaan kedua ialah apakah jika kita bersadhana
memperoleh bimbingan khusus dari Buddha Amitabha diperbolehkan untuk puasa?
Namun jawaban V.A. mengejutkanku, boleh
saja jika memang mampu, hanya saja Beliau mewanti-wanti (berpesan dengan
hati-hati) agar dalam menjalankan puasa tidak boleh ekstrim atau memaksakan
diri hingga nanti malah bisa membuat rugi diri sendiri, harus tetap bisa
menjaga kondisi badan jika memang sudah tidak kuat jangan dilanjutkan.
Begitulah Beliau memberi penjelasan, yang mengherankan dan mengejutkan ialah
aku memang tidak pernah bercerita kepada siapapun tentang niatku, ketika nanti
bersadhana kepada Buddha Amitabha akan mencoba sambil berpuasa selama tujuh
hari berturut-turut tidak makan apapun, hanya saja aku tetap minum air putih
biasa dan kadang diselingi dengan minum air kelapa.
Sebelum aku menjalankan ini, aku
mencobanya ketika masih bersadhana dan dibimbing oleh Buddha Baisajyaguru, aku
berdoa bahwa aku mempunyai niat untuk berpuasa tidak makan apapun selama tujuh
hari ketika nanti bersadhana kepada Buddha Amitabha, sebelum hal ini kulakukan
aku ingin mencobanya selama tiga hari berturut-turut, hanya minum air putih
biasa saja. Menjelang minggu-minggu akhir sadhana dibimbing oleh Buddha
Baisajyaguru aku lakukan puasa tidak makan selama tiga hari hanya mengkonsumsi
air putih biasa, mulai jam 00:00 WIB hingga tiga hari kemudian. Hari pertama
dan kedua aku jalani dengan baik sambil beraktifitas/bekerja seperti biasanya,
hari ketiga menjelang sore kira-kira jam 16:00 WIB badan mulai terasa tidak
nyaman, tubuh merasakan gemetar dan kepala sedikit berputar aku coba bertahan
namun akhirnya kuputuskan untuk mengakhiri puasaku jam 18:00 WIB, selesai makan
dan minum tubuh mulai membaik, gemetar dan rasa pusing sudah hilang.
Ketika menjalankan sadhana yang
dibimbing oleh Dharmapala Kalacakra, aku
tidak berpuasa.
Memasuki waktu sadhana kepada Buddha
Amitabha, hari itu selesai ibadah di Vihara Sukavati Prajna, dalam perjalanan
aku berbicara dalam hati, mulai besok aku
akan bersadhana khusus kepada Buddha Amitabha dan mempunyai niat untuk berpuasa
tidak makan selama tujuh hari berturut-turut, apakah aku sanggup ya? Kemarin
waktu mencoba tiga hari saja tidak kuat, badan sudah gemetar dan sedikit pusing
apalagi nanti selama tujuh hari berturut-turut. Tapi semoga para Buddha-Bodhisattva
memampukanku, ucap hati ini memohon.
Aku sering sekali melihat dari
tayangan televisi beberapa orang yang dalam keadaan tidak beruntung hidupnya
mampu bertahan tidak makan dalam beberapa hari, akupun ingin mencoba merasakan
apa yang mereka derita, ditengah pemikiranku itu tiba-tiba ada suara dalam hati
berkata: “Jangan hanya sekedar ingin
merasakan penderitaan para insan atau manusia yang memang tidak beruntung
hidupnya, tetapi alangkah lebih baik lagi jika uang yang biasanya kamu gunakan
untuk makan, pada hari kamu berpuasa kamu berikan kepada orang-orang yang tidak
beruntung tersebut!” setelah sampai di rumah, aku makan sebelum jam 00:00
WIB sebagai santapan terakhir menjelang esok mulai berpuasa.
Esok harinya ketika berangkat
bekerja, aku memikirkan suara yang berbicara menasihati agar jangan cuma
berpuasa karena ingin merasakan penderitaan orang lain tetapi alangkah lebih
baik lagi jika kita bisa berbagi dengan orang-orang yang memang tidak beruntung
hidupnya. Tapi kupikir, bagaimana aku bisa tahu orang-orang yang kurang
beruntung hidupnya dan yang bisa ku tolong? Akupun menyerahkan ini kembali
kepada bimbingan para Buddha-Bodhisattva, para Dharmapala, para Dewa dan para
Dakini, aku berdoa dan mohon petunjuk jika pada hari aku berpuasa selama tujuh
hari ini ada orang-orang yang memerlukan pertolongan dan sekiranya layak
menerima belas kasih para Buddha-Bodhisattva sekalian, mohon tunjukkan padaku
dan tajamkan firasat atau hati ini bahwa orang tersebut memang para
Buddha-Bodhisattva tentukan agar aku boleh menjadi saluran berkatMu bagi orang
dimaksud.
Dalam melakukan puasa ini, akupun
masih mempunyai rasa lapar pada jam-jam tertentu, misalnya ketika jam makan
siang, sore hari terkadang malampun rasa lapar itu datang. Di hari pertama aku
berpuasa, aku berangkat agak siang mendekati waktu tengah hari, sebelum
berangkat aku berdoa mohon petunjuk Buddha-Bodhisattva jika memang hari ini
bisa menjadi saluran berkat bagi orang lain.
Jam berkerjaku mulai dari pkl.15:00
s.d 23:00 WIB hari senin hingga sabtu kecuali minggu/libur hari besar nasional,
seperti biasanya aku berangkat kerja membuat klise (film) untuk keperluan
cetak, dalam perjalanan kembali akupun berdoa menanti-nantikan petunjuk jika
memang nanti di perjalanan aku memenemukan seseorang yang memang layak menerima
berkat dari Buddha-Bodhisattva. Senja berlalu gelap malampun datang, jalanan
Jakarta kala itu basah oleh hujan yang turun sore tadi, udara dingin menerpa
dalam perjalanan, tiba-tiba di sebelah kanan jalan yang berkelok dari arah
Kebayoran menuju Permata Hijau di bawah halte bis kota aku melihat sosok
laki-laki duduk sendiri di depannya ada seonggok karung lusuh, hatiku seperti
bicara dialah orang yang tepat, karena ada pembatas jalan aku tidak bisa
langsung putar arah, jadi aku berbelok diputaran terdepan, aku berhenti di
depan halte, merapatkan tangan memberi hormat, lalu bertanya, “maaf pak boleh saya tahu, bapak sedang apa
disini?”. “tidak sedang apa-apa,
sedang istirahat saja” sahutnya. “maaf
pak bapak sudah makan belum?” tanyaku, “belum
nak” timpalnya. “begini pak, jika
bapak ingin makan mari kita cari tempat makan/warung nanti bapak yang makan,
saya akan membayarnya untuk bapak, bagaimana?” bapak itu agak sedikit
bingung, lalu aku meneruskan “kita cari
warung sekitar sini, nanti bapak yang makan, saya yang traktir terserah bapak
mau makan apa?” sahutku, tak jauh dari halte tersebut ada warung tenda dan
ada tertulis sedia nasi uduk dan lain-lain, aku bertanya padanya apakah beliau
mau makan di warung tenda itu? Dia melihat ke arah warung tersebut lalu
mengiyakan, sampai disana bapak tersebut tidak ingin makan di warung tenda
tersebut, aku bilang tidak mengapa makan disini, tapi ia menolaknya, lalu pesan
makanannya dibungkus saja dan ia akan memakannya di halte tempatnya tadi. Aku
berucap “pak makannya mau pakai lauk apa?
daging ayam?” tanyaku, namun iya menolaknya “tidak usah pakai telur saja”, meski aku memaksanya iya tetap
bersikukuh, aku bayar makanan yang sudah dibungkus itu, lalu berpamitan pada
bapak tersebut karena harus melanjutkan kerja, iyapun mengucapkan terimakasih.
Hari berganti, seperti biasa aku
berharap bisa bertemu dengan orang-orang yang memang layak menerima uluran
kasih/berkat dari para Buddha-Bodhisattva. Seingatku, siang itu berkendaraan
motor akan menuju tempat pemakaman ayah yang berlokasi di TPU sebelah bandara
Soekarno-Hatta, si sebuah jalan desa dekat rumah, aku bertemu dengan seorang
bapak dia mengeluarkan kantung plastik dari sakunya, kemudian aku berhenti di
depannya, iapun merasa terkejut, lalu aku merapatkan tangan memberi hormat dan
berkata, “maaf pak, bapak mau kemana?”
tanyaku, “ini saya mau mencari sampah
plastik/botol bekas minuman” jawabnya, “begini
pak, maaf sebelumnya apakah bapak sudah makan? kalau bapak ingin, mari kita
cari warung nasi atau rumah makan, bapak makan terserah pilihan bapak yang
enak-enak juga ngga apa-apa, nanti makannya saya yang bayar” begitu
sahutku, tapi bapak tersebut hanya meminta uangnya saja agar diberikan padanya,
kubilang maaf aku tidak bisa memberikan uangnya, aku hanya ingin mentraktir
bapak makan, “ayo naik motor, saya
bonceng, kita cari tempat makan, terserah bapak yang pilih” mintaku, tapi
bapak itu ragu-ragu, setelah aku pastikan akhirnya dia mau juga dibonceng motor
olehku. Tidak lama dia menunjuk sebuah warung Tegal, “disana saja” ujarnya seraya menunjuk arah warteg tersebut. Aku
memastikan, “yakin mau makan disana?
Tidak di rumah makan?”. “sudah tidak apa-apa.” jawabnya. Sesampainya di
warteg tersebut aku memesankan makan untuk bapak itu, “pak pakai sayur?, lauknya pakai daging ayam ya?.” Jawab bapak
tesebut terserah saja, bapak tadi menerima sepiring makanan dengan tangan yang
bergetar, aku tidak tahu penyebab tangannya bergetar apakah karena suatu
penyakit atau memang ia menahan lapar karena belum makan, selesai memesan
akupun langsung membayarkan makan tersebut, lalu aku bilang ke bapak tadi pak
makanannya sudah saya bayar, bapak makan saja yang tenang, ini masih ada uang
kembalinya bapak simpan saja, saya permisi dahulu mau melanjutkan perjalanan.
Sebelum bertemu seorang bapak siang itu lapar mulai terasa, dan ajaibnya
selesai meninggalkan bapak tadi yang makan dengan lahapnya rasa lapar yang tadi
ada bisa hilang dan merasa seperti kenyang sehabis makan.
Suatu hari aku di undang untuk
menghadiri pesta pernikahan salah seorang umat di VSP yang berlokasi di sebuah
gedung dekat Harmoni-Jakarta, aku datang bersama saudara sepupu. Ketika
menerima undangan tersebut aku lihat tanggalnya dan berpikir bahwa pada tanggal
tersebut aku masih menjalankan puasa, bagaimana ini apakah aku datang
menghadirinya atau tidak, kalau tidak datang aku merasa tidak enak, kalau
datang pun aku merasa tidak enak juga takut tidak menghargai dan karena sedang
berpuasa pasti tidak mencicipi hidangan yang disediakan, tapi hati ini bicara
dan menyarankan untuk datang saja, tidak apa-apa walaupun saya sedang berpuasa,
mereka pasti akan mengerti.
Setiap hari aku diberikan petunjuk
untuk bisa menolong orang-orang yang memang patut untuk ditolong, ada juga
ketika sore hari aku bertemu dengan seorang nenek (mbah) di jalan menuju arah
Kebayoran Lama, dia menggendong buntelan dengan kain yang melintang
dipunggungnya, aku berhenti disisinya lalu menanyakan pada nenek itu, “maaf nek, nenek mau kemana?” tanyaku, “aku arep mulih ngger” (“saya mau pulang
nak”) jawab nenek itu, “pulang
kemana?” tanyaku, “omahe mbah, adoh”
(“rumah nenek, jauh”) jawabnya tanpa memberikan detailnya, tanyaku kemudian
“maaf mbah, mbah ini sudah makan belum?”,
“mangan? durung ngger” (“makan? belum nak”) jawabnya. “mbah mau makan ngga? Kalo mau ayo kita cari rumah makan, mari saya
bonceng bisa tidak?” tanyaku lanjut, tapi sahut nenek itu, “ora, aku isin” (“tidak, saya malu”).
Aku mendengarnya lalu berkata ngga usah malu ayo kita cari rumah makan
dekat-dekat sini saja, aku sambil melihat ke arah depan, kanan-kiri, lalu
kebelakang berharap bisa menjumpai rumah makan atau warung makan, meski sudah
tengak-tengok namun sayang tidak ada satupun tempat makan dekat situ, dan nenek
itupun tetap berkukuh malu katanya. Akhirnya aku putuskan untuk memberinya uang
saja, saya berpikir biarlah ia sendiri yang mencarinya, aku bilang “mbah, aku kasih uang saja ya, nanti mbah
bisa beli makan sendiri kan?” tanyaku. “duit?
Iyo, iyo, mengko tak golek mangan karo putu ning omah” (“uang? Iya, iya, nanti
saya cari makan dengan cucu di rumah”) jawabnya, setelah aku memberinya
selembar uang, ia terima dengan gembira, lalu dia meraih leher ini sambil
mendekatkan mulutnya ke telingaku lalu berterima kasih dan mendoakanku dengan
bahasa daerahnya yang kental. Akupun berterima kasih padanya, sambil berpamitan
juga berpesan agar uangnya di simpan dengan baik jangan sampai hilang, nenek
itu terus mengucapkan terima kasih dengan bahasa daerahnya yang kental. Sambil
memandang wajah keriput nenek tadi yang di kedua ujung matanya terlihat belek,
aku berkata dalam hati sungguh luar biasa cinta kasih nenek ini walaupun ia
berada jauh dari cucunya namun ia tetap mengingat akan orang-orang yang
dikasihinya. Aku jadi berkaca pada diri sendiri, akan begitu besarnya cinta
kasih para Buddha-Bodhisattva kepada para insan meski terkadang kita
melupakanNya karena kesibukan kita masing-masing.
Hari kelima, ketika malam sepulang
membuat klise/film untuk keperluan pencetakan aku melewati rute jalan yang
tidak biasa karena rute yang biasa ku lewati jika dibawah jam 23:00 WIB sering
macet, maka aku mencoba mencari jalan alternatif, ditengah perjalanan sepanjang
arah Tanah Kusir-Rempoa jika malam memang banyak pedagang yang menjual makanan
pada warung tenda seperti pecel lele atau ayam, seafood, dll. Suatu ketika aku
melewati sebuah warung tenda yang menjual seafood, karena tempatnya disisi
jalan raya maka aroma masakan itu terhirup olehku dan menggoda imajinasi
sepertinya masakannya enak sekali pikirku, tapi saat ini aku kan sedang
berpuasa mana mungkin bisa membeli dan merasakannya, nanti saja jika sudah
lewat masa berpuasaku begitu pengabaianku. Esok hari masih melewati jalan dan
rute yang sama, dan kembali hidung dan perut ini digoda oleh aroma memikat dari
masakan yang dijual pada warung tenda tersebut.
Hari ketujuh, seingatku tidak melewati
rute tersebut melainkan jatuh pada hari jum'at yang bertepatan pada jadwal
ibadah dan memang setiap selasa dan jum'at aku bertukar jam kerja dengan teman
agar bisa pergi beribadah. Sepulang ibadah, pada pukul 00:00 WIB nanti adalah
saatnya untuk mengakhiri masa puasaku selama tujuh hari berturut-turut pikirku,
dan dalam perjalanan pulang aku memikirkan, nanti sebagai makan pembuka
sepertinya harus yang ringan jangan yang berat, kayaknya baik jika aku makan
bubur ayam sebagai pembuka saat akhir masa puasa nanti tiba. Namun sayang dalam
perjalanan aku tidak konsen pada tujuan, akhirnya terlewat lokasi yang kutahu
ada penjual bubur ayam, hingga tiba dirumah tidak menemukan lagi penjual bubur
ayam. Sampai mendekati lokasi rumah, yang ada hanya pedagang nasi goreng,
akhirinya aku putuskan untuk membeli nasi goreng saja. Sampai di rumah pun
kebetulan tidak masak waktu itu, akhirnya aku
memakan makan yang menurutku tergolong berat, nasi goreng, sebelum
menyantapnya aku berdoa, mengucap syukur sudah bisa mengakhiri masa puasa dan
kiranya pencernaanku bisa untuk menerima makanan berat ini. Atas pertolongan
para Buddha-Bodhisattva, Dharmapala, para Dewa dan Dakini tidak membuat sakit
sistem pencernaanku setelah mengkonsumsi makanan tersebut.
Esoknya kembali bekerja dan melewati
rute Tanah Kusir-Rempoa, bermaksud sambil lewat nanti untuk membeli makan yang
dijual pada warung tenda yang kala itu sepertinya meracik masakan hingga
aromanya memikatku, aku tidak perhatikan warung tenda yang mana saat itu,
akhirnya kuputuskan untuk pelan-pelan jika melewati setiap warung tenda dan
berharap aroma yang kala itu aku rasakan bisa kutemukan, namun tidak satupun
aroma masakan yang keluar dari warung tenda yang dilewati memikat, aku merasa
biasa saja tidak ada sesuatu yang istimewa seperti beberapa hari yang lalu.
Kemudian aku berpikir mungkinkah itu semacam godaan ketika kita sedang
menjalankan pembinaan diri/bimbingan kepada para Buddha-Bodhisattva, apakah
kita bisa bertahan atau terhanyut ketika godaan itu diijinkan datang untuk
menguji kita.
Selama tujuh hari bimbingan selalu
saja ada orang-orang yang ditunjukkan padaku untuk bisa menerima aliran berkat
dari para Buddha-Bodhisattva, dan dalam masa itupun diri ini banyak belajar dan
mempunyai pandangan yang berbeda tentang kehidupan, interaksi dengan sesama
insan, dibanding dahulu ketika aku belum mengetahui tentang Dharma Buddha,
hingga hari inipun aku masih terus belajar dan berusaha memahami dalamnya makna
ajaran-ajaran Buddha Dharma bagi diri ini, agar kehidupan saat ini bisa
dijalani dengan lebih baik lagi kedepannya, aku menuliskan ini bukan untuk
pamer atau berbangga atas apa yang pernah dilakukan, namun sebagai sharing atau
sarana berbagi pada umat sedharma khususnya apa yang kualami, aku berharap
dukungan pula dari para umat sedharma agar bisa berbagi pemahaman denganku yang
masih awal sekali dalam mengerti tentang Dharma Buddha. Terima kasih kuucapkan
pada V.A. Sukhavati Prajna dan para umat semua karena berkenan membimbing
hingga aku bisa berjodoh dengan ajaran Buddha. Semoga semua makhluk berbahagia,
Amituofo.
- Na Mo . San Man Tuo . Mo To Nan .
Wa Re La Mi -
MAHYURI
Sebelumnya aku adalah seorang penganut Katolik yang memiliki orang tua
penganut kepercayaan/Kong Hu Cu. Aku mengenal dan mengetahui Vihara Sukhavati
Prajna melalui buku yang tulisan V.A. Sukhavati Prajna yang pada saat itu masih
berupa Cetya.
Kedatanganku yang pertama kali
membuatku banyak bertanya tentang keanehan yang sering terjadi dalam hidupku.
Sejak usia 14 tahun aku sering mendengar suara dan melihat makhluk yang tidak
dapat dilihat oleh mata orang biasa. Di saat orang tuaku membuat altar dirumah,
menjadikan aku sering bertemu dengan Buddha-Bodhisattva dalam mimpiku, dimana
mereka beberapa kali pernah mengajakku berkeliling ke tempat yang tidak pernah
kulihat. Keanehan lain adalah aku akan ke suatu tempat yang akan kukunjungi
terlebih dulu sebelum secara fisik aku pergi. Di dalam agamaku hal seperti itu
tidak dapat dijelaskan dan akupun tidak berani bercerita kepada orang lain
selain orang tuaku, karena hal seperti ini takut tidak bisa diterima, yang ada
justru aku dianggap tidak waras.
Keanehan ini kutemukan jawabannya
setelah bertemu dengan V.A. Sukhavati Prajna yang menjelaskan bahwa aku
berjodoh dengan jalan dharma. Hal ini membuatku yakin akan pilihanku untuk
mempelajari ajaran Buddha. Awalnya aku mengikuti sesi meditasi dan untuk
pertama kalinya aku merasakan sesuatu di dalam tubuhku. Adanya aliran listrik
yang begitu kencang dan tanganku terasa seperti kesemutan. Didalam hati aku bertanya
apa yang terjadi dengan diriku, tiba-tiba ada suara dari salah satu teman
disana yang membimbingku agar tidak takut dan terus mengikuti gerakan aliran
listrik tersebut. Setelah itu aku dijelaskan bahwa rohku sudah terbangkitkan
dan para Buddha-Bodhisattva selalu melindungiku sehingga tidak perlu takut dan
tidak perlu memikirkan yang tidak-tidak.
Akhirnya aku memutuskan untuk
menyediakan waktu sesering mungkin untuk ke Cetya. Setelah beberapa kali kesana
aku mengalami kendala, yaitu tidak diizinkan untuk beribadah lagi. Hatiku
sangat sedih dan ingin rasanya berontak, karena aku tidak melakukan sebuah
kesalahan yang merugikan orang lain ataupun melanggar norma masyarakat.
Walaupun suamiku mendukung apa yang ku jalani, tapi kami tidak mempunyai daya
untuk melawan.
Kejadian ini terus membuatku
bertanya kenapa melarangku beribadah dan membuatku tidak bisa ke cetya lagi dan
hanya bershadana dirumah saja, kesedihanku semakin menjadi dan timbul rasa
kesal kepada mereka, karena itu semakin lama kehidupan rumah tanggaku juga
menjadi terganggu.
Banyak nasihat yang diberikan orang
sekitar yang akhirnya membuatku berpikir keras, bukankah menjalankan dharma
untuk membantu dan membahagiakan sesama. Jika kekesalan ini kupendam terus
menerus akan membuat diriku menjadi semakin mundur dalam membina diri. Akhirnya
aku menyadari bahwa sudah sepantasnya aku belajar sabar menahan emosi terhadap
masalah ini dan aku yakin para Buddha-Bodhisattva sedang menyiapkan sesuatu
yang indah untuk hidupku. Banyak hal positif yang aku alami selama menekuni
diri dalam dharma. Tubuhku semakin sehat dan tidak sakit-sakitan lagi. Disaat
aku mengalami kesedihan, untuk pertama kalinya Dharmapala Ucchusma
membimbingku, mengajarkanku untuk berani menghadapi lawan yang tidak dapat
dilihat dengan mata biasa, menggunakan kasih sayang dan sifat mengampuni.
Walaupun aku sudah tidak ke Cetya
lagi, akan tetapi aku selalu mengetahui perkembangan cetya dan berusaha untuk
bisa hadir dalam perayaan, sampai peresmian Cetya menjadi Vihara. Semakin lama
dengan berjalannya waktu aku mendapatkan banyak penglihatan dan petunjuk dari
Buddha-Bodhisattva, Dharmapala, Dewa dan Dakini.
Dalam meditasiku, Bodhisattva Tat Mo
pernah datang memberiku sebuah kuas dan tintanya serta sebuah buku yang sudah
diberi stempel. Aku tidak mengerti apa arti dan maksud pemberiannya, tetapi aku
dengan hati terbuka menerima semua yang diberikan, karena aku yakin ini adalah
hal yang baik. Setelah beberapa lama aku dibimbing oleh Sie Mien Fo yang
memberiku petunjuk untuk ke Vihara di daerah Bandung. Disana aku diberi sebuah
bendera. Begitu pula Bodhisattva Manjusri datang dalam meditasiku dan memberiku
selembar kertas putih sambil berpesan “Suatu saat ini akan berguna untukmu“.
Kedatangan para Buddha-Bodhisattva selalu membawa petunjuk untukku, begitu juga
disaat Chi Tien Ta Sen Fo datang mengajariku tentang jalinan jodoh diantara
makhluk hidup. Bodhisattva Avalokitesvara yang memberiku semangat atas
keputus-asaan yang kuhadapi dan dengan kelembutan memberiku cinta kasih yang
besar.
Dengan cinta kasih itu pula
seharusnya aku menyelesaikan masalahku. Disaat rasa kebimbingan muncul dalam
hatiku, selalu saja Buddha-Bodhisattva datang membesarkan hatiku, Chi Lan Pho
Sat meminta agar aku membaca SutraNya untuk mengatasi kebimbingan dalam diriku.
Banyak sekali kebaikan yang
diberikan padaku, sampai suatu saat aku diberitahu bahwa aku terpilih menjadi
calon Dharmaduta Vihara Sukhavati Prajna pilihan Mahadewi Yao Chi. Aku menerima
dengan kerendahan hati. Aku baru tersadar, bahwa hal ini berhubungan dengan kejadian
sebelum berjodoh dengan V.A. Sukhavati Prajna.
Dulu sekali aku pernah bermimpi
bercakap-cakap dengan Mahadewi Yao Chi, percakapan ini mengenai roh asal dan
jati diriku. Dan tidak pernah menyangka bisa berjodoh dengan Mahadewi Yao Chi
dalam kehidupan ini dan menjadi wakilnya untuk Vihara Sukhavati Prajna. Aku
sangat bersyukur berjodoh di jalan ini dan berterima kasih atas perhatian yang
telah diberikan oleh para Buddha-Bodhisattva.
- Om . Jin Mu Siddi Hum-
VAJRA
DIPAMKARA RAJA
Diriku
38 tahun silam tepatnya di tahun 1974 saya dilahirkan sebagai anak
pertama disebuah keluarga di kota Palembang, Sumatera Selatan. Saya hobi
membaca buku motivasi dan pengembangan diri terutama membaca buku-buku dharma.
Dari semenjak kecil saya sering sakit-sakitan,
dan sering juga kena kejang karena panas tinggi, mataku juga pernah dioperasi
karena ada tumbuh daging hitam sebesar kacang hijau, menurut kepercayaan agama
yang dianut nenekku dibawalah saya ke Kelenteng untuk diangkat menjadi anak
Kwan Im Pho Sat dengan tujuan agar selalu terlindungi.
Saat sekolah, dari SD hingga SMA
bersekolah di Sekolah Katolik, jadilah aku beragama tersebut. Saat ini walaupun
sudah menekuni agama Buddha saya masih hafal dengan beberapa doa yang diajarkan
saat sekolah dulu. Dari sejak kecil saya ingat sekali bahwa saya sangat
menyukai semua film dan semua cerita tentang Buddha, dan pernah menanyakan
kepada mama waktu itu kenapa saya bukan belajar agama Buddha saja, mama
menjawab nanti setelah Dewasa kamu boleh bebas memilih agama, sekarang
belajarlah agama yang sesuai dengan pendidikan sekolah.
Singkat cerita hingga tahun 1997
saya mulai mengenal Bodhisattva Kwan Kong, itu yang saya tahu saat itu, dan
baru mengenal agama Buddha hanya masuk dari satu Kelenteng ke Kelenteng lainnya
cuma itu saja. Dan saat mulai mengenal Sutra KAO WANG KWAN SE IM CEN CING di
Kelenteng di Puncak Gadog, saat itu ada yang membaca saya senang mendengarnya
lalu kami semua duduk bersila dan mulai membaca bersama dengan lantang dan
semangat, dan sampai disitu saja.
Tahun 2000 bulan 2 saya kerja di
suatu pabrik garment disanalah saya mengenal seseorang perempuan. Saat itu saya
memohon kepada Thien Kung dan para Buddha-Bodhisatva, jika dia adalah jodoh
saya muluskanlah jalan kami. Dan ternyata benar adanya, dia menjadi pasangan
hidup saya. Saat menikah kami merasa bahwa pernikahan kami dihadiri oleh para
Bodhisattva, karena aku mengenal seorang paman yang mendapat karunia penyatuan
dengan Bodhisattva Kwan Kong bukan karena dari belajar, dan pasangan suami
istri penekun Buddha yang istrinya mendapat karunia penyatuan dari Kwan Im Pho
Sat, dan suaminya mendapat karunia penyatuan dengan Buddha tapi saya tidak tahu
Buddha yang mana, dan juga kenal seorang teman yang menjadi medium oleh Buddha
Chi Kung, senang sekali rasanya saat itu.
Saat menantikan lahirnya seorang
Putra kami, saya memohon bantuan kepada Bodhisattva Kwan Kong yang biasa hingga
saat ini saya panggil dengan sebutan Kung Kung Kwan Lau Ye, karena saya pernah
mendapatkan nama dariNya. Karena menurutnya nama lahirku tidak cocok untuk
diriku, dan diberikanlah nama untuk kusandang agar bisa mempunyai kehidupan
yang lebih baik.
Awal Pencarian
Di Tahun 2008 saya membaca sebuah buku tidak ingat dari siapa saya
mendapatkannya tapi buku itu sangat menarik, hingga saya simpan lama dan
akhirnya saya buka dan baca lagi, lalu saya tertarik untuk mengenal lebih
lanjut, sehingga saya mulai mencari tahu Vihara terdekat yaitu di daerah
Karawaci, saya telepon dan diterima oleh seorang secie, kami janji temu di minggu
saat puja bakti, lalu saya diperkenalkan seorang sexiung, yang mengajarkan saya
tata cara puja bakti, awalnya saya merasa aneh dan janggal karena sudah lama
tidak ikut puja bakti Buddha, terakhir tahun 2004 saat menikah saja setelah itu
tidak pernah, akhirnya saya ikut beberapa kali di setiap hari minggu, lalu
menghilang lagi. Suatu hari diakhir pekan saat saya naik motor bersama mama
menuju ke toko tidak begitu jauh dari rumah, di siang terik matahari, dengan
rasa malas tetap saya pergi, dan terjadilah suatu pengalaman bodoh diriku, saya
terlibat pertengkaran dengan sopir mikrolet di daerah Cipondoh Tangerang, saya
dilempar botol aqua besar tapi mengenai mama, saat itu marah saya memuncak
mengejar dan berniat menusuk sopir itu dengan obeng panjang yang tersedia dibox
motorku. Tapi hal itu tidak terjadi karena sopirnya kabur, setelah itu saya
renungkan dirumah, mungkin Buddha-Bodhisattva melindungiku agar hal itu tidak
terjadi, jika terjadi mungkin akan terjadi hal yang menghancurkan keluargaku.
Singkat cerita minggu berikutnya
saya keliling ke toko daerah Palem yang menjual alat sembahyang Buddha, saya
membeli hiolo, lampu merah listrik, pelita minyak, tiga gelas, dan mu'i. Setiba
dirumah langsung saya pasang dan tentu saja istri dan mama, papa terperana kok
spontan begitu langsung pasang. Belum ada rupang apapun, adanya hanya foto Kwan
Im Pho Sat saja yang sudah saya persiapkan sebelumnya. Sejak saat itu setiap
hari saya sembahyang, tapi masih juga pasang surut, karena merasa saya tidak
merasakan sesuatu apakah benar hal ini saya lakukan. Akhirnya perlahan saya
berjodoh mendapatkan rupang Kwan Im Pho Sat dari mama mertua, lalu mendapatkan
rupang Bodhisattva Kwan Kong dari paman tapi tidak ada tongkat goloknya, sampai
suatu saat saya bisa membuatnya lalu akhirnya saya pasang rupang tersebut, dan
foto Maha Guru sampai saat ini saya masih letakkan di meja altarku, sembahyang
tetap saya lakukan, hingga akhirnya putraku mempunyai tugas sekolah untuk
sekolah minggu sesuai dengan agama yang dianut masing-masing murid di
sekolahnya, lalu saya membawanya untuk ke sekolah minggu di Vihara Karawaci dan
saat itu juga saya lihat ada puja bakti, saya ikutan saja, akhir puja bakti
saya diajak seorang secie untuk ikut meeting ke atas, saya ikutin saja, saat
diatas rupanya meeting orangtua pengurus sekolah minggu, akhirnya saya mulai
sedikit terlibat dengan hal kepengurusan sekolah minggu walau sebentar.
Awal Mengenal
Hingga pada saat Maha Guru Lu datang ke Indonesia pada tahun 2010 saya
ikut membantu sedikit walau bukan panitia, saya membantu teman-teman yang
menjadi panitia, saya membeli kertas angpao dan membagikan ke umat yang hadir
saat itu dari berbagai Negara. Saat itu saya melihat ada buku diatas meja, saya
lewati saja, tapi kok seperti tertarik kembali ke meja itu, lalu saya ambil dan
saya simpan dalam tas, malamnya saya baca buku itu bagus sekali dan saya cari
tahu siapa penulisnya dan dimana dia, rupanya ada alamat cetya di daerah Poris,
lalu lusa/dua hari kemudian saya coba cari tahu dimana cetya tersebut, tidak
ketemu pada upaya pencarian dihari ke-1, suatu hari saya teringat untuk mencari
sampai ketemu, lalu saya katakan dalam hati saya harus cari tahu diakhir pekan,
ternyata saya lupa, teringat kembali saat makan malam jam 6 sore (sabtu/minggu)
teringat saya harus mencari alamat tersebut, saya naik motor cari dan bertanya
ke orang yang saya temui, akhirnya Amituofo, saya bisa ketemu, tapi sudah
ditutup pintunya, saya seperti didorong untuk ketok pintu, akhirnya dibuka oleh
seorang wanita dan didampingi anak perempuannya.
Saya : “Selamat malam, ini cetya Sukhavati Prajna ya, saya tahu cetya ini dari
buku (saya tunjukkan), bisa saya ketemu dengan Penulis buku ini?”
Dijawab: ”Ya bisa”, [akhirnya pintunya dibuka] lalu saya dipersilahkan duduk
di kursi putih,
Saya: “Anda Penulisnya sendiri ya ?”
Dijawab: ”Ya”
Saya: [dalam hati] wow surprise
sekali masih muda sudah menulis buku dharma tersebut, tapi kok pendiam ya. Wah
mau tanya apalagi ya. [karena saya terdorong untuk datang cari cetya tersebut,
ketok pintu, bertemu Penulisnya lalu sudah]. Akhirnya saya tanya jadwal puja
bakti, dan bicara hal lain saya tidak ingat lagi.
Saat mau pulang saya bertanya apakah
ada buku lainnya, lalu diberikan 2 buku lainnya dan saya mohon ijin untuk
bernamaskara di altar lalu saya pulang.
Lalu akhirnya saya coba datang
disaat ada waktu, lalu saya masih putus sambung dalam melakukan sadhana hingga
akhirnya istri akan melahirkan, saya terdorong untuk menanyakan kapan tanggal
baik untuk lakukan operasi Caesar, pada hari kamis konsultasi akhirnya
diberikan petunjuk tgl. 25 maret tepatnya dihari perayaan Buddha Thatagatha
Samanthabadra Bodhisattva, lalu saya renungkan kembali nama untuk anakku yang
akan lahir karena sudah diketahui bahwa perempuan. Akhirnya saya tertarik
dengan nama Samantha, istriku setuju. Dan hal lain yang saya tanyakan untuk
memohon kesediaan V.A. Sukhavati Prajna untuk melakukan pemberkatan altar di
rumahku, dan akhirnya disetujui pada hari minggu tepatnya satu minggu sebelum
kelahiran putriku, Beliau berpesan untuk melakukan sadhana puja bakti setiap
hari dirumah, malamnya saya ikuti pesan tersebut, ternyata saya alami
pergerakan roh, yang perlahan muncul dari bawah hingga menuju ke badan atas,
badan saya bergerak berputar putar dalam posisi duduk bersila. Disitulah awal
terjadinya pergerakan roh dimulai.
Singkat cerita tgl. 25 Maret,
putriku lahir dengan sempurna, saya menunggu dipanggil masuk melihat putriku,
saya sms ke semua orang yang saya kenal, hingga hpku overload dan baterai pas
habis dan di charge. Akhirnya saya dipanggil masuk untuk melihat putriku, menurut
cerita suster terbungkus dengan selaput putih yang banyak bersih sekali, tidak
lama kemudian saya keluar cek telepon genggam, ternyata ada sms dari V.A.
sebagai berikut,
“Ko
David, hasil meditasi saya pagi ini saya mendapat pesan dari Samanthabhadra
Bodhisattva untuk memberikan nama pada anakmu yang baru lahir dengan nama GHO
PU XIAN”
Saya langsung telpon ke V.A. dan
menanyakan kok bisa kebetulan sekali nama Indo-nya Samantha dan nama
Mandarinnya PU XIAN, apakah tidak keberatan namanya karena nama Buddha dan
merupakan Buddha ditingkatan Thatagatha, dan Beliau mengatakan bahwa itu pesan
dari Buddha artinya tidak masalah.
Akhirnya dengan hati bersukacita
saya menerima, saya mengabarkan hal tersebut ke semua pihak keluarga, dan
semuanya pun bersukacita.
Langkah Pertama ku
Sekitar satu bulan lebih dari kelahiran putriku, saya belum bisa ikut
hadir pujabakti di cetya, hingga
akhirnya seiring dengan berjalannya waktu saya mulai bisa mengikuti bersadhana
puja bakti di cetya, datang kembali rupanya sudah mulai ada pembangunan
perluasan gedung bagian belakang. Saat itu gedung telah rampung dan rupanya
juga sudah dilakukan pemberkatan yang saya tidak hadiri, saat pujabakti
tiba-tiba saya tergerak hati untuk harus belajar pegang alat gendang, tapi
dalam hatipun terpikir apa iya diijinkan, tapi sepertinya terus didorong untuk
menanyakan hal tersebut, hingga akhirnya saya diijinkan untuk belajar, dan
belajar belum lama akhirnya langsung didorong untuk bertugas padahal masih
kacau balau banget, tapi saya ikuti saja kata hati yang baik, walau ada rasa
takut jadi bahan omongan orang, lalu belum lama pegang gendang dan sepertinya
ada dorongan untuk lakukan hal yang lain, tapi akhirnya V.A. membagi tugas
kepada kita semua yang mau membantu.
Persiapan Acara Syukuran Vihara
Suatu hari V.A. mengabarkan nama-nama orang yang dipanggil untuk
pertemuan terkait dengan persiapan Syukuran Vihara, saya merasakan ada hal yang
tersentuh dihati dan pikiranku. Dalam hati aku ingin berbuat dan melakukan
sesuatu bantuan, akhirnya ada kesempatan juga bagiku untuk bicara, saat itu
Ketua Cetya sedang duduk di depan dibawah sofa dengan santai sedang melakukan
sesuatu, saya bertanya dengan dialog sebagai berikut:
Saya: “Tangcu,apakah ada hal yang bisa saya bantu”.
Ketua Vihara: “Apa benar nih bisa, kan kamu kerja, nanti takutnya tidak ada waktu.”
Saya: ”Saat itu memang saya sedang sibuk dipekerjaan ada tugas luar, tapi
saat ini saya sudah ada waktu, dan bisa coba atur waktu, jika diijinkan saya
mau membantu.”
Ketua Vihara: ”Baiklah kalau begitu nanti saya akan beritahu ke ketua panitia.”
Saya: ”Baiklah, terima kasih.”
Lalu esok harinya saat kebaktian
selesai saya biasanya sudah mau pulang, lalu agaknya kok tidak bisa pulang
seperti ada sesuatu yang membuatku untuk tetap diam berdiri di depan pintu
Vihara (saya merasa agak aneh sendiri). Lalu saat V.A. memanggil semua panitia
untuk kumpul guna pertemuan dengan microphone, saya bisa bergerak tapi langkah
saya ke samping menuju pulang, baru 3-4 langkah kira-kira, kok seperti
samar-samar ada yang memanggil yang saya dengar cuma GHO saja, lalu saya
berbalik ke depan pintu Vihara dan
ternyata dipanggil untuk pertemuan juga.
Lalu saya ditanya ingin membantu
dibagian mana, saya bengong karena tidak ada pemberitahuan dan saya juga tidak
tahu ada pesan di dinding, ternyata saya diperbantukan dibagian peralatan dan
perlengkapan yang diketuai oleh saudara Siwa Danuri.
Semua umat dan semua pantia
melakukan segala macam persiapan tapi hingga 2 minggu terakhir kita masih
terbentur beberapa hal, saya sangat sedih, saya bertekad mau melakukan sesuatu
agar acara bisa berjalan dengan baik. Akhirnya walaupun disaat menjelang hari H
masih ada kendala, tapi acara tetap berlangsung dengan hikmat dan lancar.
Sekitar 2 minggu-an sebelum hari H
setelah selesai pertemuan, semua sudah pada pulang tapi heran saya tidak bisa
menurunkan kaki saya keluar gedung, saya tanyakan ke V.A. ada apa gerangan
apakah ada yang belum selesai, kenapa saya tidak bisa menurunkan kaki memakai
sandal untuk pulang, V.A. minta saya menghadap altar, begitu menghadap saya
mengalami pergerakan yoga dan bangkit berdiri, lalu mulai menggerakkan semua
kaki dan tangan seperti gerakan Taichi, begitu selesai saya bertanya pada V.A.
ada apa gerangan, kok bisa bergerak begitu ya, akhirnya V.A. mendapat petunjuk
bahwa Chien Sou Chien Yen Kwan Se Im Pho Sat menginginkan saya melakukan
persembahan acara saat Syukuran nanti. Termasuk juga diberitahukan akan pakaian
yang harus saya gunakan saat pertunjukan nanti. Suatu hal yang sangat
mengejutkan bagi saya, pakaiannya dan alatnya belum ditemukan hingga tinggal
beberapa hari lagi, akhirnya ada umat yang datang dan akhirnya meminjamkan
pakaian dan juga alatnya sama seperti yang dibutuhkan. Luar biasa sekali, jika
Buddha-Bodhisattva sudah berkehendak, apapun bisa terjadi.
Mulai mendapat berkah untuk bisa
membantu insan
Setelah selesai acara Syukuran Vihara Sukhavati Prajna akhirnya saya
mendapatkan berkah membantu orang lain, awalnya saat sedang latihan untuk
persembahan Syukuran tersebut saya merasakan kok sepertinya bisa membantu
orang, dan akhirnya saya coba dengan membantu putraku dan keluarga di rumah,
setelah itu, tidak disangka teman sedharma di Vihara memintaku untuk membantu,
saya bilang belum bisa, dia bilang sudah bisa, tidak tahu apakah yang
dirasakannya benar atau tidak karena saya sendiri tidak merasakannya, lalu saat
itu saya mulai memberanikan diri untuk membantu orang lain, dan rupanya saya
belum bisa membersihkan diri sendiri, ketahuannya saat pergi ke rumah duka
salah satu kerabat keluarga dan langsung ke kuburan, sepulangnya dari sana saya
merasakan kok energi negatifnya banyak sekali dibadan, susah untuk
menjelaskannya tapi rasanya badan sepertinya tidak enak, dan akhirnya setelah
mandi saya langsung ke vihara, kebetulan saja di vihara ada beberapa teman
sedharma senior dan akhirnya saya dibantu oleh Wen Zhu dan suaminya Warna Sukma
Kappa untuk membersihkan energi negatif dibadan saya, setelah badan saya bersih
saya melihat mereka berdua badannya sama sekali tidak enak dan bahkan
muntah-muntah angin. Saat itu juga saya merasa tidak enak hati karena sangat
menyusahkan orang lain, dan saat itu juga saya berjanji dalam hati bahwa saya
harus bisa membersihkan diri sendiri dan bertekad untuk membantu semua insan,
dan tidak ada kata atau rasa penolakan terhadap semua insan yang membutuhkan
bantuan diriku. Saya sangat yakin sekali bahwa dengan tekad besar dan bulat
para Buddha-Bodhisattva akan mau membantu saya untuk membantu setiap insan. Dan
setelah mendapatkan bimbingan dari V.A. bahwa saya sendiri harus meminta
petunjuk kepada para Buddha-Bodhisatva cara untuk membersihkan diri, ternyata
benar saya langsung mendapatkan bimbingan saat itu juga, dan mulailah saya pun
merasa nyaman dan tenang dan berani dengan pasti untuk membantu setiap insan.
Dan rupanya tekadku itu didengar dan didukung oleh para Buddha- Bodhisatva
karena setiap insan yang saya bantu merasakan manfatnya, saya senang karena
dengan inilah saya merasakan bahwa hidup saya lebih berarti menjadi manusia.
Saya bisa melatih diri menggunakan tubuh yang palsu ini untuk mencapai tingkat
pencerahan yang lebih tinggi.
Guru Adinata ku Dharmapala
Bodhisattva Acalanatha Bodhisattva
Hari-hari terasa cepat berlalu, acara Syukuran Vihara telah selesai
dengan sukses, menunggu tugas berikut, saat itu saya berbicara dengan Karupa
Samdibya, beliau mengatakan “Acara
Syukuran sudah selesai, ulang tahun Kwan
Im Pho Sat sudah, selanjutnya persiapan merayakan Hari Waisak”.
“Apa
yang harus kita lakukan untuk persiapannya?” tanyaku,
Nanti saja tunggu instruksi dari
V.A., [saat itu V.A. sedang ada undangan
menghadiri suatu acara].
Beberapa hari sebelum Waisak tahun
2012 saya menemui V.A. menanyakan suatu hal, tepatnya di hari kamis, ternyata
ada pesan dari Dharmapala Bodhisattva Acalanatha Bodhisattva bahwa Beliau
memilihku dan menanyakan kesediaanku untuk menjadi calon Dharmaduta Vihara,
spontan saya jawab mau. Tapi Acalanatha Bodhisattva itu yang mana saya belum
tahu, akhirnya saat saya diajak ke altar untuk ditunjukkan rupang Acalanatha
Bodhisattva, tidak lama kemudian, seorang anak muda hadir di vihara meminta
tolong karena papanya sakit sesak nafas sudah 2-3 hari pada jam tertentu, Ketua
Vihara bertanya apakah bisa dibawa ke vihara, akhirnya anak tersebut pulang,
saya katakan ke V.A. bahwa ada reaksi energi spontan saat itu, dan kemudian
datanglah paman itu dan duduk di depan altar, lalu V.A. membantunya tidak lama
kemudian V.A. minta saya untuk bantu perhatikan paman tersebut, lalu saya
pegang dan akhirnya saya sendawa dan disusul dengan dia sendawa di sertai
batuk, tidak lama kemudian perlahan nafasnya mulai membaik tidak sesak lagi.
Terbesit ada yang memberitahu bahwa didepan ada sesuatu, dan saya sampaikan ke
V.A. Dan Beliau katakan jika ada dorongan untuk ke depan silahkan, kata-kata
V.A. seperti perintah, otomatis saya ke depan dan didepan pintu Vihara otomatis
melakukan pergerakan yoga tangan dan kaki memperagakan jurus sepertinya adalah
untuk menghalau gangguan negatif. Tidak lama kemudian paman tersebut diantar
keluar menuju pintu oleh V.A. dan Ketua Vihara dengan keadaan sudah nyaman.
Itulah awal pertama kalinya saya praktek langsung setelah saya menerima
Dharmapala Acalanatha Bodhisattva sebagai Guru Pembimbing.
Sejak saat itu pula kepercayaan
diriku semakin meningkat untuk terus membantu setiap insan, perubahan pada
diriku mulai kurasakan, dengan bertambah segar dan sehat.
Memperingati Hari Waisak dan
Pemandian Rupang Buddha Pertama dan Tidak Ternilai Bagiku.
Malam sebelum hari Waisak saya dikonfirmasikan ulang apakah siap dan
bersedia menjadi calon Dharmaduta Vihara, saat itu saya sedang menyetir, dan
saya jawab siap, tapi tidak menyangka bisa begitu cepat.
Keesokan harinya saya dan bersama 4
teman lainnya dilantik menjadi calon Dharmaduta Vihara Sukhavati Prajna, dan
saya diberikan suatu cinderamata sebuah Ru Yi dari Batu Giok yang melambangkan
sebagai “KEBESARAN dan KEKUATAN”
Saya sangat bersukacita, dan saya
siap melakukan tugas dan berusaha selalu membantu semua makhluk agar
berbahagia.
Panggilan Akrab
Kita semua sudah seharusnya memanggil Pemimpin Umat di Vihara Sukhavati
Prajna dengan sebutan Vajra Acharya Sukhavati Prajna, tapi heran sekali rasanya
apakah karena kedekatan dan keeratan hubungan para umat dengan Pemimpin Umat
kita, makanya kita masih tetap memanggil Beliau dengan sebutan yang akrab. Itu
semua karena kerendahan hati dari Beliau, saya pribadi sangat senang sekali
bisa mempunyai Beliau sebagai guru pembimbing yang dekat. Karena selama ini
saya mencoba mencari bimbingan ternyata disinilah saya bisa berjodoh dengan
Buddha-Bodhisattva. Terima kasih V.A. Sukhavati Prajna atas semua bantuan bimbingan
dan ketulusan hatinya membantu kita semua hingga kita semua khususnya saya
akhirnya bisa berjodoh dengan Buddha- Bodhisattva.
Awalnya bimbingan dari para Guru
mulai berdatangan.
Sejak dikonfirmasikan bahwa saya dipilih menjadi Calon Dharmaduta mewakilli
Dharmapala Acalanatha Bodhisattva (Pu Tong Ming Wang) saya diberitahu agar
mencari waktu khusus untuk melakukan sadhana khusus kepada Guru Pembimbing
selama 7 hari berturut-turut tanpa absen, dan saya lakukan saat malam hari,
saat semua sudah dikamar saya lakukan diruang tamu tempat altar saya berada.
Dan setelah hari ke 7 saya mengundang V.A. untuk mampir kerumah sebentar
melihat dimana posisi baiknya saya memasang altar Dewa Bumi. Karena saya
merasakan dorongan kuat untuk segera memasang altar Dewa Bumi, dan waktu Beliau
datang kerumah saya melihat dan pas juga disaat saya sudah bersadhana di hari
ke 7 saya dikonfirmasikan bahwa Dharmapala Ucchusma mengkonfirmasikan melalui
V.A. bahwa saya diminta untuk melakukan sadhana penyatuan khusus kepada Dharmapala
Ucchusma (Hui Ji Jin Kang) selama 7 hari berturut-turut lalu saya mulai
melakukannya hingga 7 hari dan belum genap 7 hari saya lalukan ternyata
datanglah lagi Guru Pembimbing lainnya Dewi Tara Hijau (Lu Tu Mu).
Mendapatkan nama Buddha Dharma dari
Buddha Sakyamuni
Malam hari sekitar jam 23.00 saya mendapat konfirmasi dari Bodhisattva
Kwan Kong yang mengatakan “David
bersiaplah, Buddha Sakyamuni akan datang menemuimu dan memberikanmu nama Buddha
Dharma.” Saya tersentak kaget langsung segar, padahal saat itu saya sedang
persiapan mau tidur dan sudah diranjang, hanya saja anakku yang kecil sedang
rewel mau tidur, jika saya keluar anakku pasti mau ikut keluar kamar, jika
ditinggal pasti anakku akan jatuh dari ranjang, sedangkan istriku sudah
mengantuk sekali, saya tanyakan boleh tidak dikamar diatas ranjang, jawabannya
boleh saja, akhirnya saya duduk bersila diatas ranjang, tapi karena saya tidak
bisa konsentrasi, akhirnya semua sirna kembali.
Keesokan harinya saya belum berani
konfirmasikan hal tersebut ke V.A. karena saya belum pasti, takutnya nanti itu
sebagai halusinasi godaan saja.
Hingga akhirnya 24 Mei pagi hari
saat sedang menyetir mobil menuju ke kantor saya mendapatkan konfirmasi dari Bodhisattva
Dewi Tara Hijau memberitahu ku untuk berkunjung ke Vihara di daerah Tangerang,
Vihara apa ya saya bertanya karena belum bisa konsentrasi, muncullah gambar, oh
ternyata Kwan Im Pho Sat, lalu tiba-tiba langsung terbesit Vihara Kwan Im Pho
Sat yang ada di Banten. Diberitahu beberapa hal yang harus saya lakukan saat
disana dan saya diminta untuk konfirmasikan hal ini dengan V.A., lalu saya juga
diminta untuk ajak mama dan istriku juga. Setelah saya konfirmasikan hal ini
dengan V.A. ternyata benar bahwa saya memang diminta untuk ke tempat itu dengan
suatu misi yang sangat penting dalam hidupku dalam melakukan pembinaan diri.
Setelah diputuskan harinya kami semua pergi ke Vihara Avalokitesvara, yang
pergi saat itu adalah V.A., Ketua Vihara, mama, istriku Linda, dan kedua
anakku. Setiba disana saya duduk meditasi, tapi saya tidak bisa konsentrasi,
rupanya ada terjadi kesalahan yang baru diketahui saat dimobil perjalanan
pulang Ketua Vihara bertanya “David kamu
tadi tidak melakukan simabandhana diri dulu ya saat meditasi.” Jawabku “Ya, oh itu rupanya kesalahanku.” Tapi
tadi setelah meminta bantuan dari para Guru Pembimbing akhirnya saya bisa
mendapatkannya jam 13:30, nama Buddha Dharma yang diberikan padaku adalah “Vajra Dipamkara Raja”
Terus terang saya kurang yakin akan
nama Buddha Dharma yang saya terima itu, saat mau beritahu ke V.A., saya ragu
apa iya saya bisa menyandang nama Buddha Dharma seperti itu. Saya merasa masih
tidak pantas menerimanya, lalu akhirnya setelah saya catat nama itu dikertas dan
diterima oleh V.A. dan Ketua Vihara, mereka memberiku nasihat “Bahwa nama yang baru saja diberikan Buddha
Sakyamuni ini adalah barulah suatu nama yang tujuan akhirnya adalah demikian,
akan tetapi bukan berarti bahwa diri kita sudah seperti apa yang tertuliskan.
Jadi kita janganlah merasa tinggi hati, sombong diri, dan membandingkan dengan
semua umat yang lainnya, jadi kita sendirilah yang harus melakukan pembinaan
diri dengan tekun agar kedepannya bisa sesuai seperti nama yang diberikan oleh
Buddha.” Amituofo saya mendapatkan pencerahan, senang sekali bisa ditemani
V.A. dan Ketua Vihara dalam perjalanan spiritual saya pada hari ini dan
mendapatkan bimbingan dari mereka berdua. Bagi saya mereka berdua adalah Guru
yang Bijaksana, dan Guru terdekat saya dalam pembinaan diri saya di dunia ini.
Sepulang dari sana kita akhirnya
mencari tempat makan siang, ternyata kita juga dipandu, karena tiba-tiba bisa
langsung berhenti lihat rumah makan, ternyata saat pulang barulah kita
menyadari ternyata itu adalah satu-satunya rumah makan sebelum masuk tol
pulang, dan ternyata enak dan tidak mahal, saya senyum sendiri dan dalam hati ”Terima kasih para Guru, Buddha-Bodhisattva
atas panduannya hari ini, dan ini merupakan perjalanan spiritual bagi
keluargaku yang sangat berharga, terima kasih telah mengutus V.A. dan Ketua
Vihara untuk menemaniku, merupakan suatu hal yang sangat luar biasa sekali hari
ini.”
Hari ini 28 Mei saat testimony ini
selesai semua saya kerjakan di siang hari jam 12:00, disertai dengan hujan
besar dan petir serta guntur bergantian. Enak sekali mendinginkan sejenak hari
yang panas ini. Saya sangat senang sekali bisa menerima semua pelajaran
pembinaan diri dari para Guru Buddha-Bodhisattva, saya berharap bisa selalu
tetap bisa berbuat kebaikan terhadap semua makhluk.
Demikianlah semuanya telah
kuceritakan dengan rinci semua pengalaman dan perjalananku mengenal Dharma
Buddha. Semoga bisa menjadi inspirasi yang baik bagi setiap insan manusia atau
makhluk lainnya yang mendengar atau membacanya.
- Na Mo . Sa Man To . Wa Re La . Lan
Han -
SIWA
DANURI
Dulu saya kurang paham mengenai sembahyang. Apalagi mambaca sutra. Bagi
saya sembahyang atau tidak sembahyang sama saja. Biasanya ke vihara hanya ikut
orang tua. Melihat patung-patung Buddha-Bodhisattva, Dewa dan lainnya itu
sangat membingungkan, apalagi dengan sejarahnya yang jarang dijelaskan fungsi
masing-masing termasuk manteranya.
Sudah begitu lama saya ingin mencari
ajaran Buddha/Tao yang bisa membuat saya yakin adanya Buddha/Bodhisattva serta
Dewa-Dewa. Akhirnya saya berjodoh dengan Vihara Sukhavati Prajna, waktu itu
masih berupa Cetya, sesudah bulan 3 tahun 2011 diresmikan menjadi Vihara. Mulai
saat itu saya mulai belajar baca Mantera dan Sutra. Pertama kali mengikuti baca
sutra dan mantera di Vihara saya merasa aneh, karena ada yang bisa menggerakkan
tangan dan badan saat meditasi, akhirnya saya dijelaskan bahwa itu bimbingan
yang disebut chiling/yoga.
Waktu berlalu sudah beberapa bulan,
sayapun bisa beryoga dan ada pemberitahuan bahwa Vihara akan mengadakan
perjalanan spiritual ke candi Borobudur, Prambanan dan Mendut di Yogyakarta.
Dan diberitahu bahwa mereka yang rohnya telah terbangkitkan akan bisa merasakan
sensasi aura yang ada ditempat tersebut. Dan memang benar, sesampai disana kami
bisa merasakannya dan mendapatkan pengetahuan spiritual.
Saat dalam perjalanan saya
bermeditasi di dalam bis, dan pada saat itu saya diberitahu bahwa telah menjadi
murid Buddha Amithaba ke-27, dan mendapat nama Buddha Dharma. Dalam proses
pemberkatan, saya diharuskan bervisualisasi membersihkan sepuluh bagian tubuh
dengan mandi air yang ada disebuah gentong besar.
Setelah pulang dari perjalanan
spiritual, dalam beribadah saya semakin yakin atas kebesaran nama
Buddha-Bodhisattva, Dharmapala dan Dewa. Waktu terus berjalan, saya mendapatkan
berkah bisa menolong orang lain dan dipilih oleh Buddha Vairocana sebagai calon
Dharmaduta Vihara Sukhavati Prajna.
Semoga apa yang diamanatkan oleh
Buddha-Bodhisattva bisa saya jalankan dengan baik dan lancar.
- Om . Vairocana Hum -
ALOKA
SUKHAVATI
Sebelum saya memulai menulis artikel ini, saya hendak berterima kasih
kepada para Buddha, Bodhisattva, Dharmapala, Dewa dan Dakini. Juga suami saya dan V.A. Sukhavati Prajna.
Saya mempunyai 2 orang anak,
sebelumnya saya pernah tinggal di Denpasar Bali, kemudian pindah ke Tangerang
pada akhir tahun 2006 sampai sekarang. Pada awal saya baru pindah ke wilayah
yang saya tempati sekarang, saya dan suami sering bertanya pada penduduk
sekitar, dimana ada Vihara yang terdekat. Tapi tidak ada yang tahu, kami hanya
tahu disekitar Muara Karang ada Kelenteng karena dekat dengan rumah mama saya,
jadi kalau kami berkunjung ke rumah mama kadang kami mampir ke Kelenteng
tersebut.
Suatu hari, waktu saya dan suami ke
Kelenteng yang di Muara Karang, suami saya melihat-lihat di meja tempat buku-buku
dharma, ada yang menarik perhatiannya, yaitu sebuah buku yang berjudul
“Mendapatkan Kontak Batin dengan Para Dewa“, lalu suami saya membawa pulang
buku tersebut. Setelah selesai membaca buku itu, suami saya ingin bertemu
dengan penulis buku tersebut dan akhirnya bertemu.
Pada awalnya kami datang untuk
sekedar berkonsultasi dan di saat sejit Kaisar Langit, kami ikut po'un (stempel
baju) untuk perlindungan selama tahun baru ini. Tidak lama setelah itu, rumah
V.A. Sukhavati Prajna telah menjadi Cetya, setelah kurang lebih 6 bulan kami
tidak datang ke rumahnya lagi. Kami kaget juga, ternyata rumah V.A. sudah resmi
menjadi Cetya Sukhavati Prajna, susunan para Buddha-Bodhisattva juga sangat
bagus dan Altarnya bertingkat, saya belum pernah melihat altar yang bertingkat
seperti itu. Suami saya melihat-lihat pengumuman di madding, ternyata ada
kegiatannya yaitu, setiap hari selasa ada sesi meditasi dan hari jumat ada
pujabakti, dan suami saya tertarik ingin ikut kegiatannya.
Awalnya hanya suami saja yang datang
ikut sesi meditasi, setelah beberapa waktu suami meminta saya agar bisa ikut
kegiatan cetya, tapi saat ikut saya tidak bisa berpartisipasi dalam kegiatan
tersebut karena kedua anak saya masih kecil-kecil, dan saya sibuk menjaga
mereka. Tapi beberapa waktu berselang, saya jadi bisa ikut kebaktian karena
tidak lama kemudian anak-anak saya sudah mulai bisa bermain dengan anak-anak
yang lain yang orang tuanya ikut kebaktian. Saya amat bersyukur sekali
mendapatkan kesempatan berpujabakti di Cetya.
Pertama saya ikut sesi meditasi,
entah kenapa sewaktu bermeditasi perasaan saya seperti mau menangis, saya
cerita pada suami, tapi dia bilang saya memang cengeng. Tapi saat itu saya sama
sekali tidak ada kesedihan sama sekali dalam pikiran saya.
Suatu kali Cetya mengadakan
perjalanan spiritual ke Yogyakarta, awalnya saya tidak mau ikut karena berpikir
untuk apa ikut, dan saya tidak mengerti tujuan dari perjalanan spiritual
tersebut, tapi karena bujukan suami, akhirnya saya ikut juga. Saat bermeditasi
di Candi Prambanan, saya merasa ada gerakan energi dalam tubuh saya tapi hanya
sebentar, saat di Candi Borobudur saya bermeditasi lagi. Baru kurang lebih 2
menit menutup mata, kepala saya bergoyang kencang sekali sampai badan saya
terpelanting kebelakang, tapi saya sadar saat itu dan bisa mendengar
orang-orang berbicara. Saya melihat cahaya biru tapi tidak tahu itu cahaya apa.
Sejak saat itu, saya telah mengalami terbangkitkannya roh. Saya berterima kasih
bisa mendapatkan pengalaman berharga ini, dan mendapatkan banyak bantuan dari
umat cetya. Sesampai dirumahpun saya masih bershadana dan beryoga dengan
Buddha-Bodhisattva dan Dharmapala.
Dan disaat hari Waisak yang diadakan
di Cetya, saya telah mendapatkan nama Buddha Dharma. Dan setelah itu saya
mendapatkan banyak bimbingan dan penyatuan dengan Buddha, Bodhisattva dan
Dharmapala. Hal ini membuat banyak perubahan terjadi dalam hidup saya. Suatu
kali karena adanya masalah yang saya hadapi, saya sempat tidak ingin ke Cetya
lagi. Tapi sewaktu bermeditasi, saya dinasihati oleh Buddha-Bodhisattva. Tanpa
sadar airmata saya mengalir terus sampai saya tersedu-sedu. Setelah kejadian
itu saya sadar, bahwa saya salah.
Pertengahan bulan Mei 2012, saya
diberitahu bahwa telah terpilih menjadi calon Dharmaduta Cetya yang sekarang
sudah menjadi Vihara. Saya sempat tidak percaya, tapi kembali mengingat lagi
kejadian saat hari Waisak, saat seluruh umat bermeditasi tepat pada jam, menit
dan detik Waisak saat itu, kami semua diminta untuk meditasi perenungan, tapi
saya malah mendapat petunjuk mengenai Dharmaduta ini.
Saya sangat berterima kasih karena
terpilih menjadi Dharmaduta di Vihara Sukhavati Prajna untuk membabarkan
Dharma. Semoga saya bisa semakin memperbaiki diri ke depannya dan bisa
menjalankan dharma dengan baik.
Saya berterima kasih kepada para
Buddha-Bodhisattva, Dharmapala, Dewa dan Dakini yang telah membimbing saya ke
jalan yang benar, terima kasih juga kepada suami saya dan V.A. Sukhavati Prajna
yang telah memberikan dukungan selama ini.
- Om . Ku Lu Ku Lie Cu Li . Soha -
XIN
YIN
Saya terlahir dari keluarga yang beragama Buddha Kong Hu Cu sebelum
mengenal Vihara Sukhavati Prajna, terkadang saya menemani papa saya pergi ke
salah satu vihara Mahayana di Jakarta, saya kesana hanya untuk setor muka dan
menemani papa saya.
Saya tidak pernah mendengarkan
ceramah Dharma dari para Biksu, saya hanya bermain ponsel dan berpikir kapan
selesainya ceramah dharma yang sangat membosankan ini. Setelah selesai saya
selalu marah-marah karena saya berpikir, dari pada mendengarkan dharma, lebih
baik saya pergi bersenang-senang dengan teman-teman saya yang bisa membuat saya
gembira. Dan saya suka pergi balapan motor dan mobil dengan teman-teman saya
itu. Sebelumnya saya adalah seorang yang sangat susah di atur, tempramen dan
egois.
Saya baru mulai tersadarkan pada
saat saya pergi ke Vihara Sukhavati Prajna untuk berkonsultasi dengan V.A.,
Beliau memberitahu saya kalau ada sesi meditasi dan pujabakti di hari selasa
dan jumat, dan saya datang pada saat kegiatan itu tapi saya mengikutinya dengan
setengah hati. Setelah selesai kebaktian saya langsung mengajak papa saya
pulang, karena saya sudah mulai bosan dan seiring berjalannya waktu saya mulai
kenal dengan umat vihara, saya mulai betah berlama-lama dan mulai aktif di
Vihara mempelajari dharma dan rajin bershadana di rumah dan Vihara.
Sejak itulah saya mulai berubah
sikap, dari kurang baik menjadi anak yang patuh pada jalan dharma, dan anehnya
saya merasa sangat nyaman di Vihara. Dan tidak beberapa lama kemudian sejak
saya aktif tergabung dalam anggota Panitia Syukuran Vihara, roh saya mulai
terbangkitkan. Mungkin karena Buddha-Bodhisattva melihat ketulusan hati saya
membantu acara Vihara dan melihat saya sudah mulai menjalankan hidup dengan
baik.
Tidak beberapa lama kemudian saya
dibimbing oleh Guru Sejati saya, Ucchusma Vidyaraja dan terpilih menjadi calon
Dharmaduta mewakili Beliau membabarkan dharma di Vihara. Satu persatu
Buddha-Bodhisattva menyatu dan beryoga dengan saya, saya sangat berterima kasih
kepada Guru Ucchusma Vidyaraja karena berkenan membimbing saya menjadi orang
yang lebih baik dari sebelumnya.
Semoga saya bisa menjalankan misi
yang sama dengan para Buddha-Bodhisattva, dan apa yang saya lakukan bisa
diterima oleh semua orang dan memberikan kebahagiaan bagi semua makhluk.
- Om . Ci Lu To Nan Hum Re -
GATHA
SUKALI
Keluarga saya beragama Buddha Kong Hu Cu, walaupun ke dua orang tua saya
sangat rajin sembahyang tapi saya bukanlah tipe orang yang rajin dalam
sembahyang, saya hanya akan sembahyang pada saat tertentu saja yang menurut
saya penting, seperti jika saya hendak pergi ketempat yang jauh saya baru
sembahyang, setelah itu tidak sembahyang lagi.
Sebenarnya semenjak kecil berumur 4
atau 5 tahun, saya sudah sering merasakan apa yang dikatakan roh keluar dari
tubuh, tapi saya tidak tahu dari mana roh saya bisa keluar begitu saja. Hanya
disaat saya tidur, saya bisa merasakan roh saya keluar dan melihat diri saya
yang sedang tidur itu, sehingga membuat saya ketakutan. Pada saat roh saya
keluar, saya melihat dan merasakan roh saya seperti ada yang mendorong dari sebuah
tempat yang sangat tinggi dan dengan cepatnya, hingga saya selalu berteriak
ketakutan. Kadang pula saya seperti diikat di sebuah kayu bulat lalu diputar
sangat kencang dan cepat.
Ada suatu saat ketika saya berumur 9
tahun sepertinya pikiran saya sudah terfokuskan pada ketakutan itu, dimana pada
saat roh saya keluar, saya didorong lagi dari gunung yang tinggi, tapi ada
sebuah telapak tangan yang sangat besar dan empuk menopang tubuh saya, tapi
baru saja saya merasakan nyamannya di atas telapak tangan itu, saya sudah
dijatuhkan oleh tangan itu.
Setiap saat saya selalu merasakan
ketakutan yang luar biasa pada saat tertidur, hingga mendekati kedatangan
Mahaguru di bulan Februari 2011. Pada saat roh saya keluar lagi seperti biasa,
saya tiba-tiba langsung terpikir untuk melafal mantera hati Mahaguru dalam
posisi duduk bermeditasi, dan anehnya saya ditopang lagi oleh tangan besar itu
saat saya jatuh dari ketinggian, dan saya sepertinya telah tahu kalau setelah
ini tangan tersebut pasti akan menjatuhkan saya lagi. Tapi saya tidak merasa
takut lagi saat ini. Pada saat saya dijatuhkan kembali, kaki saya seperti
menginjak sekuntum bunga teratai dan saya seperti duduk bermeditasi di atasnya.
Sejak itu saya merasa seperti ada suara dalam hati yang menganjurkan saya untuk membaca Sutra Raja
Agung Avalokitesvara (Kao Wang Cing), padahal saya terkenal paling malas
membaca mantera apalagi sutra, sayapun bukan orang yang senang mendengar
ceramah Dharma apalagi membaca buku tentang Dharma, karena pada saat itu saya
merasa tidak berguna dan hanya membuat saya bosan.
Berselang waktu, Mahaguru datang ke
Indonesia dan meluncurkan buku tulisannya yang terbaru disebuah mall di
Jakarta, pada saat itulah saya bertemu dengan V.A., mungkin inilah yang
dinamakan jodoh, karena pada saat itu saya mengalami sesak nafas hingga muka
saya pucat dan rasanya ingin pingsan, tapi V.A. menghampiri saya dan mengelus
punggung saya, secara tiba-tiba rasa sesak nafas saya mulai berangsur sembuh.
V.A. mengatakan bahwa ada kegiatan
di Cetya, saya dan suami datang untuk mengikutinya, setelah itu saya mulai
dibimbing oleh para Buddha-Bodhisattva, dan dari sanalah saya menemukan yidam
saya Phu Sien Pusa dan Guru Sejati sekaligus Dharmapala saya, Ucchusma
Vidyaraja. Setelah itu mulailah saya diberi petunjuk untuk melakukan penyatuan
dan beryoga dengan para Buddha-Bodhisattva. Pada saat saya dibimbing Jambhala
Merah, Beliau banyak mengajarkan Dharma pada saya dan membuka pikiran saya
mengenai penyebrangan roh, dari situlah hati saya mulai terbuka untuk melakukan
penyebrangan roh walaupun hanya roh binatang.
Seperti pada saat saya melakukan
penyebrangan roh anak kucing yang saya lakukan selama dalam perjalanan ke
Vihara, dalam perjalanan saya membaca Mantera Sukhavati Vyuha Dharani dengan
mata tertutup, saya melihat roh anak kucing tersebut terbaring diatas bunga
teratai, dan Buddha Amithaba memberikan cahaya putih sebesar kelereng pada anak
kucing tersebut, dan roh anak kucing itu bangkit. Buddha Amithaba berkata pada
saya bahwa roh anak kucing tersebut sudah tidak masalah lagi.
Saya juga pernah menyebrangkan roh
laba-laba yang tidak sengaja terbunuh oleh saya dan sayapun menyebrangkan
rohnya dengan membaca Sukhavati Vyuha Dharani, saya melihat roh laba-laba
tersebut berubah wujud menjadi seorang wanita yang mempunyai taring dimulutnya,
wajahnya sangat galak, saya sempat kaget melihatnya, tapi Buddha Amithaba
datang membantu, Beliau menyiramkan Air Amerta diatas kepala wanita itu, dan
wanita itu berangsur-angsur berubah menjadi cantik dan diapun tersenyum pada saya,
dan Buddha Amithaba mengatakan hal yang sama bahwa penyebrangan ini sudah
selesai.
Saya juga pernah membantu roh
kelinci saudara yang meninggal, dari sini saya melihat Buddha Sakyamuni dan
para roh binatang lainnya menjemput roh kelinci yang saya seberangkan, saya
juga membantu menyebrangkan roh udang yang ada dimakanan saya, saat melakukan
penyebrangan itu saya melihat ada 3 orang laki-laki yang kepalanya berbentuk
kepala udang badan manusia, mereka berterima kasih kepada saya karena telah
membantu menyebrangkannya.
Pada saat melakukan penyatuan dengan
Ksitigarbha Bodhisattva, paman saya meninggal dunia dan saya meminta tolong
kepada Ksitigarbha untuk menjaga paman saya, Beliau mengatakan kepada saya
supaya tenang, Beliau akan menjaganya dan meminta saya untuk melakukan
pelimpahan jasa untuknya dalam 49 hari ini. Pada hari terakhir saya melakukan
penyatuan dengan Ksitigarbha, Beliau berpesan untuk menjadikannya sebagai
Adinata dalam melakukan penyebrangan roh dan pelimpahan jasa yang saya lakukan,
dan Beliau membuat saya melihat paman saya telah menjadi muda dan raut wajahnya
cerah dan senang.
Sudah 1 tahun lebih saya aktif di
Vihara, hingga saya terpilih menjadi calon Dharmaduta wakil Ucchusma Vidyaraja
dalam membabarkan Dharma, Guru saya selalu mengajarkan saya untuk bisa
menghapus 3 racun loba, dosa dan moha dalam diri saya, juga memberikan petunjuk
untuk kami bertiga agar bersatu dalam segala hal, membantu semua insan dan
semua makhluk.
- Om . Ci Lu To Nan Hum Re -
ABIWINURI
Dari kecil aku telah beragama Buddha, tapi dalam kehidupan sehari-hari
penerapan ajaran agama tidaklah benar-benar dijalankan. Tidak pernah membaca
mantera, perbuatan baik yang dilakukan cuma berdana di vihara sekali-kali waktu berkunjung.
Aku mengenal lebih mendalam ajaran
Buddha dari V.A. Sukhavati Prajna. Waktu itu aku dianjurkan membaca Sutra Ta
Pei Cou, sejak itu aku mulai belajar membaca SutraNya. Tapi aku tidak
menghiraukan perkataan V.A. waktu itu.
V.A. sendiri mulai membuka Cetya dan
aku melangkah satu langkah kedepan dengan mulai mengikuti shadana di Cetya. Di
Cetya umat yang terbangkitkan roh, pada sesi meditasi dapat melakukan gerakan
yoga, pergerakan yoga amat jarang kelihatan di vihara lain. Karena itu kadang
orang yang tidak mengerti/ bingung melihatnya.
Seiring waktu berjalan, aku juga
mulai terbangkitkan roh. Mulai dapat melakukan pergerakan yoga. Terbukanya roh
membuat aku semakin semangat dalam bershadana. Aku makin suka membaca mantera
dan sutra. Aku bisa duduk berjam-jam di depan altar untuk membaca mantera
padahal dulu waktu luang selalu aku habiskan dengan menonton film drama seri.
Perbedaan yang amat mencolok, sekarang hampir dibilang jarang nonton film drama
lagi.
Mendekati perayaan Waisak, V.A.
mengumumkan kabar gembira bahwa Buddha Sakyamuni berkenan memberikan Nama
Buddha Dharma langsung kepada para umat Cetya. Jadi dianjurkan belajar
meditasi. Aku juga lebih memfokuskan diri untuk meditasi, tapi selalu saja
tidak dapat berkonsentrasi dan berpikir tidak mungkin mendapatkannya.
Tapi Buddha Sakyamuni ternyata
berkenan memberikan nama Buddha Dharma padaku. Aku sangat berterima kasih dan
bersuka cita atas kemurahan hati Beliau. Semua ini mendorongku lebih semangat
membina diri.
Selain beryoga, aku juga bisa
bertelepati dengan Guru Pembimbingku. Sebagai pemula yang tidak ada pengalaman,
suatu ketika aku mendapatkan kabar duka kakekku akan meninggal. Harusnya aku
lebih banyak membaca sutra dan melimpahkan untuk kakekku, tapi aku malah
menjadi melekat terhadap berita itu.
Untunglah para Buddha-Bodhisattva
masih sayang padaku, aku di ingatkan kembali akan kemelekatanku. Aku berhasil
melepaskan kemelekatanku tapi juga menjadi trauma karenanya. Sejak itu aku
selalu kurang percaya diri terhadap apa yang ku ketahui.
Terpilihnya aku sebagai Calon
Dharmaduta Vihara Sukhavati Prajna mewakili Sie Mien Fo membabarkan Dharma di
dunia sangatlah tidak terduga. Memang telah melakukan penyatuan dengan Buddha
yang memilihku. Ketika V.A. mengatakan bahwa aku terpilih sebagai Dharmaduta
rasanya seperti mimpi.
Pelajaran pertama yang ku dapat dari
Sie Mien Fo adalah babarkan Dharma jangan memandang siapa-siapa, babarkan untuk
semua orang, baik itu saudara, keluarga, orang tidak dikenal, bahkan orang yang
membenci kita. Dan Sie Mien Fo bersedia membimbing biarpun tahu aku begitu
banyak kekurangan. Terima kasihku tak terhingga kepada Sie Mien Fo, Guruku.
Aku sangat berterima kasih kepada
V.A., seandainya dulu Beliau tidak menyuruhku membaca sutra, sampai sekarang
mungkin aku bukanlah aku yang sekarang ini. Semoga kedepannya V.A. selalu
bersedia membimbingku supaya tidak salah jalan dan dapat membabarkan Dharma
sesuai harapan Guruku dan para Buddha-Bodhisattva, Dharmapala, Dewa dan Dakini.
- Om . Molahan Moni Soha -
TAO
SIEN CUEN
Saya sebelumnya tinggal di Kalimanatan, di sebuah pulau yang terpencil.
Dari kecil saya beragama Buddha dan mengikuti ajaran Buddha Maitreya. Saya
hanya mengenal Buddha Maitreya, karena di situ tidak ada vihara ataupun cetya.
Kalau tidak mengikuti ajaran Buddha Maitreya, mungkin saya tidak mengenal
sedikitpun ajaran Buddha.
Saya ke Jakarta mengikuti bibi, dan
saya sudah diizinkan orang tua untuk kerja dengan bibi saya di Jakarta. Di
Jakarta saya sangat banyak belajar dari bibi saya yang sudah berpengalaman, dia
selalu memberitahu saya tentang kehidupan Jakarta seperti apa, dan sedikit demi
sedikit saya memahami dan bisa belajar tentang kehidupan yang sangat keras ini.
Bibi saya mulai aktif di Vihara
Sukhavati Prajna, dia mengajak anak-anaknya ikut setiap pujabakti dan sayapun
ikut. Pertama kali ke Vihara, saya bingung memulainya dari mana dan caranya
bagaimana. Pelan-pelan saya mengikuti cara membentuk mudra walau sedikit
bingung, tapi untung ada umat vihara yang mengajari saya. Saat membaca Sutra
saya juga tidak bisa mengikuti, karena bacanya agak cepat sehingga saya
ketinggalan terus bacanya. Sedikit-sedikit saya belajar dan terus ikut
pujabakti dan akhirnya bisa mengikuti.
Saya orangnya pelupa, kadang saya
selalu buat kesalahan dan membuat orang marah, saya sangat sedih terus berbuat
kesalahan, saya sangat tidak ingin berbuat salah, saya sampai putus asa
sehingga kadang menyiksa diri sendiri. Saya hanya bisa berdoa, saya tidak mau
mengulangi kesalahan lagi. Saya pernah membuat kesalahan besar hingga membuat
bibi saya kecewa, saya sangat sulit untuk mengucapkan kata maaf kepadanya
ataupun berterima kasih padanya. Bibi selalu baik pada saya, tapi sangat sulit
mengeluarkan kata maaf ini. Saya sangat menyesal karena banyak berpikir yang
tidak-tidak.
Saya juga selalu memikirkan keluarga
saya, ayahku sakitnya makin parah. Aku ingin dia bisa sembuh, tapi tidak tahu
bagaimana cara untuk membantu. Berbagai masalah datang padaku, sehingga membuat
aku tidak bersemangat dalam bekerja atau berbuat apapun, kala itu saya belum
benar-benar membina diri.
Saya diajak konsultasi dengan V.A.
saya diminta untuk menenangkan diri dan meditasi di ruang altar Buddha
Maitreya. Dan tidak terduga sama sekali, saat itu saya telah terbangkitkan roh.
Saya menjapa mantera hati Buddha Maitreya, saat itu saya mendapat petunjuk cara
membantu ayah saya dari sakit. Yaitu saya diminta untuk banyak berbuat bajik
dan menyebar luaskan dharma, dan diminta untuk membuat teratai dari kertas
sembahyang sebanyak 5 buah.
Sejak kejadian itu saya mulai
membina diri dengan giat, dan Dewa yang pertama sekali berjodoh dengan saya
adalah Vajra Bumi Prtivi. Saya juga banyak membaca mantera dan sutra dirumah.
Saya mulai mendapatkan banyak bimbingan dari para Buddha-Bodhisattva, dan
mendapatkan pencerahan dari ceramah dharma V.A. di Vihara.
Saya setiap che it dan cap go,
membakar kertas sembahyang berbentuk teratai untuk bisa membantu keluarga saya
terkikis karma. Dan disaat hari raya Waisak ternyata saya terpilih menjadi
calon Dharmaduta Vihara mewakili Dewi Marici membabarkan Dharma. Saya sangat
bersyukur sekali mendapatkan kesempatan ini.
Dalam membina diri yang saya jalani
dari awal sampai sekarang, saya merasakan perubahan dalam diri, saya merasa ada
yang menunjukkan jalan dan arah yang baik. Sekarang saya tidak seperti dulu
lagi, menyiksa diri, tapi sekarang apapun yang terjadi saya selalu mengucap
syukur kepada Buddha-Bodhisattva yang sudah memberi saya jalan keluar. Terima
kasih kepada Dewi Marici dan juga orang-orang yang sangat baik padaku.
- Om . Mo Li Che Yu Soha -
NASIHAT
UNTUK PARA DHARMADUTA
Dharmaduta adalah sama dengan Pembabar Dharma. Yang akan selalu
mendedikasikan dirinya untuk menyebarkan Dharma/Ajaran Buddha, baik
dilingkungan Vihara, Keluarga, Tempat Usaha/Kerja, dan dimanapun Dharmaduta itu
berada.
Melalui pikiran, ucapan dan perbuatan
para Dharmaduta bisa menjadi teladan dan contoh bagi para insan dan semua
makhluk.
Sebagai seorang Dharmaduta, mereka
juga harus menjadi seorang pembina diri/shadaka sejati yang bisa menjalani
beberapa hal dibawah ini, yaitu:
1. Selalu rendah hati dan tidak
sombong.
2. Mempunyai misi yang sama dengan
Buddha-Bodhisattva.
3. Tidak mengabaikan amanat yang
diberikan Buddha-Bodhisattva.
4. Setiap hari bershadana.
5. Setiap saat introspeksi diri dan
merubah diri menjadi lebih baik.
6. Tidak mudah terpengaruh pada hal
positif dan negatif.
7. Rela mengorbankan materi, waktu,
tenaga, pikiran, bahkan hati dan perasaannya untuk kebaikan semua makhluk.
8. Bersumpah Bodhi.
9. Menjaga nama baik Guru, Guru
Sejati, Guru Pembimbing dan menghormati serta mengagungkan nama
Buddha-Bodhisattva.
10. Segenap hati mengikuti jalan
Buddha-Bodhisattva.
11. Mengembangkan Bodhicitta
(Maitri, Karuna, Mudita, Upeksa).
12. Merubah 3 racun Loba, Dosa dan
Moha, menjadi Kebajikan, Cinta Kasih dan Kebijaksanaan.
13. Menggunakan 8 Jalan Mulia dalam
menjalani kehidupan.
14. Menjalankan Sila, Meditasi &
Prajna.
15. Menghormati Guru, menghargai
Dharma dan berlatih tekun.
16. Tidak ragu-ragu, yakin dan teguh
hati.
17. Meredam emosi, amarah, ego dan
keakuandalam diri.
18. Tidak terombang-ambing dan fokus
pada satu konsentrasi ajaran dalam pembinaan diri.
Dengan berpegang pada hal diatas,
Dharmaduta akan bisa mulai menumbuhkan cinta kasih universal untuk semua insan
tanpa pamrih. Walaupun telah menjadi Seorang Dharmaduta, pembinaan diri dan
kontak batinnya dengan Alam Semesta tidak boleh terhenti. Melalui rutinitas
shadana dan meditasi, maka kebijaksanaan akan selalu terjaga. Ibaratnya
meditasi adalah charge batteray/makanan Roh Kita, jika setiap saat/hari Roh
kita tidak diberi charge/makanan, maka pencapaian kerohanian kita akan menurun
dan kebijaksanaan kita akan berubah menjadi kekotoran batin, serta menjadikan
seorang pembina diri seperti layaknya orang awam kembali.
Seorang pembina diri, akan selalu
mengetahui sudah sampai dimana pencapaiannya dan apakah masih tetap di jalur
yang semestinya. Tidak dikendalikan oleh nafsu, mimpi & keinginan. Tapi
memegang kendali atas semua yang ada didalam maupun diluar dirinya.
Pencapaian pelatihan meditasi setiap
pembina diri berbeda-beda, tiada ubahnya dengan Buddha-Bodhisattva yang
mencapai Pencerahan dan Penerangan Sempurna dengan caranya sendiri, Pembina
diri pun akan mempunyai caranya sendiri dalam mencapai tingkatan pembinaan
dirinya.
Pembina diri tidak takut terhadap
godaan mara, segala penanggungan karma dan ujian yang menghampirinya. Tapi
menggunakan kekuatan Alam Semesta dan kekuatan diri sendiri untuk mencapai
Pencerahan, menjadikan segala ujian dan penderitaan hidup sebagai cara untuk
mencapai Tingkatan Pelatihan Diri.
Pembinaan diri dalam Dharma Buddha
tidaklah semudah yang dipikirkan insan, dengan hanya melafal Mantera dan Sutra
akan bisa mencapai Penerangan. Benar adanya dengan mulai melafal Mantera dan
Sutra maka dengan sendirinya membuka Pintu Dharma secara otomatis. Tapi
pencapaian kesempurnaan yang sesungguhnya adalah menyadari bahwa segala sesuatu
yang ada di dunia ini semu, tidak terbelenggu dalam kenikmatan dan kesenangan
duniawi, tidak terpengaruh segala sesuatu yang ada disekitarnya dan
mempergunakan seluruh kekuatannya untuk menguasai 3 nafsu (sex, makan dan
tidur) dan 3 racun terbesar dalam dirinya, (Loba=Keserakahan, Dosa=Kebencian
dan Moha=Kebodohan).
Karena 3 nafsu dan 3 racun inilah
yang paling kuat merintangi jalan pembinaan diri dalam mencapai tingkat
kesucian dan ke-Buddha-an.
Karena Seorang Dharmaduta tiada beda
dengan seorang shadaka, maka hendaknya selalu mengintrospeksi diri setiap saat,
selalu merealisasikan sumpah bodhinya dan mengembangkan dharmanya ke segala
penjuru dengan setulus hati.
Oleh karena itu, naik turunnya
pencapaian rohani, baik buruknya pikiran, ucapan dan perbuatan, benar salahnya
kontak batin dan sulit mudahnya menghadapi setiap ujian dan cobaan,
Dharmaduta/Pembina Diri itu sendiri yang menentukannya. Karena Buddha
mengajarkan, orang lain tidak bisa menyelamatkan diri kita, tapi diri sendiri
yang bisa melakukannya.
Dharmaduta terpilih berdasarkan
adanya karma jodoh, tentunya karena karma jodoh baik.
Mahastamaprapta pernah berkata: “Hubungan dalam kehidupan ini ada karena
karma jodoh baik, ada karena karma jodoh buruk.
Ada karma jodoh panjang dan ada karma jodoh singkat. Hendaknya tidak perlu terlalu melekat.”
Menjadi seorang Dharmaduta,
sesungguhnya adalah pembuka jalan atau kesempatan bagi insan untuk bisa menanam
kebajikan, semakin mengembangkan Bodhicitta (menumbuhkan kewelasasihan, cinta
kasih, simpati pada orang lain dan meningkatkan pembinaan diri sendiri). Dengan
merubah diri menjadi lebih baik dari sebelumnya, tidak egois dan tidak
mementingkan diri sendiri, segenap hati berbuat sesuatu untuk kebaikan semua
mahkluk dan menjadikan diri sendiri sebagai cerminan Buddha-Bodhisattva
membabarkan Dharma di dunia.
Apabila seorang Dharmaduta ternyata
melencengkan jalan atau kesempatan baik tersebut dan hatinya berubah karena
adanya kekotoran batin, maka karma jodoh baik bisa menjadi karma jodoh buruk.
Ada kalanya jalinan jodoh bisa saling bersambut baik, tapi ada kalanya jalinan
jodoh terputus di tengah jalan. Semua itu tergantung pada cara pembabaran
Dharma dari masing-masing Dharmaduta.
Apakah di dalam pembabaran Dharma
mereka ada ketulusan atau ambisi tertentu?
Apakah pembabaran Dharma mereka
muncul dari niat luhur atau adanya kekotoran batin?
Masing-masing Dharmaduta yang mengetahuinya
dan yang menentukan bagaimana menjalani jalan Dharmanya.
Menjadi Dharmaduta bukanlah untuk
dijadikan suatu kesombongan dan menaikkan ego diri sendiri. Tapi hendaknya bisa
dijadikan sebagai motivasi dan semangat untuk melakukan hal-hal yang baik,
menjadikan diri sendiri sebagai kepanjangan tangan Buddha-Bodhisattva untuk
membantu semua mahkluk yang berjodoh.
Kesempatan mendapatkan karma jodoh
baik tidaklah mudah, jika bukan karena kemurahan hati dan kewelasasihan
Buddha-Bodhisattva, kita tidak akan bisa mendapatkan jodoh Dharma. Karena itu hendaknya kita semua menghargai
Dharma dan mempergunakan kesempatan menanam kebajikan sebaik-baiknya, demi
kebahagiaan dan pembebasan diri sendiri juga semua mahkluk.
Renungan Vipasana Giriratana,
“Kehidupan di dunia adalah
Fatamorgana, adalah mimpi, adalah ilusi. Ada dan tiada sama saja. Segala
kekuasaan, segala kesenangan, segala kecantikan, segala ketenaran pada akhirnya
akan ditinggalkan dan meninggalkan.”
PENUTUP
Buku Dharmaduta Vihara Sukhavati Prajna telah selesai ku tulis, telah
tertunda agak lama dibanding penulisan buku-buku sebelumnya. Ini semua karena
kesalahan diriku yang masih memiliki rasa takut menjalankan Dharma Buddha saat
itu. Dengan tertundanya penulisan buku ini, maka dengan otomatis tertunda pula
pembabaran Dharmaku. Itu tidak sesuai dengan sumpah bodhi yang ku ikrarkan
dihadapan para Buddha-Budhisattva dan Dharmapala. Seharusnya waktu itu tak ada
yang perlu kutakutkan, karena para Buddha-Bodhisattva pasti membantu dan
melindungiku.
Buku Dharmaduta Vihara Sukhavati
Prajna ini, ku dedikasikan untuk para Buddha-Bodhisattva yang penuh welas asih
menurunkan Dharma Buddha kepadaku, kepada para Dharmapala, Dewa dan Dakini yang
tidak lelah-lelahnya menjaga, melindungi dan membantuku dalam menjalankan
Dharma Buddhaku ini, kepada Mahadewi Yao Che Cin Mu atas Amanat menulis buku
“Dharmaduta Vihara Sukhavati Prajna“ ini, kepada Guru Sejatiku yang sudah
begitu banyak menuntunku kearah yang benar dan berusaha selalu meluruskan
jalanku, kepada Maha Guru yang mengetahui dan membimbingku dengan ajaran
DharmaNya baik secara roh maupun secara tubuh dan pikiran, kepada Ketua Vihara
Sukhavati Prajna yang selalu setia mendampingiku menemukan jalan kebenaran dan
memberikanku banyak nasihat positif serta dorongan motivasi yang begitu besar
kepadaku, kepada seluruh keluarga Ketua Vihara yang telah banyak mendukung
kelancaran Pembabaran Dharma Buddhaku di Vihara Sukhavati Prajna, kepada
seluruh Dharmaduta Vihara Sukhavati Prajna Generasi Pertama yang kerap
mendampingiku dan membantuku membabarkan Dharma, serta seluruh Donatur dan
seluruh umat yang telah berpartisipasi di setiap kegiatan yang diselenggarakan
di Vihara Sukhavati Prajna.
Semoga saja buku ini bisa bermanfaat
untuk semua insan dan semua makhluk, sehingga semuanya bisa mendapatkan
kebaikan dari Alam Semesta dan bisa mencapai apa yang diharapkan masing-masing.
Keseluruhan isi buku ini, aku hendak
menyimpulkan bahwa segala sesuatu yang kita dapatkan dalam hidup ini, hendaknya
bisa kita pergunakan sebaik-baiknya untuk melakukan perbuatan-perbuatan baik.
Kebahagiaan terbesar dalam diri kita, sesungguhnya adalah bisa memberikan
manfaat bagi orang lain dan semua makhluk. Segala pencapaian yang diterima dari
Alam Semesta hendaknya bisa diamalkan kepada orang yang membutuhkan, segala
ilmu dan pengetahuan yang didapat jika bisa kita salurkan kembali, maka kita
akan selalu mendapatkan ilmu dan pengetahuan yang baru dari Alam Semesta,
karena Alam Semesta tidak pernah pelit dalam memberi manfaat untuk semua
manusia dan semua makhluk, karena itu hendaknya kita menghargai setiap kebaikan
yang telah diberikan oleh Alam Semesta kepada kita, dengan begitu Dharma Buddha
yang diturunkan oleh Alam Semesta bisa terus berputar dan bisa memberi kebaikan
bagi semua makhluk di setiap zamannya.
Menjadi seorang Dharmaduta adalah
keputusan yang sangat penting dan sangat mulia, menyamakan misi dengan para
Buddha-Bodhisattva akan membuat kita semua mendapatkan kemudahan dalam
membabarkan Dharma, sehingga nantinya kita bisa membina diri dengan baik,
mencapai tingkat kesucian dan keBuddhaan dalam kehidupan saat ini juga.
Mengapa kesempatan menjalankan
Dharma Buddha harus dipergunakan dengan baik dalam kehidupan ini? Karena jika
kita tidak mempergunakan kesempatan ini sebaik-baiknya, maka untuk bisa
mendapatkan jodoh Buddha Dharma berikutnya, entah harus menunggu sampai berapa
kali kehidupan baru bisa berjodoh kembali dengan Buddha Dharma.
Untuk mencapai kesuksesan dalam
pembinaan diri sesuai Dharma Buddha dan ajaran Tantra, kita harus senantiasa
menghormati Guru, menghargai Dharma dan berlatih tekun.
Sabbe Satta Bhavantu Sukhitata.
Semoga semua makhluk hidup
berbahagia.
- Amithofo. -
KESEMPATAN
BERDANA
Bagi mereka yang ingin menanam benih kebajikan dan beramal baik di
kehidupan ini, kami tidak menutup niat baik mereka untuk turut serta dalam
penyebarluasan buku ini, dengan ikut ambil bagian dalam berdana untuk
pencetakan buku-buku selanjutnya.
Dukungan umat sedharma baik dari
sisi tenaga dan pikiran, juga dana sangat kami perlukan, agar tujuan kami dalam
menyebarkan Dharma seluas-luasnya dapat tercapai dan berjalan dengan baik. Para
Donatur yang tergerak hatinya dapat ikut ambil bagian/berpartisipasi dengan
mentransfer dana amal ke rekening:
1. YAYASAN SUKHAVATI PRAJNA
REK.
No.: 7138-01-002057-50-2
BANK
RAKYAT INDONESIA (BRI)
UNIT
AMPERA PORIS - TANGERANG
2. YAY SUKHAVATI PRAJNA
REK.
No.: 5940307785
BANK
CENTRAL ASIA (BCA)
CABANG
PORIS INDAH - TANGERANG
Mohon
bukti pengiriman dana dikirim melalui Fax. No. 021-5574 3104
Untuk
informasi dapat hubungi Telp. 021-7094 2728
Semoga para Buddha, para Bodhisattva dan para Dewa selalu memberikan
berkah dan perlindungan kepada mereka yang telah berbuat kebajikan.
Semoga kami dapat terus bertahan,
terus berkarya di dalam penulisan buku-buku dharma, dan semoga buku-buku yang
kami terbitkan dapat bermanfaat bagi kehidupan manusia serta dapat menyadarkan
para pembacanya akan keagungan Jalan Dharma.’
Jasa kebajikan dari dhamma-dana ini
kami limpahkan kepada seluruh makhluk hidup di sepuluh alam, semoga mereka
mendapat kebahagiaan abadi, melepaskan sifat tamak, dengki, ketidak-tahuan,
iri, kecurigaan, kemelekatan. Berbuat segala kebaikan dan tidak berbuat segala
yang buruk/jahat, berbudi luhur, bermoral tinggi, sehingga mereka terbebas dari
penderitaan lahir dan batin.
HYMNE VIHARA SUKHAVATI PRAJNA
Pencipta & vocal: Deazy P.
Kilala
Kar’na dukungan para Buddha
Kar’na berkah Bodhisattva
Vihara Sukhavati Prajna bisa berdiri
tegar
Semoga bisa semakin maju
Semoga bisa semakin teguh
Membabarkan ajaran Dharma ke segala penjuru
Reff :
Kami tidak akan mundur
Kami tidak akan lelah
Berbuat kebajikan dan melimpahkan jasa
Demi kebahagiaan
Demi semua makhluk
Demi bisa terlahir di Sukhavatiloka
terima kasih telah menuliskan pengalaman spiritual yang Anda alami dalam bentuk artikel blog :) saya tunggu buku Anda yang selanjutnya. amitofo _/|\_
BalasHapusAmituofo.
HapusYth. Ibu Desi
BalasHapusSaya sudah baca beberapa buku ibu. Yang saya mau tanyakan kenapa dilogo Vihara Sukhavati Prajna ada simbol TAOnya? Padahal ditulisan ibu sama sekali tidak menyinggung mengenai TAO sama sekali, tetapi lebih banyak ke Budha aliran Tantrayana.
Lambang Tao dalam logo Vihara mengandung arti keseimbangan Alam Semesta. Sesungguhnya Dharma saya bersifat Universal, awal mula berjodoh Dharma dengan Tao yang menghantarkan saya kedalam pelatihan diri mengambil jalan Tantrayana. Sesungguhnya Tao dan Tantra saling berhubungan dan saling melengkapi dalam melatih diri.
Hapuskenapa saat baca ini, banyak cahaya putih datang dan pergi ya ?
BalasHapusSaat membaca buku yang saya tulis memang kadang memunculkan fenomena, karna tulisan itu apa adanya dan amanat dari alam semesta, tentunya hal yang biasa jika menimbulkan reaksi bagi mereka yang telah peka.
Hapuskenapa saat baca ini, banyak cahaya putih datang dan pergi ya ?
BalasHapusSaat membaca buku yang saya tulis memang kadang memunculkan fenomena, karna tulisan itu apa adanya dan amanat dari alam semesta, tentunya hal yang biasa jika menimbulkan reaksi bagi mereka yang telah peka.
HapusSungguh mencerahkan hati, semoga kami2pun bisa dibimbing seperti kalian.. dimanakah kami bisa berkonsultasi lebih banyak dan dalam? saya pernah email ke alamat ibu desy tapi belum ada tanggapan...
BalasHapusUntuk berkonsultasi bisa datang langsung ke VIHARA SUKHAVATI PRAJNA setiap hari Kamis, jam 15:00 - 21:00 WIB. dengan alamat Jln. Galaxy IV Blok G8 No.15 Komplek Poris Indah, Cipondoh-Tangerang Banten 15148 (Dekat SMP 18) untuk posisi letak lihat pada peta google diatas.
Hapus